Denpasar, 5 Desember 2013. Rangkaian kegiatan #EndWTO: Bali Week of Action sejak tanggal 1 Desember masih terus berlanjut. Hari ini, bertempat di GOR Yowana Mandala, Denpasar, Solidaritas Perempuan bersama organisasi-organisasi masyarakat sipil lainnya dari berbagai negara menyelenggarakan Sidang Rakyat (Peoples Tribunal). Kegiatan bertajuk “Pengadilan Rakyat Dunia terhadap WTO, Investasi FTA, dan TNCs” ini mengadili berbagai kasus yang merugikan hak atas kehidupan, merusak lingkungan, hak perempuan dan disebabkan oleh mekanisme WTO.
Kesaksian Perempuan Korban Kejahatan Perusahaan Lafarge di Aceh
Rubama, aktivis Solidaritas Perempuan asal Aceh, bersaksi atas kasus yang dialami dirinya dan komunitasnya di Kecamatan Lhoknga, Kabupaten Aceh Besar. Kasus ini melibatkan PT LCI (Lafarge Cement Indonesia), anak perusahaan dari Lafarge Group, perusahaan semen terbesar di dunia, berbasis di Prancis. Aktivitas penambangan batu kapur sejak 1983, pembangkit listrik bertenaga batu bara 32 MW, dan produksi semen PT LCI yang meningkat , telah menimbulkan permasalahan bagi masyarakat di sekitar tempat PT LCI beroperasi.
Permasalahan tersebut adalah, pertama, debu dari PT LCI yang mencemari persawahan dan perkebunan warga sehingga menghancurkan mata pencaharian mereka yang umumnya bertani dan berkebun. Polusi udara ini juga menyebabkan penyakit ISPA menyebar di masyarakat, dan sebahagian besar diderita oleh perempuan dan anak-anak. “Sudah pernah dilaporkan ke tingkat desa, hingga ke tingkat mukim dan kecamatan, tapi tidak selesai,” Ujar Rubama saat menjawab pertanyaan Jaksa terkait permasalahan debu.
Kedua, Sumber air juga dikuasai secara ilegal oleh perusahaan mengakibatkan warga kesulitan mendapat air. Penguasaan sumber air tanpa izin ini juga ikut menyebabkan mengeringnya sawah dan kebun warga. “Warga di rumah-rumahnya hanya bisa mendapatkan air saat malam, yaitu saat pabrik tidak beroperasi. Ini dibatasi karena mereka yang mengelola sumber airnya,” Rubama menjawab pertanyaan Jaksa terkait akses air.
Ketiga, penggunaan ledakan dinamit dalam penambangan batu kapur sebagai bahan baku semen juga membawa berbagai masalah seperti trauma psikis bagi warga, mengingat Aceh merupakan wilayah konflik. Selain itu, ledakan juga merusak, meretakkan sumur-sumur dan rumah-rumah penduduk yang hanya berjarak 200 meter dari perusahaan. Longsoran batuan juga menutupi lahan sawah penduduk. Satwa-satwa endemik seperti kelelawar juga menghilang dari daerah sekitar perusahaan karena bising, padahal penyerbukan tanaman-tanaman bergantung pada satwa-satwa ini.
Kesaksian-Kesaksian Lain
Selain Rubama, ada perempuan-perempuan lainnya yang juga menjadi korban dari kejahatan perusahaan dan bersaksi di Sidang Rakyat Dunia ini. Di antaranya adalah Nurhidayat, anggota SP dan bagian KMMS AJ (Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta), Jakarta, yang bersaksi tentang perubahan pengelolaan air di Jakarta menjadi business to business sehingga menghambat akses warga terutamanya perempuan terhadap air.
“…Sejak dikelola dengan PT.Aetra dan PT.Palyja, keadaan air di Jakarta semakin buruk. Air keruh dan berbau, tidak lancar, dan tetap harus membayar mahal, membuat perempuan semakin kesulitan hidupnya..” Ujar Nurhidayat dalam kesaksiannya.
Kesaksian 2 (dua) perempuan tadi adalah sebagian dari berbagai persoalan perempuan yang terjadi akibat WTO. Pintu investasi yang disediakan oleh WTO, telah merampas dan menghilangkan hak-hak perempuan atas sumber kehidupannya. WTO dan Perusahaan Multinasional telah menghilangkan hak perempuan atas air bersih, hak atas sumber mata pencaharian, hak atas rasa aman, hak atas kehidupan dan penghidupan yang layak, serta menguatkan ketidakadilan gender.
“Melalui people Tribunal ini, kita dapat melihat bahwa Perusahaan dan WTO telah terbukti melanggar hak sipil politik dan hak ekonomi sosial dan budaya, yang telah diatur dalam Konvenan Sipol dan Ekosob, serta Konvensi CEDAW…”Ujar Wahidah Rustam, dari Solidaritas Perempuan – Women Solidarity for Human Rights.
Contact Person :
Puspa Dewy : 0852 6024 1597
Nisaa Yura: 081380709637