Peluncuran Hasil Pemantauan Hak Perempuan Atas Air dan Rasa Aman Berbasis Web-sytem Data:
Jakarta, 14 Juni 2016 – Setiap warga negara, termasuk perempuan memiliki hak atas air dan rasa aman. Hak atas air dan hak atas rasa aman merupakan Hak Asasi Manusia yang harus dijamin pengakun, perlindungan. Sayangnya, sampai saat ini hak perempuan atas air dan rasa aman masih belum dilindungi dan dipenuhi oleh pemerintah. Pengalaman dan pengetahuan masyarakat, terutama perempuan belum didengar dan dijadikan referensi oleh para pengambil kebijakan. Padahal, dalam hal tertentu perempuanlah yang secara langsung menghadapi persoalan tersebut. Bagi perempuan perkotaan misalnya, persoalan air dan keamanan perempuan salah satu persoalan yang serius dihadapi perempuan sehari-hari. Situasi ini lah yang mendorong Solidaritas Perempuan (SP) bersama ELVA dan perempuan komunitas untuk melakukan pemantauan hak perempuan atas air dan rasa aman.
Pemantauan dilaksanakan di tiga wilayah, yaitu Jakarta, Aceh dan Makassar, selama empat bulan yaitu September 2015 – Januari 2016 bersama 2893 perempuan. DKI Jakarta pemantauan dilakukan di wilayah Koja, Penjaringan, Cilincing, Kebon Jeruk dan Tebet dengan melibatkan 1.168 perempuan sebagai ruang untuk menyuarakan situasi dan persoalan mereka. Pemantauan dilakukan dengan metode survei melalui penyebaran kuesioner dan diintegrasikan ke sistem website (web based system), sistem melalui pesan singkat/Short Messaging System (SMS) yang dikirim oleh pemantau. Sistem ini juga digunakan sebagai ruang untuk memperjuangkan hak atas air dan rasa aman masyarakat, khususnya perempuan.
Persoalan air yang dihadapi perempuan mencakup ketersediaan, kualitas serta keterjangkauan dari air itu sendiri. Hasil pemantauan menunjukkan bahwa 58,1% perempuan pengguna layanan perusahaan swasta menyatakan harus membayar air dengan biaya yang mahal. Padahal air tidak tersedia setiap saat, tidak mencukupi untuk kebutuhannya sehari-hari, bahkan kualitas air yang didapatkan juga buruk. Sebanyak 56,9% perempuan pengguna layanan perusahaan swasta sebagai sumber air utama mengatakan bahwa kualitas air yang tersedia buruk. Hanya sekitar 0,9% perempuan menganggap kualitas air yang bersumber dari perusahaan swasta sangat baik. Tidak hanya persoalan kualitas, perempuan seringkali.
Padahal, air merupakan hak dasar warga negara yang harus dipenuhi, dilindungi, dan dihormati oleh negara. Kovenan PBB tentang Hak Ekonomi Sosial Budaya yang telah diratifikasi melalui UU No. 11 tahun 2005 beserta komentar umumnya jelas mewajibkan negara untuk menjamin ketersediaan yang mencakup kuantitas dan kualitas, serta keterjangkauan yang mencakup keterjangkauan fisik, ekonomi (harga), tanpa diskriminasi dan dengan memastikan akses informasi bagi setiap orang. Namun, dari hasil pemantauan yang dilakukan perempuan di 5 wilayah DKI Jakarta masih menghadapi permasalahan krisis air, yang artinya terjadi pelanggaran hak atas air.
“Persoalan seperti kualitas air yang buruk, harga air yang mahal, serta buruknya pelayanan perusahaan penyedia air terhadap pengaduan masih sering dialami oleh perempuan akar rumput. Di Jakarta, air yang seharusnya dapat diakses dengan mudah dan gratis justru dijadikan sebagai komoditas Ironisnya masyarakat yang berpenghasilan rendah dan berdomisili di kawasan padat penduduklah yang sulit mengakses air. Ini menunjukkan negara telah mengabaikan dan melanggar hak perempuan atas air” papar Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan, Puspa Dewy.
Tidak hanya itu, perempuan Jakarta juga diperhadapkan dengan situasi ketidakamanan dalam menjalankan aktivitas sehari-hari, baik di ranah domestik maupun publik, termasuk di Transportasi Publik. Sebanyak 88,15% perempuan menyatakan bahwa transportasi umum Jakarta sangat buruk tingkat keamanannya. Ketidakamanan dirasakan perempuan dalam berbagai faktor, seperti pencopetan hingga kekerasan seksual. Perempuan yang terlibat di dalam pemantauan menyampaikan sejumlah ancaman kekerasan seperti ekshibisionis atau laki-laki memperlihatkan alat kelaminnya sebanyak 18 kasus, 78 kasus pelecehan verbal (kata-kata, siulan,dll), 4 kasus pemerkosaan, 291 kasus sentuhan fisik (colek, pegang-pegang, dll), dan 278 kasus tatapan yang membuat tidak nyaman.
“Data-data yang didapat menunjukkan bahwa perempuan di Jakarta masih merasa tidak aman di ranah publik. Negara dalam hal ini Pemerintah Provinsi DKI Jakarta,dengan aparat keamanan dan institusi lainnya seharusnya mampu menjamin rasa aman untuk perempuan yang selama ini masih mengandalkan trasnportasi publik untuk beraktivitas.” Ujar Elasari Ketua Badan Eksekutif Komunitas SP Jabotabek.
Sayangnya, tidak semua perempuan melaporkan kasus kekerasan yang dialaminya. Salah satunya faktornya adalah tidak mendapatkan informasi tentang layanan pengaduan dari pemerintah. Ini terlihat pada hasil pemantauan, dimana 78.6% masyarakat tidak mendapat informasi terkait dengan layanan pengaduan dari kepolisian. Sehingga tidaklah heran jika kasus yang dilaporkan pun sangat sedikit jumlahnya. Korban juga sulit melaporkan karena sulit untuk mendapatkan bukti, dan kerap malah disalahkan. Dalam beberapa kasus di mana korban melapor, seringkali tidak ada respon atau tindak lanjut yang memadai, sehingga korban tidak mendapatkan keadilan.
Pemantauan yang dilakukan diharapkan dapat mendorong Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk melakukan perbaikan tata kelola pemerintahan baik dalam memastikan situasi keamanan bagi perempuan maupun akses air minum yang terjangkau dan berkualitas. “Harapannya hasil pemantauan dapat dijadikan referensi untuk pengambil kebijakan agar dapat merumuskan kebijakan dan program dengan mempertimbangkan situasi dan pandangan perempuan”, pungkas Puspa.
Narahubung :
Nisaa Yura : 081380709637