Siaran Pers Solidaritas Perempuan “Perempuan Korban Penggusuran dari Sumbawa Mencari Keadilan di Jakarta”

Untuk Segera Disiarkan
(Jakarta, 14 Februari 2013) Pada 24 Januari 2013 lalu kembali terjadi perampasan lahan rakyat di kawasan Pantai Batu Gong – Kabupaten Sumbawa, Ibu Saudah bersama dengan 30 KK lainnya harus kehilangan tempat usaha sekaligus tempat tinggalnya akibat penghancuran yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Sumbawa. Tanpa informasi sebelumnya dan dengan dikomandoi langsung oleh Wakil Bupati, 3 buah eskavator bersama dengan aparat TNI, Kepolisian dan Satpol PP menghancur-leburkan 50 bangunan (permanen dan semi-permanen) yang ada di kawasan tersebut. Kerugian materiil yang ditaksir hingga mencapai 14 milyar rupiah. Hari ini Ibu Saudah mewakili masyarakat setempat korban penggusuran paksa datang ke Jakarta untuk mencari keadilan dan memperjuangkan haknya. Ibu Saudah yang didampingi Solidaritas Perempuan (SP) Sumbawa telah melakukan pengaduan ke Komnas HAM, dan juga akan menemui Komisi III DPR RI, untuk meminta penyelesaian terhadap kasus penggusuran paksa yang dialaminya dan 30 KK lainnya.

“Saya lahir dan besar disini, memulai usaha dari nol kemudian tiba-tiba dihancurkan begitu saja. Meski berusaha negosiasi tapi Bupati sama sekali tidak mau mendengar. Tidak ada penjelasan apapun. Ini bukan penggusuran, tapi ini penghancuran” ujar Ibu Saudah yang usahanya turut dihancurkan. Ibu Saudah yang memiliki alas hak yang sah, dokumen kepemilikan serta izin usaha lengkap pun masih bisa menjadi korban kesewenang-wenangan Pemerintah dalam mengambil alih tanah rakyat. Padahal bagi Ibu Saudah dan masyarakat di kawasan Pantai Batu Gong tersebut, tanah beserta bangunan yang dihancurkan merupakan sumber kehidupannya selama bertahun-tahun yang dengan susah payah dibangunnya.

Kasus ini kembali menguatkan fakta perampasan lahan yang terus dilakukan oleh negara ini terhadap rakyatnya. Hingga kini, konflik lahan semakin marak terjadi dan terus memakan korban. Perempuan, petani, nelayan, masyarakat adat dan rakyat miskin di perkotaan maupun pedesaan digusur dan dirampas sumber kehidupannya. Pemerintah dan DPR bersikeras melegitimasi perampasan tanah rakyat demi kepentingan investor/swasta dengan mengatasnamakan kepentingan umum, melalui UU Pengadaan Tanah, yang dikuatkan oleh MahkamahKonstitusi (MK) kemarin melalui putusannya atas uji materi UU Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum yang diajukan oleh sejumlah organisasi masyarakat sipil lainnya yang tergabung dalam Koalisi Rakyat Anti Perampasan Tanah (KARAM Tanah) yang terdiri dari IHCS, SPI, Bina Desa, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Solidaritas Perempuan, Kiara, Walhi, API, Sawit Watch, Kruha, Pusaka, ELSAM dan IGJ. Putusan Majelis Hakim yang menyatakan menolak permohonan seluruhnya tentu saja mengecewakan para pemohon.

Solidaritas Perempuan menganggap MK telah mengabaikan situasi riil yang terjadi menimpa rakyat Indonesia, khususnya perempuan. Meski mengakui bahwa UU Pengadaan Tanah tidak mendefinisikan dengan jelas Kepentingan Umum yang dimaksud dalam UU tersebut, namun MK memasrahkan semangat perlindungan kepentingan masyarakat kepada peraturan perundang-undangan yang lebih rendah. Dalam hal ini MK telah mengabaikan fakta bahwa dalam konflik lahan yang semakin marak terjadi, Pemerintah tak pernah berpihak pada rakyat dan bahkan cenderung menggunakan cara-cara militerisme.

“Kasus Ibu Saudah ini adalah contoh nyata bahwa ada relasi kuasa yang timpang antara rakyat dengan Pemerintahnya. Sehingga sudah semestinya Undang-Undang melindungi kepentingan masyarakat dan bukan kepentingan pemodal. Penolakan MK dalam uji materi UU Pengadaan Tanah jelas memperlihatkan keberpihakan terhadap kepentingan penguasa dan pemodal yang akan terus melanggengkan penindasan dan pemiskinan terhadap perempuan melalui perampasan lahan sumber penghidupannya.” Ujar Wahidah Rustam – Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan.

Kontak Person
Arieska Kurniawaty  : +62 812 8056 4651
Aliza Yuliana       : +62 818 129 770

Translate »