Siaran Pers Solidaritas Perempuan: “Perempuan Sedunia Bersuara Menolak WTO”

women assemblyDenpasar, Kamis 5 Desember 2013. Perempuan dan organisasinya dari berbagai negara seperti Indonesia, Korea Selatan, Zimbabwe, India, Kamboja, dan negara-negara lainnya, hari ini berkumpul di GOR Yowana Mandala, Denpasar. Mereka saling berbagi cerita sebagai korban dari sistem perdagangan bebas di bawah WTO dan bagaimana mereka berjuang melawan sistem tersebut. Pertemuan ini akan menghasilkan sintesis bagaimana perempuan menyikapi WTO, dan akan disampaikan ke negosiasi WTO melalui delegasi-delegasi.

Suara Perempuan Indonesia
Aktivis-aktivis Solidaritas Perempuan dari berbagai daerah menyuarakan penderitaan dan perjuangan mereka masing-masing dalam forum ini. Di antara yang berbagi adalah Irna dari Poso, Mislah dari Lombok, Irma dari Kapuas, dan Desi dari Bali. Irma dari Kapuas berbagi bagaimana program Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD / Reducing Emissions from Deforestation and forest Degradation) di daeranya yaitu Proyek Iklim Hutan Kalimantan (KFCP / Kalimantan Forest Climate Project) telah merebut hutan adat mereka. Padahal hutan selain menjadi sumber utama mata pencaharian warga, juga bernilai sakral bagi masyarakat adat Dayak. “Kami menuntut pemerintah dan KFCP menghentikan proyek mereka. Kami menolak REDD+. Kembalikan hutan dan lahan kami,” ujar Irma.

Sedangkan Desi dari Bali berbagi bagaimana Ia menderita sebagai penderita HIV Aids. Selain menghadapi beban sosial, Desi dan penderita lainnya di Indonesia menghadapi akses obat yang sangat sulit karena masalah paten. Harga obat tersebut menjadi sangat mahal, padahal mereka harus meminumnya seumur hidup. Karena paten pula, Indonesia tidak bisa memproduksinya padahal bahan dasar obat tersebut terdapat di Indonesia. Padagal jumlah penderita HIV Aids mencapai jutaan jiwa di Indonesia, bahkan di Bali sendiri lebih dari 9000 jiwa termasuk bayi-bayi yang baru lahir dan ibu-ibu rumah tangga yang tidak tahu apa-apa seperti dirinya sendiri. “Saya merasa WTO membunuh saya pelan-pelan,” ujar Desi.

Irna dari Poso berbagi tentang dampak kehadiran Perkebunan Kelapa Sawit PT Astra Agro Lestari. Kehadiran PT AAL ini telah merebut mata pencaharian warga yaitu bertani karena lahan yang dialihfungsikan menjadi kebun Kelapa Sawit, yang ini dilakukan tanpa persetujuan warga. Kualitas air pun menjadi buruk karena tercemar pestisida, sementara lahan yang tersisa menjadi tidak subur karena debit air menjadi terbatas.

Mislah dari Lombok mengisakan bagaimana Ia sebagai buruh tani diupah sangat rendah sehingga terpaksa menjadi buruh migran. Saat menjadi buruh migran, Ia justru diperlakukan tidak manusiawi. Selama 8 bulan Ia dipekerjakan tanpa gaji, mengalami penyiksaan fisik dan mental oleh majikannya, hingga dikembalikan ke Kedubes Indonesia di Arab Saudi namun justru diperjual belikan oleh petugas Kedubes dan ditelantarkan saat sakit. “Saya mau pemerintah kita melindungi buruh migran. Petani di desa juga harus diberi lapangan kerja dengan upah yang layak supaya tidak menjadi buruh migran dan bernasib seperti saya,” Tutur Mislah.

Lin dari Filipina menambahkan, “Kita harus bersama-sama menentang bukan hanya WTO tetapi juga sistem patriarki yang bekerja sama dengan kapitalisme. Terima kasih atas keberanian teman-teman semua. Walaupun berbeda negara dan bahasa, saya bisa merasakan penderitaan dan keberanian kalian. Hidup perempuan!”.

Nisa dari Solidaritas Perempuan menambahkan, “Dari kisah-kisah di atas kita dapat lihat bagaimana keanggotaan Indonesia di WTO merugikan warga negaranya terutama perempuan. Karena kelapa sawit menjadi produk ekspor unggulan Indonesia, land grabbing seperti dialami Irna dan komunitasnya di Poso terus terjadi dan semakin parah. Kisah Mislah juga menunjukkan kepada kita bagaimana dampak dari GATS Mode 4, perjanjian WTO yang memperlakukan buruh migran seperti barang, tanpa perlindungan dari pemerintah.”

Contact Person:
Puspa Dewy: 085260241597
Nisaa Yura: 081380709637

Translate »