Perdamaian Aceh Tanpa Perlindungan Perempuan Adalah Semu
Jakarta, 15 Agustus 2017. Tepat 13 tahun Penandatanganan MoU Perdamaian antara RI dan GAM, perempuan Aceh masih hidup dalam rasa tidak aman. Aceh dikenal sebagai salah satu wilayah yang memiliki banyak cerita sejarah di Indonesia, mulai sejarah konflik berkepanjangan selama 32 tahun, hingga bencana alam tsunami pada Desember tahun 2004 silam yang semakin memporak porandakan Aceh. Tak kurang, 200.000 jiwa meninggal saat terjadinya bencana tersebut. Upaya penandatanganan nota kesepahaman antara pemerintah RI dan GAM yang dilakukan pada 15 Agustus 2015 untuk menghentikan konflik bersenjata selama 32 tahun di Aceh merupakan awal dan harapan baru bagi masyarakat Aceh khususnya perempuan.
Penandatanganan nota kesepahaman itu telah menghasilkan beberapa pasal-pasal yang menjadi kesepakatan bersama yang harus disetujui salah satunya tentang legislatif Aceh yang akan mendraft ulang aturan-aturan di Adengn dengan menggunakan prinsip HAM universal yang ada dalam konvensi internasional UN tentang hak sipil politik dan juga hak ekonomi, sosial dan budaya.
“The legislature of Aceh will redraft the legal code for Aceh on the universal principles of human rights as contained in the International Covenant of the United Nations on the Rights of Civil and Political Rights and on Economic, Social and Cultural Rights (Paragraf 1.4.2 MoU Helsinki)”
Perjanjian ini seharusnya tentu ditaati oleh kedua pihak yang saat itu terlibat dalam perjanjian yang telah disepakati. Sayangnya, hal itu tidak sesuai dengan implementasi pasca terjadinya penandatanganan nota kesepakatan tersebut. Pemenuhan hak perempuan pasca konflik dan tsunami juga tidak maksimal terjadi. Kenyataannya masih banyak sekali korban konflik yang masih belum terpenuhi haknya[1]. Perempuan yang kemudian menuntut haknya, justru kembali mendapatkan tindakan kekerasan dan ketidakadilan. Meskipun, Konvensi Internasional tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi (CEDAW) telah diratifikasi dan diundangkan melalui UU No. 7/1984. Ini merupakan refleksi dari pengakuan negara atas berbagai tindak diskriminasi dan kewajiban serta upaya-upaya untuk penghapusannya. Dalam prakteknya para perempuan yang menggugat ini kembali mengalami diskriminasi dan ancaman fisik lainnya.
Penetapan Aceh sebagai daerah Syariat Islam, mendorong pemerintah melahirkan berbagai kebijakan diskriminatif di Aceh. Kebijakan ini kemudian memicu munculnya kebijakan lain yang banyak menjadikan perempuan sebagai objek dari kebijakan tersebut, seperti aturan perempuan memakai rok, peraturan jam malam bagi perempuan, peraturan perempuan dilarang mengangkang di sepeda motor, hingga menghasilkan hukum jinayat dan hukum acara jinayat di Aceh.
Kebijakan diskriminatif yang berlaku di Aceh pun, telah berdampak kepada perempuan dan kelompok minoritas lainnya. Kebijakan yang dilahirkan telah membatasi akses dan kontrol perempuan terhadap ruang publik dan sumber kehidupannya. Peran-peran perempuan kemudian dikembalikan ke ruang domestik. Tak hanya itu, menurut Puspa Dewy, “Perempuan juga masih minim sekali dilibatkan dalam rapat-rapat pengambilan keputusan dan cenderung hanya dilibatkan dalam urusan domestik atau pengaturan keuangan. Padahal pelibatan perempuan dalam berbagai ruang publik, termasuk dalam pengelolaan pertanian atau pengelolaan hutan juga sangat penting, karena perempuan dan alam sebagai sumber kehidupannya sangat erat kaitannya.”
Implementasi kebijakan diskriminatif juga memunculkan persoalan baru. Kebijakan Qanun Jinayat misalnya, dimana SP mencatat pada tahun 2017 terdapat 33 kasus pencambukkan yang terjadai di Aceh, diantaranya persoalan tuduhan khalwat dan zina[2]. Beberapa diantaranya kemudian diidentifikasikan sebagai korban salah tangkap dari polisi Syariat di Aceh. Selain itu, kasus persekusi yang terjadi akhir-akhir ini di Aceh juga meningkat. Kasus persekusi terakhir yang terjadi di Aceh, yaitu penangkapan ketua Bapedda Langsa yang ditangkap dan dimandikan dengan air comberan bersama istrinya[3].
Selain itu peningkatan kasus kekerasan terahdap perempuan dan anak di Aceh juga memperlihatkan bahwa kebijakan-kebijakan yang diberlakukan di Aceh selama ini tidak berdampak dalam pengurangan angka kekerasan terhadap perempuan dan anak di Aceh. Pada tahun 2017 Dinas Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) mencatat ada 1.791 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang naik dari tahun sebelumnya 2016 ada sebanyak 1.648[4].
Masifnya kebijakan diskriminatif di Aceh menjadikan kondisi perempuan dalam situasi tidak aman. Perempuan terbatasi ruang geraknya dalam beraktivitas maupun menyampaikan pandangannya. Hasil pemantauan perempuan di Aceh menunjukkan bahwa hanya 20% persen dari responden yang mengatakan tidak merasa aman, namun pada grafik tentang pengetahuan dan pemahaman terhadap kebijakan yang berlaku di Aceh, hampir 85% responden mengatakan perlu adanya sosialisasi qanun jinayah sebagai kebijakan yang berlaku di Aceh[5] yang selama ini diberlakukan di Aceh pasca penandatanganan nota kesepahaman Helsinki dan dianggap sebagai kebijakan yang memberikan perlindungan terhadap perempuan, faktanya masih belum mampu mengurangi angka kekerasan terahadap perempuan dan anak. Pada kenyataan 13 tahun setelah MoU Helsinki, perempuan semakin tidak memiliki kesempatan yang luas pada ruang gerak perempuan dan bahkan kebijakan tersebut juga mengontrol pakaian perempuan serta hasil kerja perempuan. “Perdamaian tidak hanya dimaknai sebagai berakhirnya konflik bersenjata, tetapi juga dimaknai sebagai damai, aman dan bebas dari berbagai bentuk kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan Aceh” ujar Puspa Dewy.
Contact Person :
Donna Swita (081317710690)
[1] http://www.komnasperempuan.or.id/wp-content/uploads/2014/02/Sebagai-Korban-juga-Survivor.pdf
[2] Data Solidaritas Perempuan-Kasus kekerasan akibat implementasi qanun jinyah tahun 2017
[3] https://www.harianaceh.co.id/2018/07/28/tertangkap-mesum-kepala-bappeda-langsa-ini-memilih-diguyur-air-parit/
[4] https://kumparan.com/@kumparannews/kekerasan-perempuan-dan-anak-di-aceh-2017-capai-1-791-kasus
[5] https://indonesiasp.elva.org/rasa-aman-di-aceh