“Bagi masyarakat dan perempuan bertani adalah kehidupan. Hidup dan mati, kami butuh tanah” (Emilia, Perempuan pemimpin Ogan Ilir Sumatera Selatan).
Bandar Lampung, 12 Januari 2017. “Komitmen Pemerintah untuk melaksanakan reforma agraria belum nyata dirasakan perempuan. Perempuan belum dijadikan subyek pemangku kepentingan ataupun dilibatkan dalam perumusan kebijakannya.” Hal ini sisampaikan oleh Puspa Dewy, Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan dalam Dialog Publik Nasional bertemakan Mendorong Pelaksanaan Reforma Agraria Berkeadilan Gender hari ini (12/01) di Lampung. Menurut Dewy, dalam perumusan kebijakan untuk pelaksanaan reforma agraria, Pemerintah tidak melakukan analisis gender untuk program prioritasnya maupun mempertimbangkan situasi dan kepentingan perempuan. Tidak ada keterlibatan Kementerian Pemberdayaan Perempuan maupun organisasi pemerhati perempuan juga menunjukkan bahwa pemerintah tidak melihat ada aspek perempuan dalam isu Agraria.
Hal ini jelas bertentangan dengan kebijakan menjamin perempuan untuk memiliki kesempatan yang sama dalam memperoleh hak atas tanah dan mendapat manfaat dari hasilnya. “Hal ini secara nyata dijamin oleh Undang-undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960,” jelas Dewy. Tak hanya itu, TAP MPR No. IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan sumber daya alam juga menjamin prinsip keadilan termasuk kesetaraan gender dalam penguasaan, pemilikan, penggunaan, pemanfaatan, dan pemeliharaan sumber daya agraria/sumber daya alam.
Padahal, perempuan selama ini mempunyai peran signifikan dalam pengelolaan tanah dan sumber agraria. Dalam pengelolaan lahan pertanian misalnya, perempuan berperan mulai dari pembibitan, penanaman, pemeliharaan hingga panen. Sayangnya, peran produktif perempuan belum sepenuhnya diakui dan diperhitungkan. Sementara menurut Emilia, dalam pengambilan keputusan pun, perempuan selalu terpinggirkan. “Perempuan selama ini tidak didengar, tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan,” ungkapnya.
Apalagi, selama ini perempuan mengalami ketimpangan berlapis. “Tidak hanya ketimpangan agraria struktural, tapi juga ketimpangan gender atau ketimpangan antara perempuan dan laki-laki,” ujar Dewy. Akibat sistem hukum dan budaya patriarki yang berlaku di Indonesia, perempuan masih mengalami diskriminasi dan terpinggirkan dalam hal kepemilikan dan penguasaan tanah.
Kepemilikan dan penguasaan tanah masih didominasi oleh laki-laki yang dianggap lebih unggul atau sebagai kepala keluarga. Catatan Solidaritas Perempuan di Poso, memperlihatkan bahwa 90% kepemilikan tanah atas nama laki-laki, hanya 10% atas nama perempuan. Hal ini juga berdampak pada minimnya perempuan dilibatkan dalam pengambilan keputusan soal tanah.
Bukan hanya tidak mempertimbangkan perempuan, agenda reforma agraria yang dijalankan pemerintah belum menyentuh persoalan konflik agraria yang massif di negera ini. Program redistribusi tanah dan legalisasi asset dengan target 9 juta hektar belum menyasar wilayah-wilayah konflik agraria yang seharusnya menjadi prioritas. “Reforma agraria yang dicanangkan belum mampu membongkar politik agraria yang patriaki yang selama ini meminggirkan masyarakat, terlebih perempuan,” pungkas Dewy.
Reforma agraria pemerintah belum menggambarkan upaya untuk benar-benar merombak struktur penguasaan lahan hingga dapat mencegah konflik agraria yang selama ini secara nyata memiskinkan dan menguatkan kekerasan terhadap perempuan. “Perempuan mengalami dampak yang berlapis akibat konflik agraria. Hilangnya tanah sebagai sumber kehidupan keluarga, meningkatkan beban perempuan dalam memastikan tersedianya pangan keluarga dan kebutuhan rumah tangga lainnya,” jelas Dewy. Konflik agraria juga berdampak pada perempuan yang terpaksa bekerja lebih demi mencukupi kebutuhan keluarga, hingga ke luar negeri menjadi Pekerja Rumah Tangga Migran yang rentan terhadap ketidakadilan dan kekerasan.
Tak hanya itu, Kekerasan dan kriminalisasi yang kerap terjadi dalam konflik agraria menimbulkan dampak dan trauma tersendiri bagi perempuan, ditambah lagi mereka juga harus memulihkan trauma anak-anaknya. “Perempuan mengalami trauma yang mendalam. Kami seperti buronan yang dikejar-kejar aparat negara,” ujar Emilia.
Reforma agraria sejatinya berorientasi pada pemenuhan hak-hak dan keadilan bagi semua masyarakat, perempuan dan laki-laki. Karena itu, reforma agraria penting dilaksanakan dengan menempatkan perempuan sebagai pemangku kepentingan, yang diakui peran dan posisinya serta diakomodir kepentingannya. “Reforma agraria yang dijalankan harus menjadikan perempuan sebagai subyek dari reforma agraria termasuk sebagai penerima tanah obyek reforma agraria. Selain itu, dalam upaya penyelesaian konflik agraria, perempuan juga harus dilibatkan dan dipenuhi kepentingannya termasuk dalam hal mendapatkan pemulihan dan rasa amannya kembali.” Tegas Dewy.
Kontak Person: Aliza (081294189573)