Siaran Pers Solidaritas Perempuan “Sahkan Qanun Jinayat, DPRA Abaikan Suara Rakyat”

Siaran Pers Solidaritas Perempuan
Sahkan Qanun Jinayat, DPRA Abaikan Suara Rakyat

Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh(DPRA) mengesahkan Qanun Jinayat pada 27 September 2014 dinihari, adalah sebuah keputusan gegabah dengan pengabaian hak politik rakyat khususnya kelompok rentan yang berada di Aceh. Tidak dibukanya ruang partisipasi kepada masyarakat, termasuk kepada kelompok rentan dan analisis yang mendalam terhadap dampak sosial yang ditimbulkan dengan hadirnya qanun tersebut di tengah-tengah masyarakat menjadi poin penting penghargaan terhadap hak sipil dan politik setiap orang. Selain itu juga, setidaknya dalam sebuah kebijakan daerah maupun nasional tetap harus memberikan penghargaan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia dan keadilan kepada seluruh masyarakat.

Proses pembahasan Qanun Jinayat yang terjadi sejak 2010, dinilai oleh sebagian masyarakat maupun organisasi yang bekerja dalam isu hak asasi manusia tidak mengedepankan prinsip dan nilai yang mencerminkan demokratisasi tanpa pelibatan kelompok masyarakat minoritas/marginal yang akan banyak merasakan dampak dari sebuah kebijakan, bahkan suara masyarakat yang mengkritik baik pada sisi proses maupun substansi yang diskriminatif terhadap perempuan dan kelompok minoritas lainnya tidak didengarkan bahkan diabaikan oleh pemerintah Aceh terutama oleh legislative, meskipun Gubernur sebagai eksekutif telah menyampaikan pandangannya agar penundaan pengesahan qanun jinayat di Aceh. Pro–Kontra yang berkembang di masyarakat tidak menjadi pertimbangan penting DPRA, bahkan yang terlihat adalah tudingan kepada kelompok yang kontra di anggap sebagai kelompok yang anti syariah.

Ada 9 pasal dari 11 pasal yang dalam Qanun jinayat yang diskriminatif terhadap kelompok minoritas yaitu perempuan dan anak. Pasal-pasal tersebut banyak mengatur tentang relasi kuasa antara laki-laki dan perempuan pada ranah privat/domestic yang berimplikasi pada pemahaman individu yang dominan baik di rumah tangga maupun publik, untuk melakukan tindakan kekerasan dan pelanggaran yang bertentangan dengan hukum yang berlaku di Indonesia. Potensi terhadap kekerasan dan pelanggaran hak-hak perempuan dan kelompok minoritas mulai terlihat pada Qanun ini, salah satunya terlihat dengan pasal 1 angka 30 yang tidak mengakui perkosaan didalam perkawinan merupakan bagian dari kekerasan dalam rumah tangga.

Padahal Indonesia telah memiliki UU PKDRT (UU Nomer 23 Tahun 2004) dengan jelas menyebutkan bahwa perkosaan dalam rumah tangga merupakan bagian kekerasan dalam rumah tangga dan juga dianggap sebagai sebuah tindak pidana. Selain itu Indonesia memiliki UU No. 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW), substansi qanun jinayat tersebut jelas terlihat adalah tindakan diskriminatif terhadap perempuan. Perlakuan diskriminatif juga dapat terjadi kepada kelompok minoritas lainnya termasuk masyarakat non muslim yang berada di Aceh. Jika demikian, hukum yang dibuat tidak dapat dikatakan ditujukan untuk membangun ketertiban dan keadilan social bagi seluruh elemen masyarakat yang ada di Aceh. Tetapi justru akan menimbulkan berbagai reaksi masyarakat untuk melakukan tindakan-tindakan pelanggaran dan kekerasan yang bertentangan dengan kebijakan yang berlaku di Indonesia.

Kebijakan ini juga dinilai bertentangan dengan  konstitusi negara Indonesia UUD 1945 dan UU yang berlaku, dimana partisipasi, penghargaan terhadap nilai-nilai kebhinekaan yang menjadi falsafah negara, pengakuan dan perlindungan hak asasi sebagai warga negara akan terancam dengan adanya di tetapkannya Qanun Jinayat ini. Pandangan Gubernur Aceh untuk tidak menandatangani qanun ini dan meminta kepada DPRA meninjau kembali substansi harus mendapatkan apresiasi, sebagai bentuk untuk penegakan hukum yang adil tidak diskriminatif. Selain itu juga Mendagri sebagai institusi Negara dapat lebih dalam melihat dampak social yang akan terjadi dengan adanya qanun jinayat ini terhadap kelompok perempuan dan kelompok minoritas lainnya.

Atas ancaman dan situasi tersebut, Solidaritas Perempuan mendesak  :

  1. Mendukung Gubernur Aceh untuk tidak menandatangani Qanun Jinayah di Aceh.
  2. Mendagri untuk segera mengambil langkah-langkah tegas atas Pengesahan Qanun Jinayat bertentangan terhadap konstitusi negara dan kebijakan yang berlaku di Indonesia.
  3. Mendagri harus mengkaji ulang proses pengesahaan Qanun Jinayat yang tidak partisipatif dan tidak melibatkan berbagai element pemangku kepentingan, termasuk kelompok perempuan dan kelompok minoritas lainnya yang dapat memicu tindakan-tindakan melanggar hukum dan HAM.
  4. Mendesak Kementerian Hukum dan HAM untuk segera melakukan kajian terhadap beberapa kebijakan yang menggunakan keyakinan kelompok mayoritas di berbagai wilayah di Indonesia.

Jakarta, 7 Oktober 2014

Wahidah Rustam
Ketua badan Eksekutif Nasional
Solidaritas Perempuan

Kontak Person:
Donna Swita (Telp: 081317710690,  donna@solidaritasperempuan.org)

Translate »