Tabanan – Bali, 9 Oktober 2018. Sedikitnya 100 perempuan pejuang kedaulatan pangan mendesak negara untuk memenuhi kewajibannya untuk mengakui, melindungi dan memenuhi hak perempuan atas pangan. Perempuan pejuang yang berasal dari Bali, Yogyakarta, Sumbawa, Mataram, Makassar, Aceh, Palembang, Lampung, Kendari dan Kalimantan Tengah berkumpul di Desa Penatahan – Tabanan dalam kegiatan Festival Pangan Perempuan: Bersama Perempuan Mewujudkan Kedaulatan Pangan. “Festival Pangan Perempuan ini merupakan ruang bagi perempuan untuk berbagi pengalaman dan pengetahuan perempuan dalam pengelolaan pangan. Dalam kegiatan ini juga perempuan saling berbagi tantangan yang dihadapi dan bagaimana perempuan memperjuangkan kedaulatan pangannya” ujar Puspa Dewy (Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan) dalam sambutannya.
Meskipun perempuan memiliki peran yang sangat signifikan dalam sistem pengelolaan pangan, namun haknya atas pangan semakin terancam oleh berbagai sistem ekonomi yang berorientasi pada pertumbuhan semata. Sektor pangan adalah salah satu sektor yang menjadi sasaran bagi pemilik modal untuk melipatgandakan keuntungannya, hal ini karena pangan merupakan kebutuhan mendasar bagi setiap orang. “Sistem subak sebagai kearifan lokal masyarakat Bali semakin terancam. Apalagi kiniy kami harus membayar pupuk dan bibit dengan harga yang mahal, sementara hasil panen terpaksa dijual murah,” ujar Made seorang perempuan petani dari Tabanan. Pengalaman serupa juga disampaikan oleh Daryuti, perempuan petani dari Lampung, “Kami dijebak dalam sistem pertanian yang memaksa kami untuk bergantung pada bahan-bahan dan alat yang mahal dari perusahaan”. Hilangnya kedaulatan perempuan dalam mengelola sistem pertanian merupakan ancaman terhadap realisasi progresif hak atas pangan, khususnya perempuan.
Pada konteks demikian, sudah seharusnya negara menjalankan kewajibannya untuk melindungi hak atas pangan dari ancaman maupun potensi ancaman akibat globalisasi. Hendaknya negara lebih memprioritaskan kepentingan rakyatnya ketimbang tekanan ataupun intervensi dari berbagai aktor, termasuk Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional. Negara harus berpegang pada mandat konstitusi, yaitu menyejahterakan rakyat terlebih perempuan sebagai kelompok yang mengalami dampak lebih berat dan mendalam ketika terjadi krisis pangan. Untuk itu, perempuan pejuang kedaulatan pangan mendesak Negara untuk melindungi hak perempuan atas pangan dan tidak membuka ruang bagi intervensi Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional terhadap kebijakan pangan di Indonesiay yang akan memperdalam dan memperluas pelanggaran hak perempuan atas pangan.
Narahubung : Ega 081288794813