Situasi kasus-kasus kelaparan dan gizi buruk yang terjadi di wilayah Indonesia sampai saat ini belum terselesaikan, seperti yang terjadi di NTT pada tahun 2010, sebanyak 1,6 juta penduduk NTT terancam kelaparan serius situasi ini dilaporan oleh kepala dinas sosial NTT. NTT adalah wilayah indonesia yang banyak menghasilkan produksi pertanian dan warganya bekerja di pertanian. Setidaknya 40,1% ibu hamil dan 26,4% perempuan usia subur menderita anemia, akibat krisis pangan. Menurut data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010, jumlah penderita berat kurang di kalangan anak balita mencapai 17,9% yang terdiri dari 4,9 % gizi buruk dan 13,0% kurang gizi. Dari data diatas terlihat bahwa situasi kelaparan, kurang gizi dan anemia banyak dialami oleh perempuan. Sementara pengelolaan sumber pangan sebahagian besar dilakukan perempuan, namun perempuan masih sangat kesulitan dalam mengakses hak atas pangan dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam proses produksi, konsumsi dan distribusi.
Situasi lain, kriminalisasi terhadap petani juga banyak terjadi, seperti yang terjadi pada petani di Indramayu yang dikriminalisasi karena mereka membudidayakan benih lokal . Kriminalisasi juga rentan dialami perempuan petani, yang 90% terlibat dalam proses pembudidayaan, yang dikuatkan oleh Undang-Undang Nomor 12 tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman telah melanggar hak cipta. Ancaman ini juga tercermin dalam UU Pangan yang baru disahkan, pada pasal 77 tentang rekayasa genetika. Sistem rekayasa genetika, mengancam keberlanjutan benih lokal yang dikelola oleh perempuan petani. Persoalan lain yang dihadapi perempuan petani adalah semakin sempitnya ketersediaan lahan pertanian di Indonesia, karena telah dialih fungsikan. Berdasarkan hasil sensus lahan yang dilakukan oleh Kementerian Pertanian (Kementan), lahan sawah pada 2010 susut menjadi 3,5 juta hektare (ha) dari 4,1 juta ha di 2007. Dalam rentang waktu tiga tahun, konversi lahan mencapai 600 ribu ha. Dengan situasi ini melihat ketersediaan pangan untuk Indonesia kecil kemungkinan adanya ketersedian produksi pangan, jelas akan semakin membuka impor besar-besar untuk memenuhi ketersedian pangan Indonesia yang juga diakomodir dalam UU Pangan pada pasal 36 pengaturan impor pangan.
Persoalan kelaparan, krisis harga pangan, impor pangan, standarisasi/labelisasi industri pangan,bahkan kriminalisasi perempuan petani, secara tegas belum terjawab dan diakomodir dalam kebijakan ini. Padahal situasi ini, sangat berdampak pada peran dan kehidupan perempuan dalam pengelolaan sumber daya pangan. Hak-hak perempuan dalam proses produksi pertanian dan menghilangkan benih kearifan lokal semakin terpinggirkan, bahkan mulai hilang. Persoalan ini juga tidak terlepas dari keterlibatan lembaga keuangan internasional seperti Bank Dunia dalam sektor pangan, salah satunya terlibat dalam spekulasi harga pangan di Indonesia, berakibat kepada daya beli masyarakat terutama perempuan.
Pengesahan UU Pangan pada tanggal 18 Oktober 2012, sama sekali bukan kebijakan yang dapat menjawab persoalan-persoalan diatas. Menurut DPR yang disampaikan pada siaran persnya ketika pengesahan Undang-undang Pangan ini, untuk mengoptimalkan sumberdaya lokal dengan mengutamakan keanekaragamam pangan dan pengutamaan produksi pangan dalam negeri. Namun pada kenyataannya, UU Pangan tersebut justru berpotensi menghilangkan kearifan lokal perempuan, menghilangkan industri pangan rumahan yang dikelola oleh perempuan, peluang keterlibatan sektor swasta dalam penguasaan sektor pangan, dan peluang terjadinya impor pangan, bahkan UU Pangan ini masih mendiskriminasikan perempuan dalam pengelolaan pangan. Terbukti dengan tidak dimasukkannya asas keadilan gender, dan UU No.7 Tahun 1984 tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan. Pengalaman, pengetahuan, dan hak-hak perempuan dalam pengelolaan sumber daya pangan jelas tidak diakomodir dalam UU Pangan.
Pengesahan UU Pangan ini semakin membuktikan kepentingan pasar dan melegitimasi perjanjian perdagangan internasional, salah satunya Perjanjian Eropa-Asia yang akan dilakukan pada pertemuan ASEM (Asia-Europe Meeting) ke-9 di Laos bulan November 2012. Kerjasama ini, akan memberikan peluang bagi produk pertanian Uni Eropa untuk lebih kompetitif di pasar Indonesia dan akan terjadi peningkatan ekspor Uni Eropa untuk produk susu, sereal, daging, gula dan pangan olahan. Semuanya tentu saja akan berimbas terhadap produsen beras, jagung, gula, susu atau daging di Indonesia.
Sementara kehadiran Kelembagaan Pangan dalam UU Pangan, belum menjamin perlindungan, pemenuhan dan penghormatan hak perempuan atas pangan. Bahkan UU Pangan diidentifikasikan memiliki kontrol yang kuat atas sistem pangan mulai dari tingkat nasional hingga desa sebagai cara untuk memastikan tercapainya kedaulatan pangan, kemandirian pangan dan ketahanan pangan.
Oleh karena itu, Solidaritas Perempuan menyatakan kekecewaan terhadap pengesahan Undang-Undang Perubahan atas UU Pangan No.7 tahun 1996 tentang Pangan, yang semakin membuktikan ketidakberpihakan pemerintah dan DPR terhadap kepentingan hak-hak perempuan atas pangan. Solidaritas Perempuan bersama dengan perempuan petani, perempuan nelayan dan perempuan miskin kota, siap dan terus memperjuangkan hak perempuan atas pangan yang tidak diakomodir dalam Undang-Undang Pangan.
Jakarta, 24 Oktober 2012
Wahidah Rustam
Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan
Kontak Person : Ade Herlina : adeherlina@solidaritasperempuan.org