Kamis, 19 Desember 2013 Sidang Gugatan Warga Negara kembali di gelar di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Gugatan Warga Negara ini dilakukan terkait buruknya pelayanan air di Jakarta pasca dialihkannya pengelolaan air dari Pemprov DKI Jakarta ke pihak swasta (PT. Aetra dan PT. Palyja). Situasi ini yang kemudian dianggap melanggar hak atas air warga Jakarta.
Sidang menghadirkan 2 orang saksi untuk mendukung bukti mengenai buruknya pelayanan air oleh pihak swasta. Salah satunyaa dalah PT. Aetra yang beroperasi di Rawa Badak. Sidang dimulai pukul 15.45, menghadirkan ibu Halimah, anggota SP Jabotabek yang tinggal di Rawa badak sebagai saksi pertama. Beliau sudah menjadi pelanggan PAM sejak tahun 1997. Dalam kesaksiannya, Ibu Halimah mengisahkan kesulitan mengakses air bersih sejak tahun 2000 sampai sekarang. Pada tahun 1997-2000 saat pengelolaan air bersih dikelola oleh PAM, kualitas air bagus, jernih, dan tidak pernah berhenti secara tiba-tiba. Hal ini berbading terbalik dengan situasi pasca pengelolaan air berpindah tangan ke pihak swasta di tahun 2000.
“Sejak tahun 2000, sampai sekarang, air di rumah saya jadi berbau, dan kuning.Untuk mandi, mencuci beras dan memasak nasi saya menggunakan air galon, jadi selain kami mengeluarkan uang untuk membayar uang bulanan air, kami juga harus mengeluarkan uang lebih untu membeli air galon. Air yang keluar dari keran juga sangat kecil, dan biasanya keluar hanya jam tertentu, hanya jam 2-3 pagi biasa para ibu yang tungguin air, jadi kami harus menunggu air itu, agar memenuhi kebutuhan air keluarga, air yang keluar juga paling hanya 2 ember aja. Walau kualitasnya begitu, tarif tetep aja naik terus” Kesaksian Ibu Halimah.
Dan saat ditanya oleh pihat tergugat mengenai pengaduan yang pernah dilakukan ibu Halimah, bu Halimah menjelaskan bahwa ia pernah mengajukan keluhan,namun tidak pernah ditanggapi .
Saksi kedua yang dihadirkan adalah ibu Habibah dari Merinda-Kepu Jakarta Utara, kesaksian yang diberikan oleh ibu Habibah ini berberbeda dengan Ibu Halimah yang merupakan pelanggan PAM. Ibu Habibah bukan merupakan pelanggan air bersih manapun, untuk kesehariannya ibu Habibah menggunakan air kali, tampungan air hujan untuk mandi, dan mencuci. Saat ditanya hakim “mengapa ibu tidak buat pengajuan ke pemerintah untuk minta dipasangkan air bersih berlangganan?” Ibu Habibah menjawab
“ Saya enggak tau, saya cuma nelayan, jadi engga ngerti yang kayak gitu”, dan pemerintah Jakarta juga enggak penah ada yang datang ke sini, dan kasih informasi itu, padahal kalau di luar rusun di wilayah saya, di perumahan-perumahan airnya keluar banyak dan jernih. Sekarang untuk dapat air bersih saya harus beli dari Bekasi, padahal pendapatan sebagai nelayan yang didapat sehari cuma30-40 ribu perhari, uang segitu sebenernya cuma cukup untuk makan aja, makanya kami berat banget kalau harus beli air….”
Di sesi akhir kesaksian mereka, kedua perempuan ini mengatakan keinginan mereka untuk memiliki akses terhadap air bersih, secara gratis. Mereka sangat berharap pemerintah dapat mengakomodir keinginan mereka.
Kesaksian 2 perempuan diatas telah membuktikan bahwa pemerintah telah gagal memenuhi hak atas air bersih warga DKI Jakarta, bahkan menjadikan air bersih sebagai komoditas dengan diserahkannya pengelolaan air bersih kepada perusahaan swasta. Padahal Hak atas air adalah hak konstitusi masyarakat sebagai warga Negara Indonesia, maka sudah menjadi kewajiban pemerintahlah untuk bertanggung jawab memenuhi kebutuhan mereka atas air.
Persidangan diakhiri pukul 17.00 WIB, dengan keputusan akan dilaksanakan sidang berikutnya tanggal 7 Januari 2014 pukul 15.00 WIB, dangan agenda menghadirkan kembali saksi-saksi dari pihak penggugat.
Oleh : Nisa Anisa