Sidang Komite HAM Sipol PBB: Pemerintah RI Berlindung di Soal-soal Prosedural, Jauh dari Substansial

 Siaran Pers

[Jakarta, 12 Maret 2024] – Jaringan Masyarakat Sipil untuk Advokasi Hak-hak Sipil dan Politik  (Sipol)  menilai,  pemerintah  menggunakan  sejumlah  prosedur  dan program dalam menjawab sejumlah isu dalam sidang Komite HAM Sipol PBB di Jenewa,  11 12 Maret 2024. Jawaban-jawaban prosedural seperti dibentuknya Keppres penyelesaian pelanggaran  HAM berat non yudisial, rencana aksi nasional (RAN) HAM, dll belum mampu  menjawab akar persoalan pelanggaran hak-hak sipol dan pelanggaran HAM berat masa lalu di Indonesia.

Sejumlah  isu dibahas, di antaranya: soal pelanggaran HAM berat masa lalu, pelanggaran HAM di Papua, Munir, Qanun dan KKR Aceh, penodaan agama, hukuman mati, pengungsi Rohingya, izin pendirian rumah ibadah yang menyulitkan kelompok minoritas agama dalam membangun rumah ibadah, kebebasan berekspresi, serta soal pemasungan terhadap kelompok disabilitas mental, dan lain-lain.

Soal pelanggaran HAM berat masa lalu, delegasi Pemerintah Indonesia melalui Mugiyanto dari KSP menyatakan bahwa Pemerintah telah membuat 4 pengadilan HAM untuk kasus Tanjung Priok, Abepura, Timor Leste, dan yang terakhir kasus Paniai Berdarah. Jawaban tersebut benar secara fakta dan prosedur, namun belum menunjukan kemauan politik yang kuat mengingat substansinya belum menghadirkan keadilan.

Kasus Munir juga ditanyakan oleh Anggota Komite, Gomez Martinez. Menurut Mugiyanto, perwakilan RI, kasus Munir sudah selesai karena Negara telah melaksanakan sidang atas 3 terduga pelaku pembunuhan Munir dan bahkan telah menghukum Pollycarpus sebagai pelaku pembunuhannya. Fakta bahwa hingga saat ini, aktor intelektual pembunuhan Munir tidak pernah terjamah hukum alias memiliki impunitas.

Maurice  Kran,  Anggota  Komite  yang  juga  advokat  HAM  dari Kanada mempertanyakan keberadaan peraturan diskriminatif di tingkat daerah yang tidak sesuai dengan prinsip HAM. Salah satunya adalah Qanun Jinayat di Aceh yang anti homoseksual, serta mengakomodir praktik hukuman fisik bagi anak (12-18 tahun). Delegasi Pemerintah Indonesia menyatakan, mereka tidak memiliki kewenangan untuk mencabut peraturan daerah yang diskriminatif.

Hal ini langsung direspon oleh Azriana,   Aktivis Perempuan   Aceh yang juga merupakan mantan  Ketua  Komnas  Perempuan.  “UU  Pemerintah  Daerah telah memberi kewenangan kepada   Kementerian Dalam Negeri untuk   mencegah lahirnya peraturan daerah yang diskriminatif, bahkan memiliki kewenangan untuk membatalkan sepanjang tahun 2015-2016. Selain itu    Kementerian  Hukum dan HAM juga memiliki kewenangan untuk melakukan evaluasi terhadap peraturan daerah yang  diskriminatif.  Namun  seluruh kewenangan tersebut belum digunakan dengan maksimal ” katanya dalam sesi diskusi daring yang diselenggarakan oleh Human Rights Working Group (HRWG) merespon sidang (12/3).

Militerisasi dan pelanggaran HAM di Papua juga menjadi perhatian dua anggota Komite, yakni Gomez Martinez dan Ndiaye. Pertanyaan soal kekerasan dan pelanggaran HAM di Papua,  termasuk  pertanyaan spesifik mengenai kebebasan berserikat dalam melaksanakan

aksi  damai  menyuarakan  aspirasi  tentang  hak  menentukan  nasib  sendiri, hanya direspon dengan jawaban mengenai otonomi khusus Papua yang berfokus pada pendekatan pendanaan yang diklaim sebagai upaya untuk memperkuat otonomi khusus Papua itu sendiri. Delegasi Pemerintah RI juga membantah dan sama sekali tidak mau mengakui adanya militerisasi di Papua. “Keberadaan militer hanya untuk mendukung kedaulatan, sesuai dengan UU TNI,” kata perwakilan RI.

Soal kebebasan berekspresi, Pemerintah Indonesia menganggap aktivis, jurnalis, dan pembela HAM sebagai rekan saat menjawab keprihatinan anggota Komite soal situasi mengkhawatirkan yang dihadapi oleh aktivis, jurnalis, dan pembela HAM di Indonesia yang rentan dikriminalisasi.

Soal penggunaan kekuatan berlebihan atau excessive use of force yang dilakukan terhadap kasus-kasus terkait narkoba, rencana Pemerintah untuk meratifikasi Konvensi 1951 soal pengungsi,  dan  penyiksaan,  delegasi  Pemerintah  Indonesia  pun  lagi-lagi  menjawabnya dengan jawaban-jawaban prosedural, misalnya dengan telah diadakannya seminar dan peningkatan kapasitas.

Jaringan Masyarakat Sipil Indonesia untuk Advokasi Hak-hak Sipol telah mengirimkan laporan bayangan kepada Komite Sipol PBB dengan judul, “Repressive  Developmentalism  and  Sectarian  Populism  in  Indonesia pada 05 Februari 2024 yang lalu. —

 

Narahubung:
Daniel Awigra, Direktur Eksekutif HRWG, Jaringan Masyarakat Sipil untuk Advokasi Hak-hak Sipol

Jaringan Masyarakat Sipil untuk Advokasi Hak-hak Sipol:

  1. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia
  2. Arus Pelangi
  3. Biro Papua PGI
  4. ELSAM
  5. GAYa Nusantara
  6. Gerakan Perjuangan Anti Diskriminasi (GANDI)
  7. HuMa
  8. IKOHI
  9. ILRC
  10. IMPARSIAL
  11. 1 INFID
  12. Institute for Ecosoc Rights
  13. JATAM
  14. KPI
  15. Komite Hukum JAI
  16. LBH Apik Jakarta
  17. LBH Banda Aceh
  18. LBH Jakarta
  19. LBH Pers
  20. Migrant Care
  21. Mitra Perempuan
  22. PBHI
  23. RPUK Aceh
  24. Satya Bumi
  25. SBMI
  26. SETARA Institute
  27. SKPKC FP
  28. SEJUK
  29. Solidaritas Perempuan
  30. TURC
  31. WALHI
  32. YAPPIKA
  33. Yayasan Kalyanamitra
  34. Yayasan Pulih
  35. Yayasan TIFA
  36. YLBHI
Translate »