SIKAP POLITIK SOLIDARITAS PEREMPUAN:
ATAS ANCAMAN PENGHANCURAN DEMOKRASI DAN GERAKAN MASYARAKAT SIPIL MELALUI PERPPU NOMOR 2 TAHUN 2017 (PERPPU ORMAS)
- Pengantar
Pada 10 Juli 2017, presiden Jokowi telah menetapkan Perppu No. 2 Tahun 2017 tentang Perubahan UU No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Masyarakat Sipil. Kehadiran Perppu ini akan menghancurkan demokrasi dan membungkam suara rakyat Indonesia untuk memperjuangkan dan menuntut keadilan negara. Langkah ini merupakan bentuk kontrol dan upaya pembungkaman sistematis oleh negara terhadap kelompok-kelompok kritis. Saat ini, Perppu Ormas sudah masuk ke Dewan Perwakilan Rakyat untuk dibahas dan diputuskan apakah diterima dan menjadi Undang-undang, atau ditolak dan dibatalkan. Meski demikian, implementasi Perppu ini telah mulai dijalankan di antaranya untuk mengkriminalisasi aktivis anti tambang, maupun memantau kelompok agama minoritas.
Bahwa pada 2013, negara telah mulai memperkuat kontrol terhadap organisasi masyarakat sipil melalui munculnya UU Nomor 17 tahun 2003 tentang Organisasi Masyarakat Sipil (UU Ormas). UU ini merupakan upaya negara untuk melegitimasi kontrol dan pembatasan ruang gerak organisasi masyarakat sipil, melalui pengaturan terkait pendaftaran, pasal-pasal larangan, hingga mekanisme sanksi yang dapat berujung pada pembubaran Ormas.
Bahwa mekanisme sanksi yang diatur di dalam UU Ormas tersebut dianggap tidak mampu secara efektif mengontrol Ormas, maupun menjangkau masyarakat yang kritis sehingga pemerintah menerbitkan Perppu no. 2 tahun 2017 tentang Perubahan atas UU Ormas (Perppu Ormas). Perppu ini meningkatkan kontrol negara dengan menambah substansi larangan, memasukkan sanksi pidana[1], serta menghapuskan prosedur sanksi yang diatur di dalam UU Ormas, termasuk di dalamnya menghapus proses peradilan sebagai prosedur pembubaran organisasi.[2]
Bahwa dengan berbagai perubahan di atas, terbitnya Perppu Ormas jelas ditujukan untuk mengancam dan membungkam Ormas maupun masyarakat yang kritis melalui berbagai pasal karet,[3] yang kerap diterapkan secara subjektif. Fakta membuktikan, bahwa kriminalisasi terhadap aktivis[4] maupun suara-suara kritis kerap dilakukan, melalui tuduhan gerakan separatisme, melawan ideologi negara, mengganggu ketertiban umum, ataupun penodaan agama yang juga diatur dalam pasal 59 dan 60 Perppu Ormas. Artinya, Perppu ini dapat digunakan oleh berbagai kepentingan untuk menjerat siapa saja terutama masyarakat yang kritis.
Bahwa pada sisi yang lain, Solidaritas Perempuan juga tidak membenarkan tindakan kelompok-kelompok fundamentalis agama yang selama ini telah menghancurkan keberagaman cara berkeyakinan. Massifnya kelompok fundamentalisme agama yang menebarkan politik ketakutan dengan menggunakan kuasa agama mayoritas terhadap agama lain jelas merupakan ancaman bagi demokrasi dan gerakan perempuan. Momentum Pilgub DKI Jakarta yang lalu telah memperlihatkan cara kelompok fundamentalisme mempolitisasi dogma-dogma agama untuk kepentingan politik secara masif, dan menjadikan semakin suburnya intoleransi di Indonesia.
Bahwa, untuk melindungi masyarakat dan negara dari kelompok fundamentalis yang mengancam demokrasi, seharusnya tidak dilakukan melalui mekanisme yang anti demokrasi. Fundamentalisme jelas merupakan ancaman, tetapi memberikan kuasa penuh kepada pemerintah melalui perppu ini, akan membuat kita berhadapan dengan fundamentalisme dan otoritarianisme sekaligus.
Langkah-langkah yang dilakukan dalam pelaksanaan Perppu ini justru akan semakin menyuburkan kelompok fundamentalisme agama yang merasa mayoritas namun secara politik sengaja dihilangkan tanpa proses hukum yang berlangsung di dalam negara. Ini berpotensi menimbulkan “gerakan tersembunyi” yang semakin mematikan demokrasi di Indonesia. Di sisi lain, dengan menggunakan otoritas penuh negara dalam membungkam warga negaranya, Perppu ini bukan hanya akan menjerat kelompok fundamentalisme namun juga organisasi masyarakat sipil yang kritis termasuk gerakan perempuan.
- Pandangan SP
Berdasarkan uraian di atas, Solidaritas Perempuan merasa perlu menyampaikan pandangan terhadap Perppu Ormas sebagai berikut:
- Perppu Ormas telah melanggar Hak Asasi Manusia, yang juga merupakan hak dasar warga negara, perempuan dan laki-laki, untuk berpikir, berserikat, berkumpul, dan berpendapat serta hak atas rasa aman yang dijamin perlindungannya di dalam konstitusi. Kehadiran Perppu ini menambah daftar panjang pelanggaran Hak Asasi Manusia dan Hak Asasi Perempuan yang dilakukan pada masa kepemimpinan Jokowi –JK, baik pelanggaran hak atas tanah, hak atas sumber-sumber kehidupan, hak atas pangan, hak sebagai buruh migran, hak untuk memilih keyakinan dan hak perempuan atas seksualitasnya. Perppu ini bahkan juga akan memperkuat pelanggaran hak-hak tersebut di atas, dengan ancaman kriminalisasi atas nama pelaksanaan Perppu.
- Perppu Ormas melanggar hukum, di antaranya UUD 1945 Pasal 28 E dan undang-undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pasal 22 – 25 tentang jaminan kebebasan untuk beragama, pasal 23 tentang menyatakan tentang jaminan kebebasan untuk beragama, mengeluarkan pendapat, pikiran, dan sikap serta kebebasan untuk berserikat dan berkumpul. Selain itu, penjatuhan sanksi yang tidak lagi memerlukan adanya pertimbangan pengadilan dan tidak melalui prosedur peradilan, melainkan diserahkan sepenuhnya kepada Menteri atau Institusi terkait[5], berpotensi menimbulkan subjektivitas pemerintah di dalam penerapannya. Perppu ini juga melanggengkan pasal karet yang tidak jelas definisi dan unsur-unsur yang harus dibuktikannya, antara lain pasal tentang mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum, dan penyalahgunaan, penistaan atau penodaan agama, tanpa memberikan penjelasan pasal. Hal ini tentu saja menimbulkan ketidakpastian hukum dan melanggar asas keadilan.[6] di dalam hukum.
- Perppu Ormas merupakan bentuk pembungkaman, pembatasan ruang gerak dan ancaman kriminalisasi, sehingga secara nyata berpotensi menghancurkan gerakan sosial dan gerakan perempuan, yang selama ini secara kritis melawan ketidakadilan serta penindasan di berbagai konteks. Ancaman kriminalisasi dengan tuduhan separatisme, komunisme, penodaan agama hingga ketertiban umum akan membatasi ruang gerak gerakan sosial, dan bahkan mengancam keamanan aktivis-aktivisnya. Tak hanya ancaman pembubaran organisasi, aktivis pembela HAM yang berada di gerakan sosial juga berhadapan dengan ancaman pidana, bahkan hingga seumur hidup. Hal ini merupakan intimidasi untuk membungkam dan mengancam gerakan sosial, sehingga langkah-langkah yang ditempuh oleh para aktivis menjadi sangat terbatas. Tak hanya itu, dihapusnya serangkaian mekanisme pemberian sanksi, turut menghapus ruang pembelaan diri bagi masyarakat maupun organisasi. Indonesia terancam akan kembali pada masa otoritarian, di mana kebebasan berpikir dan bertindak dianggap kriminal dan berorganisasi dapat diberikan sanksi atau bahkan dipidanakan tanpa prosedur hukum yang layak ataupun proses peradilan.
- Implikasi Perppu Ormas bagi Gerakan Perempuan
Hari ini, perempuan berhadapan dengan menguatnya fundamentalisme yang terwujud di dalam praktik-praktik diskriminatif, yang bahkan dilegitimasi melalui kebijakan-kebijakan diskriminatif yang mengatasnamakan agama. Fundamentalisme dan Otoritarianisme mempunyai persamaan yakni sama-sama melakukan pembungkaman terhadap kritisisme, yang praktiknya sudah banyak kita lihat saat ini. Tafsir-tafsir agama oleh kelompok fundamentalisme yang sangat diskriminatif terhadap perempuan, kerap diadopsi menjadi kebijakan negara yang diberlakukan bagi masyarakat, dan berujung pada kekerasan serta diskriminasi terhadap perempuan.
Dalam situasi di atas, kerja-kerja gerakan perempuan sangat dekat dengan advokasi kebijakan yang secara jelas menyasar seksualitas perempuan dengan mengatasnamakan agama. Dengan adanya Perppu Ormas, kerja-kerja mengkritisi politisasi agama/tafsir agama yang diskriminatif dan menyasar seksualitas perempuan tersebut sangat berpotensi untuk diperhadapkan dengan pasal penodaan agama. Hal ini akan mengakibatkan perempuan aktivis rentan dikriminalisasi ataupun diintimidasi dengan mengatasnamakan pasal tersebut.
Selain itu, keterikatan perempuan dengan lingkungan dan sumber daya alam, juga mendorong perempuan untuk selalu memperjuangkan kedaulatannya yang terampas. Perempuan kerap berjuang merebut kedaulatannya atas tanah, pangan, pekerjaan, dan sumber-sumber kehidupan lainnya yang selama ini terampas akibat kebijakan maupun proyek negara. Dalam konteks ini, gerakan perempuan termasuk gerakan di tingkat akar rumput, terancam ruang gerak maupun rasa amannya, termasuk juga terancama dikriminalisasi. Selama ini, konflik tanah yang semakin massif terjadi juga telah menimbulkan dampak penindasan berlapis terhadap perempuan.
Di sepanjang Januari-Juni 2017 ini saja, kriminalisasi dan kekerasan terjadi di berbagai wilayah, di mana kasus-kasus tersebut telah meningkatkan beban dan dampak berlapis yang dialami perempuan dalam konflik agraria. Bahkan, terdapat perempuan petani yang dikriminalisasi,[7] atupun mendapatkan kekerasan yan dilakukan oleh aparat.[8] Hadirnya Perppu Ormas berpotensi semakin meningkatkan kasus kriminalisasi dan kekerasan terhadap perempuan di berbagai konteks. Perempuan akan semakin kehilangan ruang untuk berpikir dan bersikap kritis dalam memperoleh hak-haknya, dan kelompok perempuan berada pada situasi terancam oleh penindasan dan ketidakadilan. Perjuangan perempuan korban konflik agraria, perempuan nelayan/pesisir, perempuan buruh migran dan perempuan marginal lainnya, yang mengalami penindasan dan ketidakadilan akibat kebijakan, proyek maupun program yang dilahirkan pemerintah Indonesia akan semakin terbungkam karena ancaman tuduhan melanggar ketertiban umum atau melawan ideologi negara.
- Sikap dan Rekomendasi Solidaritas Perempuan
Berdasarkan pertimbangan prinsip HAM, demokrasi dan konstitusi maka Solidaritas Perempuan sebagai bagian dari gerakan masyarakat sipil di Indonesia menyatakan sikap Menolak Peraturan Presiden Nomor 2 tahun 2017 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 Tentang Organisasi Kemasyarakatan, dan merekomendasikan:
- Pemerintah untuk segera membatalkan Perppu Nomor 2 tahun 2017 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 Tentang Organisasi Kemasyarakatan.
- DPR untuk tidak mengesahkan Perppu Nomor 2 tahun 2017 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 Tentang Organisasi Kemasyarakatan menjadi Undang-undang
- Presiden melakukan tindakan konkret dalam menjamin perlindungan perempuan dan kelompok marjinal serta penghormatan atas HAM[9] sebagaimana janji dalam Nawacita Jokowi – JK.
- Pemerintah harus segera mengambil langkah-langkah konkret untuk menyelesaikan persoalan meluasnya gerakan fundamentalisme tanpa menggunakan cara-cara yang menutup ruang demokrasi dan ruang kritis bagi rakyatnya.
Solidaritas Perempuan menyerukan kepada seluruh masyarakat untuk menolak Perppu ini karena mengancam demokrasi, kebebasan bertindak, kebebasan berserikat, kebebasan berpendapat, kebebasan bersuara dan membungkam suara kritis rakyat terhadap pelanggaran HAM yang dilakukan negara.
Jakarta, 24 Juli 2017
Hormat Kami
Puspa Dewy
Ketua Badan Eksekutif Nasional
Solidaritas Perempuan
_______________________________________________________________________________________