SIKAP POLITIK SOLIDARITAS PEREMPUAN ATAS ANCAMAN PENGHANCURAN DEMOKRASI DAN KEBERAGAMAN DI INDONESIA

Indonesia   sebagai  negara  demokrasi   yang  dinilai  dan  diyakini  dalam  menjalankan   kehidupan bernegara dengan damai dalam realitas keberagaman sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. Sistem tersebut  diwujudkan  di  dalam  jaminan  hak  asasi  manusia  bagi  setiap  warga  negara,  termasuk  di dalamnya  hak  untuk  beragama  dan  berkeyakinan,  bebas  mengeluarkan  pendapat,  berekspresi  dan

berorganisasi.[i]  UUD 1945 mencerminkan  prinsip non diskriminasi yang tegas, sekaligus merupakan sebuah pengakuan politik negara terhadap keberagaman dan kebhinekaan yang ada di Indonesia. Sayangnya, nilai-nilai kebhinekaan semakin terancam dengan kepentingan dan situasi politik praktis saat ini. Politik identitas, dalam hal ini melibatkan  kekuatan mayoritas  kelompok fundamentalisme agama, telah mempengaruhi seluruh aspek, terutama pada kepentingan politik praktis. Ini secara nyata telah menghasilkan ancaman terhadap penghancuran demokrasi dan keberagaman di Indonesia.

Aksi massa yang berlangsung  selama  proses pilkada  Jakarta[ii]  maupun  pembubaran  paksa terhadap berbagai aktivitas dilakukan dengan menghimpun banyak kekuatan kelompok muslim dari berbagai pihak dan ormas. Cara-cara yang digunakan sebagai upaya untuk unjuk kekuatan mayoritas ke seluruh penjuru  Indonesia  untuk  mengintimidasi  dan  menghasilkan  ketakutan  pada  warga  negara  lainnya, dalam  hal ini kelompok  minoritas.  Aksi-aksi  tersebut  telah  menciptakan  dan menyebarkan  politik ketakutan  di tingkat  individu,  keluarga,  dan masyarakat,  bahkan  Negara  yang  turut terlibat  dalam menghancurkan wajah keberagaman untuk kepentingan politik kekuasaan.

Negara seharusnya bersikap tegas dalam menegakkan nilai-nilai demokrasi dan memastikan jaminan hukum serta hak asasi manusia dengan prinsip non diskriminasi. Faktanya, Negara justru takluk pada suara mayoritas yang merasa terancam dari tegaknya demokrasi dan keberagaman. Ini terlihat nyata dari berbagai tindakan respresif negara maupun pembiaran  atas tindakan kekerasan yang dilakukan kelompok fundamentalis. Negara telah secara aktif  mengambil peran dalam berbagai pembungkaman demokrasi dan hak asasi manusia. Mulai dari momentum Pilkada DKI Jakarta,  pembubaran berbagai forum diskusi, pembubaran  organisasi masyarakat (ormas), pemblokiran  situs online, menjadi bukti atas  penghancuran  demokrasi  yang  dilakukan  oleh  negara.  Negara  bahkan  menggunakan  hukum untuk  membungkam  demokrasi.  Bahkan  ditetapkannya  Basuki  Tjahaya  Purnama  (Gubernur  DKI Jakarta) sebagai pelaku penistaan agama oleh Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Jakarta Utara melalui KUHP  pasal  156a  dan  menjatuhkan  vonis  2  tahun  penjara  pada  Basuki  Tjahja  Purnama  (Ahok), melebihi tuntutan jaksa, merupakan keputusan yang anti demokrasi dan menunjukkan matinya penegakkan keadilan karena cenderung tunduk pada suara mayoritas. Keputusan ini sangat memperlihatkan  bahwa  intimidasi  dan  tekanan  yang  dilakukan  oleh  kelompok  fundamentalisme agama telah menjadikan negara tidak lagi memegang teguh pada nilai-nilai UUD 1945 dan Pancasila serta melanggar hak menyatakan pendapat dan hak kebebasan berekspresi. Bukan hanya dalam kasus Ahok,  pasal  ini  juga  kerap  dipergunakan  untuk  merepresi  kelompok  minoritas,  khususnya  dalam rangka mengkriminalisasi  individu  atau kelompok  minoritas  yang dianggap  mengancam  kelompok mayoritas[iii]

Menguatnya dominasi fundamentalisme  agama ke berbagai ranah baik keluarga, masyarakat bahkan negara, selain mengancam demokrasi dan menimbulkan perpecahan, juga berdampak lebih bagi perempuan.  Perempuan  selama  ini  telah  menjadi  korban  kekerasan  dan  diskriminasi  akibat  tafsir agama mayoritas yang cenderung intoleran, mengontrol seksualitas perempuan, dan melanggengkan sistem pemerintahan  dan politik patriarki. Terbukti setidaknya  terdapat 421 kebijakan diskriminatif yang  menyasar  seksualitas  perempuan  tersebar  di  berbagai  wilayah  di  Indonesia,  dan  sebagian besarnya berbasis pada interpretasi agama.[iv]  Pada situasi yang demikian, perempuan telah kehilangan kedaulatannya untuk bebas berekspresi, bebas menyampaikan pikiran dan pendapat, serta perempuan kehilangan hak untuk berkumpul, berorganisasi, dan bergerak bebas. Politik ketakutan membungkam suara perempuan, perempuan akan mendapatkan stereotype sampai intimidasi jika pemikiran dan pendapatnya  berbeda dari pemahaman  agama dari kelompok mayoritas yang cenderung intoleran. . Hal ini akan  semakin  membungkam  perempuan,  sehingga  perempuan  semakin  termarjinalkan  dan rentan  mengalami  berbagai  penindasan  dan kekerasan  pada lapisan-lapisan  identitas  perempuan  di setiap ranah kehidupan. Penghancuran demokrasi jelas merupakan ancaman bagi gerakan perempuan di Indonesia.

Solidaritas Perempuan sebagai organisasi yang selama ini berjuang untuk kedaulatan perempuan dan berlandaskan  pada nilai-nilai  hak asasi manusia,  hak asasi perempuan,  keadilan  gender, kesadaran ekologis,   kesadaran   tentang   keberagaman   serta   sikap   anti   diskriminasi   dan   anti   kekerasan, memandang  bahwa semakin mendominasinya  fundamentalisme  agama yang bersatu dengan sistem politik  patriarki,  akan menghancurkan  demokrasi  dan keberagaman  di Indonesia,  serta  berdampak pada  penghancuran  gerakan  sosial  termasuk  gerakan  perempuan  yang  telah  dibangun  sejak  lama. Untuk itu, Solidaritas Perempuan menyatakan sikap politiknya sebagai berikut:

  1. Pemerintah  Republik  Indonesia  untuk  menjalankan  Pancasila  dan  konstitusi  negara,  UUD 1945, dengan menghormati,  melindungi dan memenuhi hak asasi warga negaranya dan hak asasi perempuan, dengan prinsip non diskriminatif, dengan membatalkan kebijakan yang diskriminatif, termasuk pembatalan UU tentang penistaan agama.
  1. Pemerintah untuk bersikap dan bertindak tegas terhadap pihak-pihak yang memprovokasi dan melakukan  upaya  penghancuran  demokrasi  dan  keberagaman  dengan  mengatasnamakan agama, ataupun identitas lainnya untuk kepentingan politik.
  1. Tokoh-tokoh agama untuk memaknai dan menyebarkan nilai-nilai agama yang mengajak ke jalan  kebaikan,  toleransi  dan  perdamaian,  serta  menolak  dimanfaatkan  untuk  kepentingan politik .
  1. Elite politik tidak menggunakan  kekuasaannya  dan memanfaatkan  fundamentalisme  agama dan memecah belah semangat persatuan dalam keberagaman untuk kepentingan kelompoknya maupun untuk kepentingan pribadinya.
  2. Seluruh masyarakat Indonesia  untuk  menyebarluaskan  nilai-nilai  toleransi,  dalam keberagaman, dan tidak terprovokasi serta menyebarkan opini yang berpotensi memunculkan konflik berbasis suku, agama/keyakinan, dan ras serta menghancurkan keberagaman dan demokrasi.

Jakarta, 20 Mei 2017

Puspa Dewy

Ketua Badan Eksekutif Nasional

Solidaritas Perempuan

[i] UU    Nomor    28    A-­‐J    tentang    Hak    Asasi    Manusia
[ii] Aksi    pada    tanggal    4    November    2016,    2    Desember    2016,    21    Februari    2017,    dan    5    Mei    2017.
[iii] Data LBH Jakarta terkait kelompok minoritas seperti Lia Eden, Abdul Rahman, Ahmad Musadeq dkk. (Eks Gafatar), Hans Bague Jassin, Arswendo Atmowiloto, Saleh, Ardi Husein, Sumardin Tapaya (Sholat bersiul), Yusman Roy (sholat multi bahasa), Mangapin Sibueae (pimpinan sekte kiamat) yang dipidana menggunakan pasal 156a
[iv] Data Komnas Perempuan tahun 2016, http://www.komnasperempuan.go.id/siaran-pers- lembar-fakta- memperingati-hari- kemerdekaan-ri-dan- hari-konstitusi/

Translate »