Sikap Politik Solidaritas Perempuan Terhadap Menguatnya Intoleransi dan Fundamentalisme Agama yang Menghancurkan Keberagaman dan Demokrasi

A. Dasar Pemikiran
Indonesia sebagai negara kesatuan, memiliki lebih dari 300 kelompok etnis suku bangsa yang menempati wilayah kepulauan Indonesia dengan 6 agama yang diakui oleh negara dan beberapa aliran kepercayaan lokal yang sampai saat ini masih dipraktekkan,  tersebar di 13.466 pulau yang terdaftar dan berkoordinat di Indonesia.[1] Tingkat keberagaman Indonesia sangatlah tinggi, sebagai dasar semangat lahirnya Pancasila dan pembentukan UUD 1945 sebagai konstitusi dalam pendirian Negara ini. Konstitusi juga telah menekankan Negara memiliki kewajiban jaminan perlindungan atas hak sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya warga negaranya, baik perempuan maupun laki-laki.

Sayangnya, keragaman tersebut mulai terancam akibat menguatnya kelompok-kelompok intoleran dan radikal fundamentalis. Refleksi 10 tahun reformasi berbagai praktek kekerasan, intimidasi semakin menguat.[2] Ruang yang diberikan pemerintah kepada kelompok tersebut, didukung oleh aparat keamanan dalam beberapa kasus, semakin memperparah praktik-praktik intoleransi di Indonesia yang mengancam hancurnya nilai-nilai keberagaman dan demokrasi. Situasi ini, telah terjadi hampir diseluruh Indonesia.

Menguatnya gerakan anti keberagaman telah berkontribusi pada semakin melemahnya proses demokrasi di Indonesia. Bahkan digunakan oleh kelompok-kelompok radikal fundamentalis agama untuk menguatkan kepentingan politiknya dalam menyebarkan ideologi anti keberagaman dengan merebut ruang-ruang demokrasi. Menguatnya fenomena gerakan radikal tersebut tidak terlepas dari adanya dukungan beberapa elit-elit politik dan pemerintah yang mempolitisasi agama untuk mendapatkan dukungan masyarakat yang tidak puas terhadap kinerja pemerintahan saat ini. Fundamentalisme agama saat ini telah meluas hingga ke ranah publik secara terbuka. Bahkan di beberapa Universitas telah tumbuh bibit dan praktik gerakan radikalisme agama dengan melakukan doktrinasi radikal dan anti keberagaman yang berpotensi mempengaruhi  beberapa kebijakan kampus oleh pengaruh praktik kelompok radikal fundamentalis agama yang intoleran terhadap keberagaman yang ada di lingkungan kampus. Artinya, bila selama ini fundamentalisme agama hanya berkutat dalam kaitan umat dengan teks, maka fundamentalisme saat ini, bergulat dengan politik praktis dan menghasilkan produk-produk kebijakan yang diskriminatif. Fundamentalisme agama digunakan sebagai kendaraan untuk mengambil panggung politik dan merebut kekuasaan untuk kepentingan elit-elit politik yang turut mendukung gerakan mereka serta pencitraan para elit politik.

Penggalangan dukungan ini dilanjutkan dengan semakin masifnya praktik-praktik gerakan untuk menghancurkan demokrasi seperti turun ke jalan atas nama agama. Praktik ini dilakukan oleh  beberapa tokoh agama dan ormas islam baik di Jakarta maupun dari berbagai wilayah di Indonesia. Tindakan ini telah mempolitisasi agama untuk memuluskan misi kepentingan politik, dan akhirnya agama dipersalahkan sebagai penyebab masalah kekerasan yang bernuansa agama dan politik. Aksi yang terjadi di Jakarta tersebut merupakan praktik manipulatif yang menggunakan solidaritas dalam beragama untuk “unjuk kekuatan patriarkis”, yang menciptakan politik ketakutan di tingkat individu, keluarga, dan masyarakat yang meluas ke berbagai wilayah di Indonesia. Wajah keberagamaan yang humanis dan harmonis yang selama ini dijaga oleh perempuan dan hidup di tengah masyarakat Indonesia, telah dirusak hanya untuk kepentingan politik kekuasaan. Pada situasi yang sama, perempuan berada dalam pusaran kebijakan diskriminatif yang menyasar moralitas perempuan atas nama agama dengan praktik kekerasan oleh pihak-pihak yang mempolitisasi agama demi kepentingan kekuasaan patriarkis.

Demokrasi diyakini sebagai jalan mewujudkan perdamaian dan keadilan yang sejalan dengan Pancasila dan UUD 45 sebagai sistem dan nilai-nilai bernegara. Namun, kini dianggap oleh kelompok intoleran sebagai ancaman bagi kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara. Bahkan perbedaan pandangan, dianggap sebagai sesuatu hal yang salah. Sehingga menghilangkan asas-asas demokrasi yang selama ini telah berjalan dengan baik di Indonesia. Situasi ini tentu saja menjadi hambatan tersendiri bagi Solidaritas Perempuan dalam mendorong proses demokrasi yang adil dan damai bagi perempuan dan semua orang.

Suburnya fundamentalisme di berbagai tempat telah memperpanjang deretan masalah yang dihadapi perempuan, sebagai dampak dari menguatnya kontrol dan penindasan terhadap perempuan atas nama agama. Fundamentalisme yang mengandalkan sikap intoleran dan radikal dengan tafsiran ajaran agama yang sempit, tunggal dan sepihak yang digunakan mendominasi dan membatasi ruang gerak atau ekspresi politik perempuan bahkan mengontrol tubuh, pikiran, dan hasil kerja perempuan melalui doktrinasin dan stigmatisasi perempuan. Atas nama tafsir agama, perempuan dipinggirkan bahkan kehilangan kesempatan untuk mengembangkan otensitas nilai-nilai agama yang lebih harmoni.

Dengan demikian meningkatnya fundamentalisme agama  semakin menutup akses dan kontrol, serta menghilangkan kedaulatan perempuan baik pada ruang publik maupun ruang domestik. Hal tersebut tentunya tidak sesuai dengan perjuangan yang selama ini dilakukan oleh gerakan perempuan untuk memperoleh hak asasi perempuan.  Padahal sejak 32 tahun lalu Indonesia  telah meratifikasi konvensi internasional anti diskriminasi terhadap perempuan  (ratifikasi CEDAW tahun 1984), namun sayangnya hingga hari ini, pemerintah  belum serius mengatasi bahkan membiarkan terjadinya diskriminasi terhadap perempuan. Wajah intoleransi di Indonesia dipenuhi dengan banyaknya praktik diskriminasi yang dikuatkan melalui kebijakan diskriminatif yang menyasar seksualitas perempuan. Saat ini, setidaknya terdapat 421 kebijakan diskriminatif dan meningkat setiap tahunnya.[3], telah mengakibatkan menguatnya praktik diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan dan kelompok minoritas lainnya yang mengatasnamakan agama. Sementara Negara tidak mampu menjamin perlindungan terhadap pilihan masyarakat dalam menjalankan keyakinan, kepercayaan, orientasi seksual dll. Situasi ini akan semakin mengancam keberagaman, kedaulatan dan kebebasan perempuan untuk berekspresi, berpendapat dan menentukan pilihan politiknya ataupun mengambil keputusan untuk dirinya, keluarganya maupun komunitasnya.

Praktik intoleransi tidak hanya terjadi pada persoalan agama, budaya, seksualitas, pilihan politik dan sebagainya. Praktik intoleransi agama misalnya, tidak hanya terjadi pendikotomian antar agama mayoritas minoritas, tapi juga terjadi pendikotomian interpemeluk agama mayoritas minoritas, dimana mayoritas berkuasa atas minoritas yang merupakan cara pandang dan sikap patriarkis.  Dalam kondisi tersebut, perempuan mengalami pemaksaan untuk tunduk pada kekuasaan mayoritas baik dalam keluarga, masyarakat, maupun komunitasnya yang menginginkan penyeragaman sebagai bentuk kontrol atas otonomi tubuh, pikiran/pendapat/pilihan perempuan. Bahkan perempuan yag tidak mengikuti kehendak mayoritas, akan mendapatkan stigmatisasi dan pengucilan terhadap pilihan keyakinannya dalam bentuk tidak beragama, kurang paham agama, bahkan tidak berhasil mendidik anak dengan moral agama.

Ironisnya masyarakat khususnya perempuan harus memiliki kesamaan pendapat sehingga perempuan yang berbeda pendapat dan cara pandangpun dipaksa harus menyetujui pendapat kelompok mayoritas. Tidak hanya sampai disitu, perempuan juga menghadapi stigmatisasi yang dikaitkan dengan pilihan keyakinan, misalnya perempuan dianggap tidak memahami agama dan tidak berhasil mengasuh anak yang berbeda pola pikir. Peran perempuan yang tersubordinasi di dalam keluarga karena pendapat perempuan dianggap melekat pada pendapat ayah, suami atau keluarga laki-laki. Tentu saja kondisi tersebut mengabaikan kedaulatan perempuan dalam menyuarakan pendapat dan posisinya terkait persoalan ini.

Meningkatnya fundamentalisme juga menciptakan standar nilai berdasarkan moralitas yang menyasar seksualitas perempuan, misalnya perempuan yang dianggap baik selain perempuan yang hanya bekerja di wilayah domestik, mengurus anak dan keluarga, juga cara berpakaian perempuan. Moral perempuanpun kemudian dikaitkan dengan persoalan pakaian perempuan. Bahkan, politisi  di daerah saat ini juga berlomba menggunakan simbol dan moralitas agama sebagai indikator keberhasilan pembangunan, kebijakan, dan program yang mengatur seksualitas perempuan.

Selain itu, peran media juga dinilai berkontribusi dalam menyebarkan pesan-pesan intoleransi. Ini dapat terlihat dari peran media maintream dan media alternatif/media sosial yang selama ini banyak menyebarkan berita provokatif dan tidak sepenuhnya diklarifikasi kebenarannya. Berita tersebut telah berdampak pada semakin tingginya kebencian antar kelompok maupun pada salah satu kelompok kepada kelompok lain. Konflik juga banyak terjadi didalam diskusi media sosial yang berdampak pada pemutusan hubungan keluarga, persaudaraan dan pertemanan. Komunikasi media tentang isu pilkada dan agama, juga memperlihatkan bahwa orang tidak dapat berbeda dalam memberikan pandangan, cara pikir, pendapat serta pilihan yang berbeda.

Pengalaman-pengalaman tersebut menunjukkan bahwa kekuatan patriarkis kelompok fundamentalisme  telah memaksakan bentuk-bentuk kebijakan maupun cara pengelolaan negara yang tidak berpihak pada kepentingan perempuan. Berbagai kebijakan diskriminatif yang lahir semakin memperpanjang mata-rantai (1) diskriminasi, (2) kekerasan, (3) peminggiran perempuan di dalam pengambilan keputusan politik yang berkaitan dengan kehidupannya. (4) sebagai bentuk pelanggaran hak azasi perempuan

B.   Pandangan Solidaritas Perempuan terhadap Melemahnya Demokrasi di Indonesia Melawan Fundamentalisme.
Solidaritas Perempuan sebagai organisasi feminis bertujuan mewujudkan suatu tatanan sosial yang adil dan demokratis, yang didasarkan pada prinsip-prinsip hak azasi perempuan, keadilan gender, kesadaran ekologis, kesadaran tentang keberagaman serta sikap anti diskriminasi dan anti kekerasan, yang didasarkan pada sistem hubungan laki-laki dan perempuan yang setara, dimana keduanya dapat berbagi akses dan kontrol atas sumber daya sosial, sumber daya alam, budaya, ekonomi dan politik secara adil.

Solidaritas perempuan menggangap bahwa mobilisasi massa yang dilakukan kelompok tertentu dengan mengatasnamakan agama dinilai dapat berdampak terhadap penghancuran demokrasi di Indonesia termasuk penghancuran gerakan sosial yang telah lama terbangun, salah satunya gerakan perempuan. Pengabaian Negara terhadap situasi ini menyebabkan sikap dan perilaku serta keberadaan kelompok-kelompok fundamentalisme agama ini menguat dan diterima masyarakat sebagai sebuah fakta sosial. Selain itu, semakin menunjukkan bahwa negara khususnya pemerintah dan juga aparat hukum tidak menjalankan landasan hukum dan konstitusi negara sesuai semangat Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.

Menguatnya sistem politik patriarki yang didukung dengan sistem fundamentalisme telah melahirkan berbagai  kecenderungan politik yang ditandai dengan  model pengelolaan kekuasaan partiarkhi dan telah melegitimasi  kekuasaan otoriter yang mengandalkan pendekatan yang sangat represif dan militeristik, dalam banyak ketentuan perundangan yang membatasi hak-hak dan mengeksploitasi tubuh perempuan. Sistem politik partriaki dan fundamentalisme yang seperti ini telah menimbulkan penderitaan bagi  perempuan, yang selama ini tidak diuntungkan oleh proses kebijakan diskriminatif yang sering kali menyasar tubuh perempuan, dan akhirnya memicu situasi penindasan berlapis terhadap perempuan dalam berbagai hal.
Atas dasar pertimbangan tersebut, Solidaritas Perempuan menyampaikan sikap politiknya sebagai berikut;

  1. Pemerintah Republik Indonesia untuk segera kembali kepada semangat Pancasila dan UUD 1945, menjalankan konstitusi negara dengan menghormati, melindungi dan memenuhi hak asasi warga negaranya dan hak asasi perempuan.
  2. Pemerintah untuk bersikap netral dan menindak tegas pihak-pihak yang memprovokasi terjadinya penghancuran demokrasi dan keberagaman dengan mengatasnamakan agama untuk kepentingan politik, serta memulihkan semangat kebhinekaan.
  3. Tokoh-tokoh agama untuk kembali kepada nilai-nilai agama yang mengajak ke jalan kebaikan dan perdamaian, serta tidak terprovokasi memperkeruh.
  4. Elite politik tidak menggunakan kekuasaannya dan memanfaatkan fundamentalisme agama untuk kepentingan kelompoknya maupun untuk kepentingan pribadinya.
  5. Seluruh masyarakat Indonesia untuk tidak terprovokasi dan turut menyebarkan opini yang berpotensi memunculkan konflik berbasis suku, agama, dan ras serta menghancurkan keberagaman dan demokrasi.

Realitas yang dihadapi perempuan saat ini, mengukuhkan posisi politik Solidaritas Perempuan bahwa “Penguatan posisi politik perempuan dengan penguatan akses dan kontrol perempuan atas keputusan politik”, merupakan sikap politik SP dalam menentukan kedaulatatan atas tubuh, pikiran, ruang gerak dan hasil kerja perempuan, kehidupan keluarga, komunitas dan bangsanya.

Sikap ini perlu terus dibangun menjadi sebuah kesadaran perempuan.  Kesadaran inilah yang akan menjadi kekuatan perempuan untuk memperjuangkan kepentingannya, sehingga tercapai sebuah tatanan masyarakat yang adil bagi perempuan, lepas dari berbagai bentuk ketidakadilan seperti diskriminasi, kekerasan, pelabelan, marjinalisasi, dan beban ganda perempuan.

Atas dasar pertimbangan tersebut, Solidaritas Perempuan menyatakan sikap  dan menyerukan sebagai berikut:

  1. Seluruh anggota Solidaritas Perempuan untuk tidak terprovokasi dan/atau berkontribusi pada penyebaran pandangan, opini yang menyerang dan berpotensi menghancurkan keberagaman dan perdamaian di Indonesia.
  2. Setiap anggota Solidaritas Perempuan mempunyai kewajiban dari nilai- nilai pluralitas dan toleransi yang merupakan nilai-nilai feminis SP sebagai spirit kemanusiaan.
  3. Setiap anggota SP mengajak masyarakat untuk bersikap toleran terhadap kemajemukan yang merupakan realitas kehidupan perempuan dan masyarakat Indonesia.
  4. Perserikatan Solidaritas Perempuan berperan dalam menciptakan perdamaian di tingkat keluarga, komunitas dan masyarakat.

Sikap dan Posisi Politik ini merupakan Hasil Rapat Nasional Dewan Komunitas Solidaritas Perempuan (RNDK) pada 15-19 Januari 2017 di Lampung.

Lampung, 19 Januari 2017

Rapat Nasional Dewan Komunitas Solidaritas Perempuan
Badan Eksekutif Nasional dan Dewan Pengawas Nasional
Solidaritas Perempuan

Komunitas Solidaritas Perempuan:
SP Anging Mammiri Makassar, SP Bungoeng Jeumpa Aceh, SP Jabotabek, SP Kendari, SP Kinasih Yogyakarta, SP Mataram, SP Palembang, SP Palu, SP Sebay Lampung, SP Sintuwu Raya Poso, dan SP Sumbawa


[1] http://www.bakosurtanal.go.id/berita-surta/show/indonesia-memiliki-13-466-pulau-yang-terdaftar-dan-berkoordinat
[2] Hasil penelitian dari Wahid Institute, http://wahidinstitute.org/v1/Program/Email_page?id=47/hl=id/MUI_Bunker_Islam_Radikal
[3] Data Komnas Perempuan tahun 2016, http://www.komnasperempuan.go.id/siaran-pers-lembar-fakta-memperingati-hari-kemerdekaan-ri-dan-hari-konstitusi/
Translate »