Solidaritas Perempuan Bersama Perempuan Buruh Migran Dan Keluarganya Mendesak Pemerintah Wujudkan Perlindungan Menyeluruh Bagi Perempuan Buruh Migran

Oleh: Ega Melindo

JLiputan BMP1akarta, Minggu 17 Berbagai kasus kekerasan dan pelanggaran hak terhadap perempuan buruh migran dan anggota keluarganya masih banyak terjadi hingga hari ini. Ironisnya, hanya sedikit dari kasus-kasus tersebut yang dapat terselesaikan sesuai dengan tuntutan korban. Pengalaman Solidaritas Perempuan selama 23 tahun dalam mendampingi kasus-kasus Perempuan Buruh Migran dan keluarganya menunjukkan ketidakseriusan pemerintah dalam menyediakan sistem perlindungan bagi mereka sejak tahap pra-keberangkatan, di tempat kerja, hingga kepulangan. Ketiadaan sistem perlindungan itulah yang menjadi faktor utama pemicu munculnya kasus – kasus kekerasan dan pelanggaran hak terhadap buruh migran, yang mayoritas dialami oleh perempuan buruh migran. Situasi tersebut diperparah dengan mekanisme dan regulasi penanganan kasus oleh pemerintah yang berbelit-belit sehingga seringkali membuat korban dan keluarganya merasakan kesulitan untuk mendapatkan kembali hak-haknya yang terlanggar.

Berdasarkan situasi tersebut, sekaligus sebagai bagian dari rangkaian peringatan Hari Perempuan Internasional 2016,  Solidaritas Perempuan (SP) melangsungkan  konferensi pers bertajuk “Negara Abai Dalam Pemenuhan Hak Perempuan Buruh Migran dan Anggota Keluarganya” di Workroom Coffee, Cikini Jakarta. Konferensi Pers ini mengangkat beberapa kasus antara lain, kasus kriminalisasi terhadap dua perempuan buruh migran, yaitu Warnah dan Sumartini yang dituduh sihir di Arab Saudi, serta kasus pembunuhan perempuan buruh migran yang bernama Nani Suryani oleh majikan. Di dalam Konferensi pers hadir pembicara dari keluarga perempuan buruh migran, pendamping buruh migran dari Solidaritas Buruh Migran Karawang (SBMK) dan SP Sumbawa, serta dari Solidaritas Perempuan. Dalam konferensi pers, keluarga dan pendamping mendesak Pemerintah agar segera melakukan langkah-langkah konkret penyelesaian kasus sebagai salah satu wujud perlindungan menyeluruh bagi perempuan buruh migran. Pemerintah juga didesak untuk menjamin dan memfasilitasi kebutuhan korban dan keluarga korban untuk terpenuhinya hak-hak yang terlanggar serta keadilan bagi perempuan buruh migran dan keluarganya. Hilman Adiansyah dari SBMK menyampaikan, kasus tindakan kekerasan yang dialami oleh perempuan buruh migran atas nama Warnah, dan Nani Suryani adalah bukti pemerintah tidak serius memperhatikan kasus ketidakadilan yang dialami oleh perempuan buruh migran. “Jangan hanya sekedar berhenti pada meminta keluarga untuk bersabar,” pungkasnya. Hilman juga menyampaikan bahwa peran Pemerintah Daerah selama ini kurang aktif dalam memperhatikan nasib perempuan buruh migran.

Sementara itu, Kardiana dari SP Sumbawa menyampaikan bahwa Sumbawa merupakan wilayah kantong buruh migran yang cukup besar, namun perlindungan terhadap buruh migran sangat minim. Hingga saat ini, banyak kasus kekerasan terhadap perempuan buruh migran di Sumbawa, salah satunya yang didampingi oleh SP Sumbawa yaitu Sumartini. “Sumartini mengalami ketidakadilan akibat tuduhan sihir. Dia disiksa dengan ditanam dalam pasir, bahkan setelah dibebaskan dari hukuman mati, Sumartini tetap dipenjara 10 tahun dan mendapat hukuman cambuk 1000 kali, padahal dia tidak terbukti melakukan sihir,” jelas Kardiana. Karenanya dia menuntut keseriusan pemerintah mewujudkan keadilan bagi Sumartini dan perempuan buruh migran lainya.

Bagi Pak Amin, yang adiknya, Nani Suryani, dibunuh oleh majikannya di Arab Saudi, perjuangan untuk mendapatkan keadilan masih menggantung tanpa kepastian. Padahal menurutnya, adiknya berangkat melalui prosedur yang legal dan sah. Pak Amin juga mempertanyakan kepedulian Negara kepada perempuan buruh migran yang diberi gelar pahlawan devisa, tapi sudah lebih dari 5 tahun hak-hak dan gaji adiknya tak kunjung ada kepastian. Senada dengan, Pak Amin, Ibu Sumi, Ibu dari Warnah yang juga menyuarakan tuntutan kepada Presiden Joko Widodo agar segera membebaskan anaknya dari penjara di Arab dan memulangkannya ke Indonesia.

Liputan BMP2Ketiga kasus diatas hanyalah segelintir cerita dari penderitaan yang dialami perempuan buruh migran dan keluarganya yang masih terjadi higga hari ini. Banyaknya kasus yang muncul membuktikan bahwa pemerintah masih abai dan belum serius menempatkan perlindungan Perempuan Buruh Migran sebagai prioritas utama yang harus dilakukan. “Indonesia seringkali tidak mampu membela warga negaranya yang dikriminalisasi atau menghadapi ancaman hukuman mati. Sebaliknya ketika warga Negara Indonesia yang mengalami kekerasan bahkan hingga kematian, pemerintah tidak berdaya untuk menuntut keadilan” ujar Koordinator Program SP, Nisaa Yura.

Nisaa juga menegaskan, “Kelemahan terbesar Negara dalam perlindungan perempuan buruh migran dan keluarganya adalah buruknya sistem hukum dan kebijakan terkait buruh migran di Indonesia. Karenanya, Negara harus mewujudkan tanggung jawabnya dengan mewujudkan kebijakan perlindungan yang komprehensif bagi perempuan buruh migran dan keluarganya, melalui kebijakan dan peraturan hukum yang berorientasi pada hak asasi perempuan buruh migran dan keluarganya selama proses migrasi. Peraturan hukum tersebut juga harus mengadopsi penuh standar perlindungan hak asasi perempuan buruh migran dan keluarganya yang dimandatkan dalam instrument HAM Internasional termasuk Konvensi Migran 90, CEDAW dan Konvensi ILO 189 tentang Kerja Layak PRT.

Translate »