Siaran Pers Solidaritas Perempuan dan Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) NTT
Untuk disiarkan segera
Kami minta kepada semua lembaga agar dapat tangani kasus/ konflik yang ada di Pubabu agar bisa selesai karena kami masyarakat adat Pubabu ingin tenang, aman, damai, sehat, dan sejahtera, karena kami sudah tidak kuat lagi dengan tindakan represif yang dilakukan oleh Pemprov NTT—Perempuan Adat Pubabu, 2021
Jakarta, 7 Januari 2021, Kekerasan demi kekerasan, Pelanggaran Hak Asasi Manusia, Hak Asasi Perempuan dan Anak yang dialami Masyarakat Adat Pubabu terus dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur. Negara dalam hal ini Pemerintah Provinsi tidak menjalankan kewajiban dan perannya untuk hadir dalam menghormati dan melindungi hak masyarakat Adat Pubabu, khususnya dalam penghancuran hutan adat Kio yang berawal dari tahun 1982-1985 Sebaliknya, Masyarakat Adat Pubabu masih menjadi korban tindakan represif yang dilakukan oleh negara. Hal ini sekaligus bentuk pembangkangan Pemerintah Provinsi terhadap Rekomendasi yang dikeluarkan Komnas HAM dan Komnas Perempuan yang menyatakan agar Pemprov NTT menggunakan upaya persuasif, menjunjung HAM, dan menghindari kekerasan serta melakukan langkah konkret dalam penyelesaian konflik dengan cara yang partisipatif serta tidak mengintimidasi masyarakat.
Tidak cukup mengalami tekanan fisik maupun mental karena mempertahankan Hutan Adat Kio selama 12 tahun, mengawali tahun 2021, Masyarakat Adat Pubabu kembali harus menghadapi tekanan dan pengusiran dari Pemprov. Melalui surat Nomor BU.030/01/BPAD/2021 tertanggal 5 Januari 20201 Perihal Pengosongan Rumah dan Tanah Instalasi Ternak Besipae yang terletak di kawasan hutan adat Kio, Amanuban Selatan TTS, Masyarakat Adat dipaksa mengosongkan rumah mereka paling lambat pada tanggal 8 Januari 2021, dan apabila masyarakat tidak melakukannya maka akan dilakukan penertiban. Surat tersebut ditandatangani oleh Sekretariat Daerah Pemprov NTT dengan ditembuskan kepada Kapolda NTT di Kupang serta Kapolres Timor Tengah Selatan di Soe.
Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur sengaja mengabaikan Surat Rekomendasi dari Lembaga Negara serta hasil pertemuan rekonsiliasi Masyarakat Adat bersama Kepala Dinas Pertanian Provinsi NTT pada tanggal 6 November 2020. Pemprov NTT menolak pemenuhan Hak dasar Warga Negara atas tempat tinggal serta kesejahteraan dan kehidupan layak yang dijamin secara tegas di dalam Konstitusi. Selama 5 bulan, Masyarakat Adat Pubabu harus tinggal di dalam hutan dan mengungsi di Kupang karena rumah mereka digusur dan dihancurkan oleh Pemprov. Situasi ini tentunya menimbulkan hilangnya kenyamanan dan rasa aman, terutama bagi perempuan dan anak. Akhirnya, masyarakat Pubabu terpaksa menempati rumah yang disediakan Pemprov, karena tidak punya pilihan lain, dan dengan harapan Pemprov akan menjalankan komitmen yang disepakati di dalam proses Rekonsiliasi. Namun, bukannya memenuhi komitmen tersebut, masyarakat harus kembali terusir dari tempat tinggal yang mereka tempati.
Merespon surat yang dikeluarkan oleh Pemprov NTT di atas, Komnas HAM telah mengeluarkan surat dengan sifat segera untuk penundaan pengosongan dan penertiban rumah masyarakat adat, hingga terdapat penyelesaian konflik yang menyeluruh dengan memastikan pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat setempat, memberikan komitmen dan perhatian serius dalam menindaklanjuti dan mengupayakan penyelesaian konflik Pubabu-Besipae, dan mencegah terjadinya konflik antar kelompok masyarakat dengan mengambil langkah serius dalam upaya rekonsiliasi.
Menanggapi situasi di atas, Solidaritas Perempuan dan WALHI NTT menyatakan Pemprov NTT di Besipae secara aktif telah menjadi pelaku pelanggaran HAM terhadap Masyarakat Adat Pubabu dan tidak menghargai perjuangan masyarakat selama 12 tahun untuk melindungi hutan adat pubabu dari proses penghancuran. Harapan proses rekonsiliasi justru digagalkan oleh Pemprov NTT dengan surat mengeluarkan surat pemberitahuan pengosongan rumah rumah yang ditempati warga karena tidak ada perlindungan hukum atas berbagai diskriminasi dan kekerasan terhadap masyarakat adat baik kekerasan yang dilakukan oleh aparat keamanan maupun kelompok masyarakat lain.
Tindak penggusuran oleh negara tersebut secara nyata mengakibatkan kekerasan dan ketidakadilan serta menimbulkan trauma dan ketakutan yang membekas secara fisik dan mental. Masyarakat juga dirugikan atas hilangnya sumber daya alam dan pendapatan yang berdampak pada kesejahteraan hidup mereka, maupun hilangnya hutan adat yang memiliki fungsi sosial, budaya dan spiritual bagi masyarakat. Bahkan konflik horizontal yang sengaja ditimbulkan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab terus memecah belah persatuan masyarakat dan menjadi konflik berkepanjangan. Bagi perempuan, berbagai persoalan tersebut telah menambah lapisan ketidakadilan dan kekerasan yang mereka alami.
Berdasarkan hal tersebut di atas, kami mendesak pemerintah untuk:
- Mematuhi Surat Komnas HAM terkait untuk menghentikan upaya pengosongan rumah yang telah ditempati masyarakat adat Pubabu, Besipae;
- Mematuhi Rekomendasi Komnas HAM dan Komnas Perempuan terkait penyelesaian konflik yang berorientasi pada Hak Asasi Manusia dan Hak Asasi perempuan, serta menindaklanjuti dan mengupayakan penyelesaian konflik secara menyeluruh dengan menjamin dan memastikan pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat Pubabu-Besipae;
- Memperhatikan dan memenuhi kebutuhan spesifik perempuan dan anak di dalam proses penyelesaian konflik termasuk pemulihan trauma;
- Pihak Pemprov menjalankan poin-poin rekonsiliasi yang telah disepakati bersama pada tanggal 6 November 2020;
- Mengedepankan pendekatan dialog damai dan pemerintah mencegah terjadinya kekerasan terhadap masyarakat adat Pubabu, Besipae;
- Pelibatan Masyarakat Adat Pubabu dalam perlindungan Hutan Adat Pubabu dan pengelolaan hasil Hutan Bukan Kayu;
- Menghindari hal-hal yang dapat menimbulkan konflik horizontal dengan menjalankan upaya rekonsiliasi.
Contact Person:
Sekretariat Nasional Solidaritas Perempuan : 082328813038
WALHI NTT : 081338542421