“Maraknya penggusuran, perampasan tanah, pencemaran lingkungan, pembatasan akses dan kontrol atas sumber kehidupan, dibarengi dengan cara-cara kekerasan termasuk kriminalisasi dan intimidasi yang digunakan negara dalam mencapai tujuan pembangunan dan investasi. (Puspa Dewy, Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan)”
Penggusuran, perampasan sumber-sumber kehidupan perempuan, pembatasan pekerjaan hingga kontrol terhadap tubuh dan ruang gerak perempuan merupakan Pelanggaran HAM yang hingga saat ini terus terjadi dan dialami perempuan. Alih-alih menghormati, melindungi dan memenuhi HAM perempuan, seringkali negara justru menjadi pelaku dari kekerasan dan pelanggaran HAM itu sendiri. Intimidasi, kekerasan dan kriminalisasi kerap dilakukan baik dengan menggunakan hukum, maupun berupa tindakan aparat negara.
Hal ini misalnya, terlihat dari kasus konflik agraria antara masyarakat dengan PTPN Tebu di Takalar. “Konflik di Takalar dengan melibatkan Brimob dan Polisi meninggalkan bekas luka ditengah masyarakat. Ada yang ditembak diinjak-injak, dan ditarik rambutnya. Banyak perempuan yang beralih profesi menjadi buruh tani, buruh bangunan untuk memenuhi kebutuhan” cerita Salasari (Mama Ati), seorang perempuan petani yang sekarang telah menjadi buruh tani sejak PTPN XIV masuk ke Takalar. Situasi tersebut, disampaikan di dalam Dialog Publik Nasional Solidaritas Perempuan yang bertajuk Mendorong Kebijakan Perlindungan Perempuan dalam Upaya Penghapusan Pelanggaran HAM dan Kekerasan terhadap Perempuan, di Jakarta, 8 Januari 2018.
Tak hanya di Takalar Perempuan nelayan teluk Jakarta, juga kehilangan sumber-sumber kehidupannya akibat proyek reklamasi yang merupakan bagian dari agenda pembangunan negara. Ipah Saripah, seorang perempuan pesisir pengupas kerang di Muara Angke, memaparkan bahwa setelah proyek reklamasi berjalan di Teluk Utara Jakarta berbagai dampak yang merugikan kehidupan perempuan nelayan mulai timbul, penghasilan perempuan pengupas kerang di Muara Angke menurun karena jumlah penangkapan kerang hijau juga menurun secara drastis. Hal ini berdampak terhadap penghasilan perempuan. “Gara- gara reklamasi akhirnya penghasilan untuk biaya sekolah anak sekarang menurun. Penghasilan bapak dulu waktu belum ada reklamasi, pendapatan bapak masih lumayan biayai, biasa dapat 60 ribu sekarang cuma dapat 30, 15 kadang 5 ribu. Ke laut kadang dapat kerang kadang tidak dapat hasil,” paparnya. Reklamasi juga berujung pada kriminalisasi yang dialami anaknya “Bapak (suami-red) menolak keras reklamasi, bapak malah dikerokyok diikat oleh 20 orang dan malah anak kami yang jadi tersangka. Akibatnya tiap hari jadi harus mesti bolak balik ke Polres padahal mereka hanya melihat orang tua mereka dikeroyok.”
Sementara di dalam negeri sumber-sumber kehidupan perempuan dirampas, perempuan yang kemudian mencari kehidupan di luar negeri juga mengalami berbagai kekerasan dan pelanggaran HAM. Seperti yang dipaparkan Nuridah, perempuan buruh migran dari Kendari yang menceritakan kisahnya menjadi buruh di Saudi Arabia. “Perempuan Buruh Migran kerap mengalami kekerasan dan pelanggaran hak dalam setiap tahapannya, baik pra-penempatan, penempatan dan purna penempatan,” ujar Nuridah. Hal ini senada dengan pengalaman Solidaritas Perempuan yang selama ini bekerja bersama Perempuan Buruh Migran, termasuk dalam hal advokasi kasus. Berbagai kekerasan dan pelanggaran HAM kerap terjadi seperti kekerasan fisik, psikis, dan seksual, pembunuhan, pelanggaran hak ketenagakerjaan, trafficking, hingga kriminalisasi dan ancaman hukuman mati. Saat ini, perempuan buruh migran juga harus berhadapan dengan kebijakan yang diskriminatif, di mana Kepmenaker 260/2015 menghentikan penempatan pekerja rumah tangga migran ke sejumlah negara di Timur Tengah. Hal ini jelas merupakan bentuk pelanggaran HAM, karena mendiskriminasi perempuan, mengontrol ruang gerak perempuan dan melanggar hak perempuan atas pekerjaan dan penghidupan yang layak.
Kekerasan dan pelanggaran HAM perempuan bahkan dilakukan oleh negara melalui berbagai kebijakan yang terang-terangan mendiskriminasi dan mengontrol tubuh, pikiran dan ruang gerak perempuan, sehingga perempuan semakin terbungkam dan termarjinalkan. Salah satunya adalah Qanun Jinayat di Aceh, di mana Qanun ini justru mengkriminalisasi korban perkosaan. Perempuan pendamping korban, Ratna sary menceritakan “salah satu kasus yang mengoyak rasa kemanusiaan kita adalah kasus yang menimpa perempuan disabilitas, korban perkosaan hingga hamil, justru dihukum penjara atas tuduhan zina.” Persoalan lebih lanjut adalah, kebijakan tersebut juga membentuk pola pikir masyarakat, yang menjadi sarat akan kekerasan dan menganggap buruk semua pihak yang memiliki pendapat berbeda. “Kami sebagai pendamping sangat sedih melihat dampak dari Qanun Jinayat yang sangat buruk terhadap masyarakat Aceh. Namun ketika kita mengkritisi Qanun Jinayat, kita dianggap anti-Islam, antek Yahudi dan tuduhan ngawur lainya,” ungkap Ratna Sary menceritakan kesedihannya. Untuk itu, Ratna sary menegaskan sikapnya mendorong negara untuk bersikap terhadap situasi yang terjadi di Aceh. “Bahwa sesungguhnya aceh adalah bagian dari Indonesia, hendaknya pemerintah Indonesia memastikan perlindungan untuk seluruh warga negara” pungkasnya.
Berbagai situasi di atas merupakan sebagian kecil dari gambara kasus pelanggaran HAM terhadap perempuan. Ketua Komisi Anti Kekerasan terhadap Perempuan menyatakan,” Mendengarkan apa yang disampaikan empat perempuan penyintas tadi memperlihatkan kepada kita bahwa bicara pelanggaran Hak Asasi Manusia, di dalamnya terdapat kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan dan itu tidak terjadi secara tunggal atau satu dimensi,” jelas Azriana. Lebih lanjut, Azriana menyampaikan bahwa diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan terjadi diranah privat pelaku dan juga terjadi di ranah publik. Temuan Komnas Perempuan dari pemantauannya rata-rata kasus kekerasan terhadap perempuan itu multidimesnsi. Seorang perempuan pekerja pabrik misalnya, alami kekerasan di pabrik juga mengalami kekerasan di rumahnya. Kekerasan juga dialami secara berlapis.
Respon pemerintah juga disampaikan di dalam Dialog Publik ini. Ketua komnas HAM dalam tanggapanya Ahmad Taufan Damanik menyampaikan “memang perlu adanya penyebaran pemahaman ke instasi lembaga negara tentang pentingnya penguatan perspektif Gender dan adanya integrasi antar lembaga yakni antara Komnas HAM, Komnas Perempuan dan Komnas Perlindungan Anak dalam upaya mendorong penghapusan kebijakan diskriminatif.” Respon berbeda muncul dari Usman basumi, dari bidang Perlindungan Hak Perempuan dari Kekerasan dalam Rumah Tangga Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak “Pemberdayan perempuan dan Perlidungan anak relalitif tidak mudah dilaksanakan dalam jangka pendek”, ungkapnya. Menurut Usman, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak terus berusaha pro aktif untuk melakuan permberdaayan dan perlindungan anak di semua sektor sehingga dapat membuat startegi bebeda di tiap-tiap daerah. Sementara, Soebandi dari bidang pembangunan manusia dan masyarakat Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) memaparkan mengenai kebijakan pembangunan melalui SDG’s. “Memang masih perlu adanya Peningkatan pemahaman dan komitmen para pelaku pembangunan tentang pentingnya pengintegrasian perspektif gender dalam pembangunan di tingkat nasional maupun di daerah,” ungkapnya.
GKR Hemas, sebagai Ketua Presidium Kaukus Perempuan Parlemen RI turut menyampaikan responnya, dengan menyampaikan pentingnya perwujudan kebijakan yang berprespektif gender dan memastikan perlindungan dan pemenuhan hak-hak perempuan. Secara spesifik, dia juga menyatakan bahwa saat ini RUU Pertanahan yang Adil Gender menjadi prioritas agenda Kaukus Perempuan Parlemen, yang dikawal secara intensif oleh mereka.
Pentingnya tindakan negara dalam bentuk kebijakan maupun program perlindungan perempuan kembali ditegaskan oleh Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan, Puspa Dewy. Dalam pemaparanya puspa dewy menyampaikan “Harus ada langkah khusus, prioritas oleh negara untuk bagaimana memastikan perlindungan dan pemenuhan hak-hak perempuan di Indonesia.”
Dialog ini diakhiri dengan pembacaan Deklarasi Solidaritas Perempuan untuk Penghapusan Pelanggaran HAM dan Kekerasan Terhadap Perempuan. Deklarasi yang menyikapi situasi Pelanggaran HAM dan kekerasan terhadap perempuan Indonesia ini menegaskan bahwa HAM dan kekerasan terhadap perempuan harus ditangani secara menyeluruh dibacakan oleh perempuan dari 11 komunitas Solidaritas Perempuan di Aceh, Palembang, Lampung, Jakarta, Yogyakarta, Lombok, Sumbawa, Kendari, Makassar, Palu, dan Poso.
Deklarasi ini adalah komitmen Solidaritas Perempuan untuk terus melakukan penguatan terhadap perempuan dan masyarakat di tingkat akar rumput, serta gerakan perempuan dan gerakan masyarakat sipil dalam menyuarakan kepentingan perempuan yang berkeadilan, melindungi hak asasi perempuan di berbagai sektor dan isu dan memperkuat nilai pluralisme di Indonesia.
Oleh : Ega Melindo