Jenewa, 24 Oktober 2017. Solidaritas Perempuan menyambut baik pernyataan Perwakilan Tetap Republik Indonesia untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Putusan Mahkamah Agung yang menghentikan privatisasi air di Jakarta sebagai bukti komitmen Indonesia terhadap perlindungan HAM dari kepentingan korporasi. Pernyataan tersebut disampaikan dalam sidang ke-3 Kelompok Kerja Antar Pemerintah untuk mengelaborasi instrumen hukum yang mengikat terhadap perusahaan transnasional terkait dengan HAM di Jenewa. Sidang ini berlangsung sejak tanggal 23 Oktober hingga 27 Oktober 2017.
“Sebagai bagian dari penggugat, kami mengapresiasi pernyataan pemerintah tersebut. Ini memperlihatkan posisi pemerintah yang mendukung putusan Mahkamah Agung sehingga seharusnya tidak butuh waktu lama untuk mengakhiri kontrak dengan Palyja dan Aetra.” Ujar Arieska Kurniawaty perwakilan Solidaritas Perempuan di tengah sidang tersebut.
Putusan Mahkamah Agung secara jelas menyebutkan bahwa penyerahan kewenangan pengelolaan air Jakarta kepada pihak swasta melalui pembuatan perjanjian kerja sama merupakan perbuatan melawan hukum, dan memerintahkan tergugat untuk menghentikan swastanisasi air di Jakarta serta mengembalikan pengelolaan air minum sesuai dengan norma hak atas air sebagaimana tertuang dalam Kovenan Hak Ekosob dan Komentar Umum Hak atas Air PBB. Kasus ini menegaskan fakta bahwa skema kerjasama pemerintah dan swasta merupakan praktik gagal, merugikan negara dan melanggar hak asasi manusia, termasuk hak asasi perempuan.
Hal tersebut juga disampaikan oleh Arieska Kurniawaty dalam diskusi “Mind the Gap: A Feminist Approach to the Binding Treaty” di antara sesi sidang. Praktik gagal skema kerjasama pemerintah swasta banyak didorong oleh lembaga keuangan internasional seperti yang terjadi dalam kasus privatisasi air di Jakarta. Ide privatisasi air di Jakarta dimulai saat Bank Dunia menawarkan pinjaman kepada PAM Jaya untuk memperbaiki infrastruktur di tahun 1992 dan kemudian pada tahun 1999 Bank Dunia kembali memberikan pinjaman (Water Resources Sector Adjustment Loan/WATSAL) yang membuka peluang keterlibatan sektor swasta (privatisasi) dalam pengelolaan layanan air. Skema kerjasama pemerintah swasta di banyak negara telah membuat Pemerintah melepaskan tanggungjawabnya untuk memenuhi hak warga negara atas layanan publik, sementara di sisi lain perusahaan dapat mengambil keuntungan besar dari sektor layanan publik.
Pada tahun 2015, Solidaritas Perempuan bersama dengan perempuan akar rumput di 5 wilayah di Jakarta melakukan pemantauan terhadap hak air untuk melihat dampak dari skema kerjasama pemerintah swasta ini, khususnya perempuan. Hasilnya adalah kebanyakan warga seringkali tidak mendapatkan air atau kalaupun ada dengan kualitas yang sangat buruk dan alirannya sangat kecil. Bagi perempuan yang karena peran gendernya paling lekat dengan air, maka dampak yang lebih berat dan mendalam dirasakan oleh perempuan. Kualitas air yang buruk menimbulkan penyakit kulit dan mengakibatkan gangguan kesehatan reproduksi. Selain itu, perempuan juga harus bangun pada dini hari untuk menampung tetesan air karena di pagi hari air tidak keluar. Hal ini kemudian mengharuskan perempuan untuk mencari sumber air bersih lain seperti air kemasan dan sebagainya, sehingga biaya yang harus dikeluarkan oleh perempuan juga lebih banyak.
Air adalah kebutuhan dasar dan hak asasi manusia. Merupakan tanggungjawab negara untuk menghormati, memenuhi dan terlebih melindungi dari ancaman aktivitas korporasi. Perusahaan yang tujuan utamanya adalah untuk mencari keuntungan tidak boleh terlibat dan menghambat realisasi HAM, termasuk hak asasi perempuan.
Narahubung:
Arieska Kurniawaty (+6281280564651/arieska@solidaritasperempuan.org)