Solidaritas Perempuan Mendesak Kementerian Luar Negeri Segera Implementasi Konvensi Migran PBB 1990 dalam Penanganan Kasus Buruh Migran

Siaran Pers Solidaritas Perempuan
Untuk Disiarkan Segera

Solidaritas Perempuan (SP) sebagai salah satu organisasi yang telah 12 tahun secarakonsisten menangani kasus Kekerasan dan Pelanggaran hak Buruh Migran. Penanganan kasus BMP dilakukan dengan berbagai upaya, salah satunya berdialog, berkomunikasi dan berkoordinasi dengan Kementerian Luar Negeri, khususnya n Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia (WNI BHI).

Pada Kamis (18/10), SP bersama Solidaritas Buruh Migran Karawang, dan keluarga Buruh Migran Perempuan (BMP) yang mengalami kekerasan dan pelanggaran hak BMP, kembali melakukan dialog dengan Bapak Tatang Razak bersama staff-staffnya. Pertemuan ini bertujuan untuk mendapatkan  informasi yang tepat, jelas dan akurat terkait beberapa kasus yang ditangani SP, serta menyampaikan pandangan SP kepada Kemlu terkait pola koordinasi dan sistem informasi dalam penanganan kasus BMP, proses bantuan hukum terhadap BMP, termasuk segera mengimplementasikan Konvensi Migran PBB 1990.

Pasalnya, pengalaman SP dalam  penanganan kasus, menemukan permasalahan terkait kurang optimal pola koordinasi dan pemberian informasi yang dilakukan Kemlu. Misalnya saja, dalam kasus BMP N yang meninggal dibunuh majikannya di Arab Saudi. Pihak keluarga baru mengetahui N meninggal lebih dari enam bulan setelah kejadian tersebut. Masih terkait kasus ini, proses hukum terkesan berlarut-larut, serta informasi yang diberikan kepada keluarga kurang jelas. Sampai saat ini belum ada kepastian hukum terkait proses pengadilan di Arab Saudi, dan  sampai saat ini pun (hampir 2 tahun) keluarga BMP juga belum mendapatkan hak-haknya. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Amin, Kakak ipar N, kepada Kemlu dalam pertemuan Kamis lalu, “Setidaknya saya mendapatkan kejelasan informasi mengenai proses persidangan yang sedang berjalan di Arab Saudi, dan jangan sampai hak-haknya terlupakan.”

Proses hukum yang berlarut-larut juga terjadi pada kasus W dan S, BMP asal Karawang dan Sumbawa yang dituduh melakukan sihir di Arab Saudi, dan terancam hukuman mati. Tidak hanya proses hukum yang berlarut, kurang proaktif Kemenlu dalam memberikan informasi mengenai perkembangan kasus, sehingga pihak keluarga maupun kuasa hukum tidak mendapatkan setiap perkembangan kasus dengan cepat tetapi juga kesimpangsiuran informasi mengenai kasus ini. Informasi resmi terakhir dari Kemlu kami peroleh tertanggal 29 Desember 2012. Informasi yang diberikan sudah sangat lama, sementara media nasional maupun lokalsempat memberitakan S akan dieksekusi pada tanggal 3 September 2012 lalu. Sementara pada 9 Oktober lalu, sejumlah media memberitakan S sudah diputus bebas dan sudah dipulangkan, sumber berita berasal dari Disnaker setempat. Kedua pemberitaan tersebut sangat berbeda dengan informasi yang diperoleh SP melalui Kemlu, baik secara lisan maupun tertulis.

Dalam pertemuan ini, Ibu Sumi, ibu kandung dari W meminta kejelasan terkait kasus anaknya yang sudah empat tahun dipenjara. Total delapan tahun sudah Bu Sumi tidak bertemu W, karena W sudah bekerja selama empat tahun, dan dipenjara selama empat tahun, Dalam kesempatan tersebut, Ibu Sumi mengajukan permintaan, “Saya meminta Kemlu menyampaikan surat saya kepada W, saya juga minta W segera dibebaskan, karena sudah delapan tahun tidak bertemu.”

Lambannya penanganan kasus, juga terjadi pada kasus-kasus BMP yang bekerja di Suriah. Hingga saat ini mereka masih bekerja di dalam situasi berbahaya yang mengancam keamanan dan keselamatan mereka, mengingat Suriah saat ini sedang mengalami krisis politik.

Di sisi lain, SP sangat mengapresiasikan  dukungan dan kerja keras yang kuat dari Kemenlu sebagai leading sector pemerintah dalam ratifikasi Konvensi Migran PBB 1990. Konvensi Migran PBB 1990 merupakan sebuah payung hukum komprehensif bagiperlindungan Buruh Migran, yang menjamin hak-hak Buruh Migran dan keluarganya, termasuk BMP yang kasusnya ditangani oleh SP. Sehingga, seharusnya Kemenlu dapat menggunakan Konvensi Migran PBB 1990 sebagai  landasan bagi Kemlu dalam kerja-kerjanya.

Menanggapi masukan SP, Bapak Tatang Razak selaku Direktur Perlindungan WNI dan BHI Kementerian Luar Negeri menyatakan komitmennya untuk memperbaiki koordinasi dengan SP dalam hal penanganan kasus. Menurutnya, Kemlu sudah memiliki SOP terkait sistem pemberian informasi mengenai perkembangan kasus kepada keluarga Buruh Migran, yang harus dipatuhi dan dijalankan oleh staf penanganan kasus di direktorat WNI & BHI Kementrian Luar Negeri.

Pihak Kemlu juga berjanji untuk memperbaiki koordinasi dan komuniksi terkait pemberian informsi, termasuk dalam hal memfasilitasi pengiriman surat. Kami berharap janji Kemlu bisa benar-benar ditepati, sehingga penanganan Buruh Migran benar-benar bisa berjalan optimal. Sebagai analisis dan masukan kami terhadap Penanganan Kasus Kemlu yang berjalan selama ini, di dalam pertemuan tersebut, SP juga memberikan sejumlah rekomendasi agar Kemlu:

  1. Mengimplementasikan Konvensi Migran 1990 ke dalam kebijakan dan langkah-langkah perlindungan terhadap Buruh Migran Indonesia
  2. Memberikan informasi terkait kasus-kasus secara lengkap dan jelas kepada Buruh Migran/keluarganya, dan kuasa hukum, termasuk menjelaskan mengenai sistem hukum dan langkah-langkah yang akan dilakukan untuk menyelesaikan kasus terebut..
  3. Memberikan informasi perkembangan kasus secara proaktif dan responsif kepada Buruh Migran/keluarganya, dan kuasa hukum
  4. Responsif dalam melakukan bantuan hukum dan perlindungan terhada Buruh Migran yang mengalami kasus kekerasan dan pelanggaran hak, termasuk Buruh Migran yang berhadapan dngan hukum, dan buruh migran yang berada dalam kondisi perang.

Jakarta, 19 Oktober 2012
Wahidah Rustam

Ketua Badan Eksekutif Nasional
Solidaritas Perempuan

CP:  Ummy Habsyah: 085219393413,
Thaufiek Zulbahary: 085770502485

Translate »