Siaran Pers Solidaritas Perempuan
Untuk Disiarkan Segera
Jakarta, 22 Januari 2021. Solidaritas Perempuan mendesak Negara agar sensitif dan responsif gender dalam penanggulangan bencana yang belakangan banyak terjadi di sejumlah wilayah di Indonesia. Selain itu, hendaknya Pemerintah melihat akar permasalahan terjadinya bencana yakni melihat kerusakan ekologi serta mengatasi penyebabnya. Pernyataan Presiden Jokowi dalam kunjungannya ke lokasi banjir di Kalimantan Selatan pada hari Senin lalu justru memperlihatkan tindakan melindungi oligarki tambang dan sawit. Jokowi mengatakan bahwa bencana alam berupa banjir di Kalimantan disebabkan oleh curah hujan yang tinggi.[1] Pernyataan ini menafikan kerusakan alam yang terjadi di sejumlah wilayah di Indonesia demi kepentingan industri ekstraktif dan perkebunan skala besar seperti sawit. Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) mengatakan hutan dan sawah di wilayah Kalimantan menyempit sedangkan perkebunan naik secara signifikan.[2] Keberadaan kawasan hutan membantu mencegah erosi dan banjir karena dapat menahan tanah dengan akarnya. Hutan dan sawit tersebut beralih fungsi menjadi areal pertambangan dan perkebunan sawit sehingga mereduksi daya dukung dan daya tampung lingkungan yang menjadi penyebab mendasar terjadinya bencana. Selain itu, pembangunan infrastruktur yang masif juga memperparah dampak kerusakan yang ditimbulkan akibat bencana. Situasi ini terjadi hampir di seluruh wilayah di Indonesia. Krisis iklim yang tak kunjung ditangani dengan serius juga berkontribusi signifikan terhadap tingginya frekuensi bencana yang terjadi di berbagai wilayah.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat, setidaknya pada tiga pekan pertama bulan Januari 2021, 136 bencana terjadi di Indoensia seperti banjir, tanah longsor, puting beliung, gempa bumi, dan gelombang pasang. Termasuk gempa dengan kekuatan 5,9 magnitudo yang terjadi di Majene, Sulawesi Barat pada Kamis 14 Januari 2021 lalu disertai gempa susulan. Sejumlah bencana yang terjadi tersebut telah menyebabkan 568,826 jiwa mengungsi, 140 jiwa meninggal dunia, 776 terluka dan 13 jiwa dinyatakan hilang.[3] Pada situasi darurat seperti bencana, perempuan termasuk kelompok rentan yang harus mendapat perhatian khusus. Pasalnya, perempuan memiliki kondisi biologis yang berbeda dari entitas masyarakat yang lainnya, seperti menstruasi, hamil, melahirkan dan menyusui. Tidak hanya itu, perempuan juga masih harus melakukan pekerjaan domestik yang bebannya melekat pada perempuan, seperti merawat anak, menyediakan makanan, mencuci dan lain-lain. Sementara itu, perempuan juga rentan menjadi korban kekerasan, baik disebabkan oleh pandangan yang merendahkan martabat perempuan maupun kemiskinan akibat bencana juga kerap mengorbankan perempuan. Catatan Solidaritas Perempuan dalam penanganan bencana gempa bumi, tsunami dan likuifaksi di Sulawesi Tengah pada 2018 lalu, perempuan dalam situasi darurat bencana mengalami kekerasan seksual, Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), hingga terjerat dalam kemiskinan yang kemudian menjerumuskan perempuan dalam pernikahan usia dini, termakan bujuk rayu calo untuk menjadi pekerja migran di luar negeri, bahkan menjadi pekerja seks dan korban trafficking.[4]
Berdasarkan situasi tersebut, proses adaptasi dengan situasi bencana menjadi lebih berat bagi perempuan. Sehingga penanganan bencana perlu memperhatikan kebutuhan spesifik perempuan, seperti ketersediaan air bersih, kamar mandi terpisah, penampungan sementara yang memperhatikan keamanan perempuan dari tindak kejahatan seksual, dll. Selain itu penanganan bencana juga harus menyediakan pelayanan trauma bagi perempuan. Karena perempuan kerap mengenyampingkan traumanya untuk memastikan kondisi keluarga dan komunitasnya.
Oleh karenanya, Solidaritas Perempuan mendesak pemerintah untuk:
- Menghentikan seluruh aktivitas investasi dan industri yang menjadi akar penyebab timbulnya bencana ekologi yang berdampak pada masyarakat, khususnya perempuan.
- Memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan dalam pembangunan infrastruktur dan mengkonsultasikannya kepada masyarakat, terutama perempuan
- Menjalankan Peraturan Kepala (Perka) Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) No. 13 Tahun 2014 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Penanggulangan Bencana dan Peraturan Mentri (Permen) Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) tentang Pelindungan Perempuan dan Pelindungan Anak dari Kekerasan Gender dalam Bencana, termasuk yang berkaitan dengan penyediaan data terpilah gender agar penanganan terhadap perempuan dalam situasi bencana dapat dilakukan secara tepat dan menyasar kebutuhan spesifik perempuan.
- Melibatkan Perempuan dalam mitigasi dan adaptasi kebencanaan, termasuk dalam segala pengambilan keputusan yang berkaitan dengan kebencanaan.
Narahubung: 0878-1708-3571
[1] https://nasional.tempo.co/read/1424435/jokowi-sebut-curah-hujan-picu-banjir-kalsel-walhi-mending-tidak-usah-ke-sini/full&view=ok
[2] https://tirto.id/sawit-tambang-dan-penggundulan-hutan-biang-bencana-di-kalsel-f9nu
[3] https://twitter.com/BNPB_Indonesia/status/1351114611806752769/photo/1
[4]http://www.solidaritasperempuan.org/deklarasi-perempuan-penyintas-bencana-sulawesi-tengah-bangkit-bersolidaritas-dan-pulih-bersama-menuju-perempuan-penyintas-bencana-yang-berdaulat/