Solidaritas Perempuan Menuntut Negara Menghentikan Pengrusakan Bumi untuk Investasi dan Industrialisasi, Lindungi Kearifan dan Kedaulatan Perempuan dalam Mengelola Bumi

Siaran Pers Solidaritas Perempuan
Hari Bumi Sedunia 2018

Jakarta, 22 April 2018. Memperingati hari Bumi, Solidaritas Perempuan melakukan konferensi pers untuk mendesak negara menyelamatkan bumi dari pengrusakan. “Perempuan memiliki keterikatan yang erat dengan perempuan. Karenanya, perempuan mengalami dampak yang lebih mendalam dan berlapis dalam konteks kehancuran bumi,” ujar Puspa Dewy, Ketua Badan Eksekutif Solidaritas Perempuan. “Di tengah krisis iklim dan tingginya bencana ekologis yang semakin memiskinkan perempuan, Pemerintah tetap melanggengkan   pola   pembangunan   eksploitatif   yang   bertumpu   pada   investasi   dan   industrialisasi. Sementara, pola pengelolaan alam oleh perempuan dan masyarakat yang selama ini menjaga keberlanjutan bumi tidak diakui dan justru dihilangkan,” lanjutnya.

Hal ini bisa dilihat dari masifnya jumlah izin usaha di sektor sumber daya alam. Jumlah izin usaha perkebunan (IUP), periode 2007-2015, sebanyak 768 tersebar di 24 provinsi, yang diberikan Sekitar 95 % untuk komoditi kelapa sawit1. Luasan perkebunan sawit skala besar, di Indonesia pada tahun 2016 sudah mencapai 11,6 juta hektar. Di sektor kehutanan, dari total 42.253.234 hektare kawasan hutan yang sudah keluar izin pengelolaannya, 95,76%-nya dikelola oleh swasta, dengan luas total 40.463.103 hektare, sedangkan masyarakat hanya menguasai 4,14% kawasan hutan, dengan luas totalnya 1.748.931 hektare, dan sebanyak 0,10% atau seluas 41.200 hektare untuk kepentingan umum.2 Sedangkan, di sektor pertambangan, Total izin

usaha pertambangan (IUP) yang ada hingga Desember 2017 berjumlah 9.353 IUP, dan hanya da 6.565 IUP yang dinyatakan CnC dan 2.509 IUP masuk kategori non CnC. 3 Tingginya jumlah izin ini seiring sejalan dengan tingginya konflik agraria di Negara ini. Data Konsorsium Pembaruan Agraria 2017 mencatat, 659 kejadian konflik agraria dengan luasan 520.491,87 ha lahan dan melibatkan sebanyak 652.738 KK. Dari semua sektor yang dimonitor, perkebunan masih menempati posisi pertama. Sebanyak 208 konflik agraria telah terjadi di sektor ini sepanjang tahun 2017, atau 32 persen dari seluruh jumlah kejadian konflik.
 
“Penghancuran bumi oleh aktivitas korporasi yang eksploitatif dan merusak ekosistem kehidupan tidak hanya menghasilkan kerusakan lingkungan dan ekologi, tetapi juga penghancuran terhadap sistem sosial, budaya dan kearifan lokal perempuan,” ujar Puspa Dewy. Hal ini tidak terlepas cara pandang yang melihat sumber daya alam sebagai komoditas dan barang ekonomi untuk mencari keuntungan, tanpa memperhatikan aspek sosial budaya dan ekologis sebagai satu kesatuan ekosistem. Cara pandang ini juga tidak terlepas dari peran aktor-aktor global. Lembaga keuangan internasional seperti Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia, yang terus mendukung dan mendorong investasi dan penguatan peran swasta melalui bantuan teknis untuk perumusan kebijakan ataupun pinjaman modal bagi perusahaan sehingga sangat berperan bagi Penguasaan sumber daya alam oleh perusahaan skala besar, utamanya perusahaan multinasional/transnasional.
 
“Di Aceh, PT HOLCIM yang sebelumnya merupakan PT Semen Andalas Indonesia (SAI) dan sempat diakuisisi oleh PT Lafarge Cement Indonesia telah beroperasi selama lebih dari 35 tahun dan menghancurkan kawasan karst di Lhoknga, yang merupakan kawasan penyangga air di wilayah Aceh Besar. Perusahaan semen ini juga

berkontribusi pada pencemaran kawasan pesisir Lhoknga dari Limbah PLTUnya dan juga memonopoli sungai

  1. https://acch.kpk.go.id/images/ragam/gn-sda/pontianak/09-Paparan-Ditjenbun.pdf
  2.  https://news.detik.com/berita/d-3951757/kementerian-lhk-9576-hutan-berizin-dikelola-swasta
  3. http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/hukum/17/12/06/p0j7ay409-kpkkementerian-esdm-akan-tertibkan-izinizin-usaha-tambang

Sara yang merupakan sumber air masyarakat di kecamatan Lhoknga dan Leupung. Penyedotan air secara besar-besaran untuk kebutuhan pabrik semen berdampak pada menurunnya debit air sungai, sehingga masyarakat kesulitan air. Perempuan harus bekerja lebih berat untuk memenuhi kebutuhan air keluarga dan rumah tangga, baik untuk mencuci, memasak, mandi, hingga untuk air minum.” Rahmil Izzati, Koordinator Program SP Bungoeng Jeumpa Aceh menjelaskan situasi yang terjadi di wilayahnya.
 
Pengrusakan lingkungan secara besar-besaran juga terjadi di Poso Sulawesi Tengah, sebagai akibat dari aktivitas perkebunan sawit skala besar PT Sawit Jaya Abadi, yang merupakan anak dari perusahaan transnasional Astra Agro Lestari. “PT SJA di kecamatan Pamona Timur dan Pamona Tenggara telah merusak lingkungan dan merampas tanah sumber kehidupan masyarakat. Danau Toju yang biasa menjadi tempat masyarakat mencari ikan, kering dan ditanami sawit. Pembendungan sungai di wilayah itu juga berdampak pada banjir dan kekeringan. Banyak perempuan yang terpaksa menjadi buruh di tanahnya sendiri, tanpa apa perlindungan  hak.  Meski belum  mengantongi  HGU,  namun tidak  ada  tindakan  dari  Pemerintah  untuk menertibkan perusahaan ini.”  Ungkap Evani Hamzah, Ketua Badan Eksekutif Komunitas SP Sintuwu Raya Poso.
 
Perilaku eksploitatif dan merusak lingkungan ini ternyata tidak hanya dilakukan oleh perusahaan-perusahaan swasta, tetapi juga oleh negara melalui BUMN. Sebut saja PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VII Cinta Manis di Kabupaten Ogan Ilir Sumatera Selatan dan PTPN XIV Takalar di Sulawesi Selatan. Tindakan pengrusakan bumi dan perampasan tanah secara sewenang-wenang, dilakukan PTPN dengan melibatkan militer dan brimob serta didukung oleh pemerintah setempat. Kekerasan dan kriminalisasi mewarnai konflik yang terjadi antara masyarakat dengan PTPN, menciptakan trauma yang mendalam, terutama bagi perempuan dan anak- anak. “Sejak PTPN masuk di Takalar, masyarakat yang kehilangan tanahnya semakin tahun semakin sengsara dan miskin. Perempuan terpaksa bekerja serabutan menjadi buruh tani, buruh cuci, bahkan pekerja bangunan, demi memenuhi kebutuhan hidup keluarganya.” Jelas Musdalifah Jamal, Ketua Badan Eksekutif Komunitas SP Anging Mammiri Makassar, yang sejak beberapa tahun ini mendampingi perempuan- perempuan di Takalar dalam memperjuangkan kembali tanahnya.
 
Berbagai kasus di atas menunjukkan perilaku eksploitatif dari perusahaan skala besar yang merusak bumi kita dan melanggar HAM. Namun, Pemerintah tidak juga berani mengambil langkah tegas, demi penyelamatan bumi. Komitmen Pemerintah untuk pengurangan emisi justru diupayakan melalui proyek- proyek solusi palsu yang tidak menyelesaikan masalah dan melanggengkan bisnis komodifikasi sumber daya alam, seperti REDD+, biofuel, geothermal, bendungan laut dan reklamasi pesisir (melalui proyek NCICD) untuk bisnis properti dengan mengatasnamakan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Langkah-langkah tersebut justru menciptakan problem baru bagi perempuan, serta semakin menyingkirkan dan menghancurkan kearifan perempuan dalam memelihara keberlangsungan bumi.
 
Di hari Bumi ini, Solidaritas Perempuan kembali mendesak Negara untuk mengambil tindakan tegas untuk penyelamatan bumi dan kedaulatan Negara. Pengrusakan bumi hanya dapat diselesaikan dengan menghentikan koorporasi yang mengeksploitasi bumi, merusak lingkungan dan melanggar HAM. Negara harus menyelesaikan konflik agraria secara berkeadilan bagi perempuan, serta melakukan aksi nyata pengurangan emisi dengan mengurangi industrinya serta mengembalikan kedaulatan pengelolaan sumber daya alam ke tangan Negara dan rakyat, utamanya perempuan.” tegas Puspa Dewy.
 

Narahubung: Aliza (081294189573)

Translate »