Solidaritas Perempuan RUU Pangan Masih Diskriminatif Terhadap Hak Perempuan atas Pangan

Jakarta, 02 April 2012

Pembahasan RUU Pangan saat ini telah masuk pada sidang paripurna Komisi IV DPR-RI. Pengesahan RUU Pangan tahun 2012 menjadi ambisi Komisi IV untuk secepatnya menjadi undang-undang. Draft naskah akademik yang dikeluarkan oleh pemerintah tahun 2009, masih jauh dari keperpihakan terhadap kepentingan masyarakat sipil, terutama perempuan karena sama sekali tidak memasukkan keadilan gender sebagai salah satu asas dalam RUU Pangan tersebut. Solidaritas Perempuan bersama dengan jaringan masyarakat sipil lainnya terus mendesakkan prinsip – prinsip kedaulatan pangan didalam RUU Pangan ini. Desakan tersebut berhasil merubah konsep ketahanan pangan menjadi kedaulatan pangan. Walaupun telah menekankan pada konsep kedaulatan pangan, namun Solidaritas Perempuan (SP) melihat prinsip kedaulatan pangan belum tercermin secara menyeluruh didalam RUU Pangan. Pada 28 Maret 2012 kemarin, Solidaritas Perempuan bersama jaringan organisasi perempuan, baik yang dinasional maupun di daerah (Palembang, Jakarta, Mataram dan Makassar) kembali melakukan Dialog Stakeholder di Gedung Nusantara II kerjasama dengan Kaukus Perempuan Parlemen-RI, dengan mengundang Komisi IV yang diwakili Fraksi PDI-P (Bpk. Honing Sanjaya) dan Fraksi Gerindra (Bpk. Agung Jelantik, diwakili staf ahli) untuk menyampaikan pandangan mereka terhadap RUU Pangan yang berkeadilan gender. Selain itu juga terdapat pandangan dari Ibu Tety Kadi Buwono mewakili Kaukus Perempuan Parlemen, yang juga merupakan perwakilan panja RUU Pangan tersebut.

Dalam pandangan ibu Tety, mengatakan “RUU Pangan masih sangat liberal, karena membuka peluang bagi import pangan”. Hal ini diperkuat dengan situasi yang ada di daerah yang mengatakan banyaknya pangan impor semakin meminggirkan produksi rakyat skala kecil. “Terlebih lagi dengan tidak adanya pasal yang melindungi industri pangan olahan rumah tangga” Ujar Lia – Ketua Badan Eksekutif Komunitas SP Mataram. Jaminan perlindungan juga tidak diberikan pada industri kecil, justru berpotensi terjadi kriminalisasi terhadap industri kecil melalui pasal labelisasi dan standarisasi. Namun, Pak Honing menegaskan bahwa pasal ini dijamin tidak akan menjerat pengusaha kecil. “Jaminan ini harus tertuang secara eksplisit didalam RUU Pangan ini, sehingga kekhawatiran tersebut tidak terjadi” Ujar Puspa Dewy, Koordinator Program Solidaritas Perempuan.

Persoalan lain mengenai belum adanya pengakuan terhadap kearifan lokal perempuan dalam penguasaan dan pengelolaan sumber pangan, berdampak pada peminggiran akses dan kontrol perempuan dalam proses produksi, distribusi dan konsumsi pangan sebagai sumber penghidupan perempuan, salah satunya melalui rekayasa genetika. Nelly dari SP Makassar mengatakan “Rekayasa genetika telah menghilangkan peran – peran perempuan dalam pengolahan benih, sehingga pasal 69 tentang rekayasa genetika harus dipertimbangkan kembali”. Hal ini disambut baik oleh tenaga ahli yang mengatakan “penting adanya pasal perlindungan benih – benih lokal, sehingga benih lokal tidak hilang”.

Persoalan pangan di Indonesia sangat lah kompleks, mulai permasalahan akses pangan, spekulan yang mempermainkan harga pangan, hingga juga peran – peran pasar global yang mempengaruhi produksi, konsumsi, dan distribusi pangan di Indonesia, misalnya dapat dilihat dari harga pangan. Situasi ini diakibatkan dari adanya perjanjian perdagangan internasional yang telah disepakati oleh Indonesia. Indonesia bisa mencapai 90% total produksi pangan dan dinyatakan swasembada, 10% menjadi porsi untuk kepentingan masuknya impor panganSituasi ini akan memberi dampak terhadap perempuan yang selama ini berperan atas pengelolaan pangan keluarga.

Namun situasi ini belum dilihat sebagai suatu hal yang penting diselesaikan. “Oleh karena itu penting untuk diakui, dilindungi dan dipenuhi hak – hak perempuan atas pengelolaan pangan, salah satunya dengan menempatkan asas keadilan gender dalam RUU Pangan ini” Wahida Rustam (Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan) menambahkan.

Dialog tersebut juga menyampaikan desakan dari gerakan perempuan dalam memastikan RUU Pangan tersebut memiliki perspektif keadilan gender. Yaitu (a) Meletakkan UU No. 7/1984 tentang Ratifikasi Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk terhadap Perempuan, UU No. 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria sebagai dasar yuridis UU Pangan, (b) RUU Pangan harus menjamin adanya kepastian hukum atas sumber-sumber pangan lokal melindungi usaha-usaha produktif rumah tangga , (c) RUU Pangan menjamin adanya sanksi pidana bagi pelaku penimbun /spekulan pangan yang dengan atau tidak sengaja menghambat masyarakat dalam mengakses pangannya melalui penimbunan bahan pangan yang bertujuan untuk menaikkan harga pangan, (d) Mengubah definisi produsen pangan dengan memasukan perempuan sebagai entitas produsen pangan baik di petani maupun nelayan, (e) RUU Pangan harus menjamin adanya keterwakilan perempuan dalam Komisi Nasional Pangan dan memperhatikan kelembagaan perempuan yang ada di komunitas. Ini menjadi penting, agar kelembagaan ini dapat menjawab kebutuhan komunitas, khususnya perempuan terhadap hak atas pangannya.

Komisi IV DPR – RI juga berjanji akan membuka ruang kepada gerakan perempuan untuk memberikan masukannya terhadap RUU Pangan ini.

Kontak : Ade Herlina (081310088232)

Email : adeherlina@solidaritasperempuan.org

Translate »