Solidaritas Perempuan Tegaskan Kementerian ATR Untuk Mengambil Tindakan Kongkrit Dalam Penyelesaian Konflik Agraria

oleh: Nisa Anisa

Senin, 25 September 2017, Solidaritas Perempuan (SP) bersama SP Komunitas mendatangi Kementerian Agraria Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional  (ATR/BPN) untuk berdialog dan melaporkan kasus konflik tanah yang terjadi di Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan dan Sumatera Selatan. Dalam audiensi tersebut, SP diterima oleh Direktorat Jenderal Masalah Agraria Pemanfaatan Ruang dan Tanah, atau Dirjen 7, beserta tim dari Direktorat Sengketa dan konflik tanah dan Ruang Wilayah I.

Audiensi diawali dengan pembukaan dari Dirjen Masalah Agraria, Pemanfaatan Ruang dan Tanah, yang membahas mengenai konflik tanah yang semakin sering terjadi di Indonesia. Dirjen ini menerima SP di Kementerian ATR/BPN untuk membahas persoalan-persoalan konflik yang terjadi, sekaligus mencari solusi dari persoalan tersebut. Dalam kesempatan ini, SP melaporkan tiga kasus Konflik Tanah yang terkadi di Takalar-Sulawesi Selatan, Ogan Ilir-Sumatera Selatan, dan Pamona Tenggara-Poso.

Perempuan petani dari Desa Seribandung, Ogan Ilir, Sumatera Selatan, menyampaikan konflik yang terjadi antara petani dengan Perkebunan Tebu PTPN 7 Cinta Manis, yang sudah merampas tanah masyarakat sejak tahun 1982. “Adanya PTPN Cinta Manis ini telah membuat kami mengalami konflik yang berkepanjangan. Terjadi tindak kekerasan terhadap masyarakat organ ilir, ketika masyarakat memperjuangkan haknya, mereka dikatakan menghambat pembangunan. Saat konflik terjadi, perempuan dan anak sering menjadi korban. Karena itu kami ingin ada review dengan HGU, dan kami ingin tanah kami dikembalikan,” ujarnya . Hal ini ditanggapi oleh Direktorat Sengketa dan konflik tanah dan Ruang Wilayah I, dengan mengatakan “bahwa dasar kami mengeluarkan HGU adalah karena perusahaan sudah memberikan kelengkapan dokumen, dan berdasarkan dokumen juga disebutkan bahwa warga sudah setuju tanahnya dijadikan perkebunan, dan warga juga sudah mendapat ganti rugi, jadi sudah tidak ada konflik di sana”. Hal itu tentu saja bertentangan dengan yang dipaparkan sebelumnya.  Kasus ini juga telah ditangani oleh Menko Politik Hukum dan Keamanan. Meskipun, sampai saat ini, konflik warga dengan PTPN VII Cinta Manis masih terjadi.

Solidaritas Perempuan Poso juga melaporkan konflik masyarakat dengan perusahaan Sawit Jaya Abadi 2 (SJA 2), yang lokasi perkebunannya berada di desa Barati Pamona Tenggara Sulawesi Tengah. “PT. SJA telah menggusur tanah masyarakat untuk perkebunan kelapa sawit, padahal menurut BPN Poso, HGU nya belum jelas, tapi anehnya, PT. SJA tetap beroperasi dan sekarang sudah mulai panen” Ucap aktivis SP Poso. Selain itu, PT. SJA tidak pernah memberikan informasi yang jelas kepada masyarakat, kalau tanah mereka ini akan dijadikan perkebunan sawit. Ia juga mengungkapkan fakta bahwa perkebunan sawit dapat berdampak buruk kepada masyarakat, khususnya perempuan.

Sementara dari SP Makassar melaporkan konflik masyarakat dengan PTPN 14, perkebunan tebu Takalar di Sulawesi Selatan. PTPN merampas tanah petani secara paksa, dan juga melakukan pencemaran lingkungan. Saat terjadi penggusuran tanah, banyak perempuan dan anak – anak yang akhirnya menjadi trauma. “Padahal HGUnya sendiri belum jelas, kami sudah meminta informasi kejelasan HGU kepada BPN wilayah, tapi mereka belum bisa memberikan kepada kami, HGU yang mereka pegang hanya 4 desa, padahal ada 11 desa yang tanahnya diambil”, pungkasnya.

Terhadap kedua kasus tersebut, pihak Kementerian ATR/BPN berkomitmen untuk berkoordinasi dangan Kanwil di dua wilayah. “Saya akan menyurati Kanwil untuk berkoordinasi tentang PTP ini,” ujar Dirjen 7 menyampaikan komitmennya. Terkait kasus di Poso, dia juga meminta SP untuk menyurati pemerintah daerah tentang kasus ini, tentang HGU yang tidak clear and clean, beserta kronologisnya, kemudian ditembuskan ke Kementerian ATR, Kanwil BPN, Kepala Kantor Pertanahan Poso, dan POLRI. “Kalau kami sudah dapat tembusannya kami dapat menyurati Kanwil, untuk membahas kasus ini,” ucapnya.

Di akhir diskusi Dirjen 7 juga meminta SP dapat memberikan usulan  konsep terkait penyelesaian konflik-konflik masyarakat dengan PTPN. “Kami sulit untuk menyentuh PTPN, karena mereka dibawah BUMN, yang juga merupakan bagian dari pemerintah, jadi kalau SP bisa memberikan masukan, beri kami formula untuk penyelesaian konflik dengan PTPN,” ucapnya diakhir diskusi.

Menanggapi hal tersebut, Solidaritas Perempuan menyatakan pentingnya komitmen pemerintah dalam penyelesaian kasus-kasus konflik tanah baik yang melibatkan PTPN maupun Perusahaan. “Jika pemerintah tidak bisa menyentuh PTPN, maka ketimpangan dan konflik penguasaan lahan akan terus terus terjadi,” ujar Nisaa Yura, Koordinator Program Solidaritas Perempuan. Karenanya, SP akan terus menindaklanjuti komitmen dari ATR/BPN, baik terkait kasus maupun terkait konsep penyelesaian konflik dengan PTPN. Pada hari yang sama, SP juga memasukkan pengaduan beserta berkas-berkas kasus konflik tanah ke  bagian persuratan Pengaduan Kasus Kementerian ATR.

Translate »