Tuesday, 08 February 2011 12:27
Rilis Solidaritas Perempuan[1]
Minggu (6 Februari 2010), segenap bangsa ini dikejutkan oleh aksi pembunuhan dan penggantungan jemaat ahmadiyah di Kecamatan Cikeusik, Pandeglang, Banten. Aksi keji ini dilatarbelakangi oleh justifikasi institusi keagamaan MUI (Majelis Ulama Indonesia) dan penandatanganan SKB (Surat Keputusan bersama) 3 menteri No. 3 Tahun 2008 (Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Jaksa Agung) yang menyatakan bahwa jemaat ahmadiyah adalah sesat. Logika keputusan bersama merupakan bukti pengabaian hak berkeyakinan warga Negara. Karena sesungguhnya, konstitusi Negara Republik Indonesia berlandaskan hukum dimana melindungi hak berkeyakinan warga negara. Hal ini termaktub dalam UUD 1945 pasal 29 ayat dua yang menyatakan penjaminan negara terhadap kemerdekaan warga Negara untuk memeluk agama dan kepercayaannya. Dalam konstitusi, logika mayoritas dan minoritas tidak tampak, sebab setiap warga negara memiliki hak individunya yang tidak dapat diseragamkan. Hak privat ini dihargai dan negara tidak diperbolehkan mengintervensinya. Selain itu, Negara juga seharusnya menjamin keamanan setiap warga negara dari praktik-praktik diskriminasi dan kekerasan.
SKB 3 Menteri dan otoritas MUI yang tidak berperspektif kebhinekaan menimbulkan gesekan sosial. Praktik penyesatan kemudian menjadi basis kebencian dan aksi kekerasan yang seharusnya tidak disahihkan oleh pemerintah berkonstitusi.
Peristiwa ini membuktikan bahwa negara telah melakukan pengingkaran hak asasi warga negara untuk melaksanakan kehidupan keagamaannya. Selain itu, negara juga telah melakukan pembiaran terhadap berkembangnya praktik-praktik kekerasan atas nama agama, pembunuhan iklim pluralitas di Indonesia, dan arogansi kelompok yang berujung pada ekslusifisme sosial.
Agama manapun sangat mencintai keterbukaan, perdamaian, solidaritas, perbedaan. Oleh karena itu, Solidaritas Perempuan menilai aksi kekerasan atas nama agama bukan membawa nilai-nilai lil rahmatan alamin, melainkan upaya koruptif dan politis yang dilakukan sekelompok massa untuk menyempitkan makna keagamaan itu sendiri yang diamini oleh negara. Bersama ini, Solidaritas Perempuan mendesak pemerintah untuk:
- Segera mengusut tuntas dan menindak secara hukum pelaku penyerangan Jamaat Ahmadiyah di Cikeusik dan di berbagai wilayah lainnya
- Segera menindak secara hukum segala organisasi masyarakat yang melakukan kekerasan atas nama agama
- Segera mencabut SKB 3 menteri yang dinilai diskriminatif dan tidak menghargai Bhineka Tunggal Ika karena bertentangan dengan Pancasila, Undang-undang Dasar 1945, UU No 10 Tahun 1999 tentang HAM, dan UU No. 5 Tahun 1998 tentang Ratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan.
Jakarta, 7 Februari 2011
Risma Umar
Ketua Badan Eksekutif Nasional
Solidaritas Perempuan (SP)
Contact Person:
Andi Cipta A. +6285693006315/ iam_indonesian@yahoo.com
[1] Solidaritas Perempuan (SP) didirikan pada 10 Desember 1990. Pada awalnya berbadan hukum Yayasan dan pada 1 April 1993 berubah menjadi organisasi perserikatan dengan keanggotaan individu. Hingga Januari 2009, SP memiliki 842 orang anggota, perempuan dan laki-laki yang tersebar dari Aceh hingga Papua. SP bertujuan mendorong perubahan kebijakan lokal, nasional, dan internasional yang merugikan kepentingan perempuan dan melanggar hak ekonomi, Sosial dan Budaya (Ekosob) dan Hak Sipil Politik (Sipol), terkait dengan dampak negatif globalisasi (privatisasi, liberalisasi dan deregulasi), trend fundamentalisme dan politisasi agama.