Surat Terbuka “100 Hari Kerja Kepala BP2MI: Solidaritas Perempuan Mendesak Kepala BP2MI Mengambil Langkah Penting Perlindungan Terhadap Pekerja Migran Indonesia”

Jakarta, 1 May 2020
No          : 14/K/BEN/SP/V/2020
Lamp     : –

Perihal : Surat Terbuka

SURAT TERBUKA SOLIDARITAS PEREMPUAN
100 Hari Kerja Kepala BP2MI: Solidaritas Perempuan[1] Mendesak Kepala BP2MI Mengambil Langkah Penting Perlindungan Terhadap Pekerja Migran Indonesia

Kepada Yth.
Bapak Benny Rhamdani
Kepala Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia

Dengan hormat,

Solidaritas Perempuan merupakan organisasi perempuan yang beranggotakan 750 orang individu, perempuan dan laki-laki di seluruh Indonesia. Kami merupakan bagian dari rakyat Indonesia, terutama perempuan tertindas yang memperjuangkan hak, dan memiliki mandat melakukan penguatan dan pendampingan terhadap perempuan akar rumput, termasuk perempuan yang bekerja ke luar negeri sebagai buruh migran.

Kami mengucapkan selamat mengemban tugas dan tanggung jawab kepada Bapak sebagai Kepala BP2MI yang telah dilantik oleh Presiden Joko Widodo pada tanggal 15 April 2020. Kami menantikan Bapak menjalankan tugas dan jabatan tersebut demi kepentingan terbaik bagi pekerja migran, serta dengan menjunjung etika jabatan, menjaga integritas dan tidak menyalahgunakan kewenangan serta menghindarkan diri dari perbuatan tercela[2] sesuai sumpah yang telah diucapkan.

Tanggung jawab yang diemban di tengah situasi pandemi COVID-19 ini, tentunya membutuhkan langkah-langkah tepat dan upaya luar biasa untuk memastikan keselamatan dan pelindungan pekerja migran Indonesia dan keluarganya, baik yang berada di dalam negeri maupun di luar negeri, terutama perempuan yang mengalami dampak berlapis dan mendalam. Berdasarkan data Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker) pada tahun 2019, dari 64.062 orang pekerja migran Indonesia, 19.597 (31%) pekerja laki laki dan sebanyak 44.465 (70%) merupakan perempuan[3] yang sebagian besarnya bekerja di sektor informal. Perempuan Buruh Migran Pekerja Rumah Tangga yang melakukan kerja pengasuhan dan perawatan merupakan kelompok paling rentan, sebelum maupun di dalam situasi pandemi ini. Kerentanan tersebut bertambah dengan adanya penerapan kebijakan pembatasan sosial, maupun karantina/isolasi mandiri. Misalnya di Malaysia yang menerapkan kebijakan Lockdown, membuat pekerja migran menjadi semakin terisolir sehingga sulit mendapatkan bantuan ketika mengalami kekerasan di tempat kerja, maupun untuk mengakses pangan dan kebutuhan dasar lainnya.

Saat ini, juga banyak pekerja migran yang diberhentikan, namun tidak bisa pulang ke Indonesia. Indonesia juga menutup pintu masuk bagi pekerja migran, salah satunya dengan menerapkan kebijakan menutup pintu masuk pelayaran di Provinsi Riau.[4] Hal ini mengakibatkan ribuan pekerja migran Indonesia terkatung-katung di negara tujuan, tanpa pekerjaan,  dan terancam kelaparan serta tidak bisa mengakses kebutuhan dasar. Selain itu, Deportasi terhadap ribuan pekerja migran Indonesia yang tidak memiliki izin kerja dan melebihi batas waktu kerja di Malaysia[5] membuat mereka semakin rentan terinfeksi covid-19, kelaparan, maupun mengalami kekerasan dan pelanggaran hak lainnya. 

Sementara, langkah pemerintah masih terbatas pada Keputusan Menteri Ketenagakerjaan No. 151 Tahun 2020 tentang Penghentian Sementara Penempatan Pekerja Migran Indonesia. Kebijakan ini diperlukan dalam situasi pandemi, namun tanpa adanya upaya komprehensif yang mencakup sanksi bagi perusahaan yang masih tetap menempatkan pekerja migran, maka kebijakan ini tidak akan bisa berjalan secara efektif, dan justru berpotensi menimbulkan permasalah lainnya. Seperti yang terjadi di Kabupaten Sumbawa, di mana SP Sumbawa mendampingi kasus perempuan buruh migran yang “ditahan” di penampungan perusahaan penyalur dengan fasilitas tidak memadai, sirkulasi udara tidak lancar, berdesakan dalam satu kamar berisi 80 orang, air minum tidak layak, tanpa disediakan masker serta harus membayar ganti rugi karena tidak jadi berangkat ke negara tujuan. Kebijakan ini terbukti ini tidak dapat menghentikan kerentanan pekerja migran dalam situasi pandemi karena hanya menetapkan penghentian proses penempatan pekerja migran Indonesia namun tidak secara komprehensif mengatur langkah-langkah apa yang harus dilakukan untuk memastikan para pekerja migran Indonesia tetap mendapatkan perlindungan dari negara.

Tidak hanya menghadapi pandemi, sampai saat ini, negara juga secara aktif melakukan diskriminasi terhadap perempuan buruh migran, salah satunya melalui kebijakan Kepmenaker 260/2015 yang memberlakukan pelarangan bekerja sebagai Pekerja Rumah Tangga ke 19 negara-negara Timur Tengah.[6] Penghentian penempatan buruh migran sektor domestik merupakan pembatasan terhadap hak atas kerja PRT Migran dan melanggar Prinsip Umum yang diatur pasal 1 Konvensi Migran 1990, yaitu prinsip non diskriminasi serta pelaksanaan Rekomendasi Umum CEDAW No. 26 mengenai Perempuan Buruh Migran. Berdasarkan data SP, sampai Maret 2020, urutan tertinggi yaitu 30% perempuan buruh migran menjadi korban trafficking dengan penempatan unprosedural yang terjadi semenjak diberlakukannya kebijakan ini, dengan disertai kasus gaji tidak dibayar, penahanan oleh majikan, penahanan dokumen, pemalsuan dokumen, kekerasan fisik, kekerasan psikis bahkan kekerasan seksual bahkan eksploitasi. Penelitian yang dilakukan Solidaritas Perempuan di Kabupaten Sigi, Konawe, Lombok Barat dan Sumbawa juga menunjukkan bahwa kebijakan ini menambah kompleksitas permasalah pekerja migran, serta menempatkan mereka rentan menjadi korban traffiking.[7]

Selain itu, perempuan pekerja migran juga tengah berjuang  melawan ancaman terhadap upaya pelindungan hak-hak mereka, dalam bentuk Uji Materil (Judicial Review) yang diajukan  oleh ASPATAKI terhadap  Undang Undang No. 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (UUPPMI) ke Mahkamah Konstitusi. Seorang perempuan pekerja migran, telah memasukkan permohonan menjadi pihak terkait langsung di dalam perkara dengan Nomor 83/PUU-XVII/2019 tersebut.[8]  Perjuangan ini tentunya menjadi penting untuk menyelamatkan sebuah dasar hukum bagi pemerintah dalam memberikan pelindungan maksimal bagi pekerja migran dan keluarganya. Sebagaimana yang diketahui, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 ini mengatur sanksi yang lebih tegas bagi barang siapa yang melanggarnya, serta secara filosofi merupakan bentuk pelaksanaan atas amanat Pasal 28I ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan:”Perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara terutama pemerintah.”

Atas berbagai situasi yang dialami oleh Perempuan Pekerja Migran, di masa 100 hari pelantikan Bapak sebagai Kepala BP2MI,  Solidaritas Perempuan mendesak BP2MI untuk:

  1. Melaksanakan kebijakan pelayanan dalam rangka penempatan dan pelindungan pekerja migran Indonesia secara terpadu, dengan berorientasi pada hak-hak pekerja migran dan anggota keluarganya
  2. Membangun mekanisme keterbukaan informasi publik dengan penyediaan dan pemutakhiran data terkait situasi dan kondisi para pekerja migran Indonesia
  3. Membangun mekanisme komunikasi, koordinasi, dan keterlibatan masyarakat sipil, di antaranya serikat Buruh Migran, organisasi perempuan, serta organisasi masyarakat sipil lainnya yang bekerja untuk hak-hak pekerja migran, dalam rangka mendiskusikan situasi maupun kebijakan dan program yang dibutuhkan bagi Pelindungan Pekerja Migran Indonesia
  4. Melakukan komunikasi dan koordinasi dengan perwakilan Indonesia di negara-negara tujuan, baik dalam rangka sinkronisasi data, penanganan kasus, maupun upaya-upaya pelindungan pekerja migran yang berada di luar negeri.
  5. Melakukan langkah-langkah pencegahan penyebaran dan penanganan Covid-19 untuk kepentingan terbaik pekerja migran Indonesia, termasuk di dalamnya dengan melihat kebutuhan spesifik perempuan, serta dengan melibatkan organisasi yang concern terhadap pekerja migran, baik di negara tujuan maupun daerah asal.
  6. Melaksanakan fasilitasi, pemulihan/rehabilitasi dan reintegrasi serta pemberdayaan sosial dan ekonomi kepada pekerja migran keluarganya yang kembali ke Indonesia
  7. Melaksanakan pelindungan selama bekerja terhadap pekerja migran Indonesia dengan membangun sistem atau mekanisme respon cepat/tanggap darurat yang mencakup kerja sama antara pihak Indonesia dan negara tujuan, terutama untuk merespon situasi kekerasan dan pelanggaran hak yang dialami buruh migran Indonesia di luar negeri pada masa Pandemi Covid-19
  8. Segera memenuhi kebutuhan dasar buruh migran yang berada di luar negeri, baik perempuan maupun laki-laki, baik terkait kebutuhan ala pelindung diri (masker, hand sanitizer, sabun, dll), akses pelayanan kesehatan, termasuk kesehatan reproduksi, kebutuhan pangan, pembalut, vitamin, dan kebutuhan dasar lainnya.
  9. Melakukan pengawasan Keputusan Menteri Ketenagakerjaan No. 151 Tahun 2020 tentang Penghentian Sementara Penempatan Pekerja Migran Indonesia, dan memastikan pelaksanaanya dilakukan dengan berorientasi pada hak dan keselamatan Pekerja Migran.
  10. Menindak tegas dan merekomendasikan pencabutan surat izin perusahaan penempatan Pekerja Migran Indonesia kepada Menteri Ketenagakerjaan terhadap perusahaan yang melakukan melakukan eksploitasi dan trafficking terhadap pekerja migran
  11. Melakukan koordinasi dengan Menteri Ketenagakerjaan, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, serta institusi terkait lainnya untuk mengkaji ulang dan mengevaluasi Kepmen 260 yang menambah kerentanan perempuan buruh migran terhadap berbagai kekerasan dan pelanggaran hak, termasuk traffiking
  12. Memastikan pelaksanaan UU PPMI, termasuk dan tidak terbatas pada memastikan tidak tercapainya upaya pelemahan UU melalui JR yang dilakukan ASPATAKI. Untuk itu, BP2MI bersama pemerintah perlu melibatkan masyarakat sipil, salah satunya dengan memberikan dukungan dan ruang bagi perempuan buruh migran yang sedang berjuang menjadi pihak terkait untuk didengarkan di dalam sidang Mahkamah Konstitusi tersebut.

 

Hormat Kami
Dinda Nuur Annisa Yura
Ketua Badan Eksekutif Nasional
Solidaritas Perempuan

[1] http://www.solidaritasperempuan.org/tentang-sp/profil-solidaritas-perempuan/
[2] https://www.youtube.com/watch?v=vhZ7t6-gYU0
[3] https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2019/07/30/2014-maret-2019-penempatan-pekerja-migran-capai-155-juta
[4] https://riau.haluan.co/2020/04/16/ribuan-tki-masih-terkatung-katung-di-malaysia-bupati-dan-legislatif-serta-instansi-vertikal-gelar-rapat-cari-solusi-pemulangan/
[5] https://republika.co.id/berita/q8iuos382/malaysia-deportasi-1038-tki-ilegal
[6] https://jdih.kemnaker.go.id/data_puu/KEPMEN_260_TAHUN_2015.PDF
[7] Penelitian Solidaritas Perempuan: Dampak Kepemenaker 260 tahun 2015 terhadap Perempuan Buruh Migran, 2019
[8] http://www.solidaritasperempuan.org/perempuan-buruh-migran-melawan-permohonan-jr-aspataki-mendorong-perlindungan-perkerja-migran-dilaksanakan/

Translate »