Siaran Pers
Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA)
Salam Sejahtera,
Kami adalah Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA), aliansi organisasi masyarakat sipil yang mencita-citakan terwujudnya reforma agraria sejati bagi keadilan dan kesejahteraan rakyat.
Bapak Presiden,
Pegunungan Kendeng merupakan kawasan ekosistem karst yang esensial dan penting untuk kelangsungan hidup manusia. Karakter hidrogeologi karst sangat unik, memiliki lapisan tanah tipis dan potensial karena hampir sepanjang waktu dapat menyimpan air dalam jumlah yang melimpah, sehingga menjadi sumber air yang memenuhi kebutuhan warga khususnya petani di Jawa Tengah. Namun masyarakat di sekitar Pegunungan Kendeng menjadi rentan dan terancam dampak bencana ekologis antara lain berupa pencemaran air tanah, banjir, dan kekeringan akibat pembangunan dan pengoperasian pabrik semen di Pegunungan Kendeng.
Selain akan menggusur lahan, penambangan pabrik juga akan merusak area Cekungan Air Tanah (CAT) Watuputih di Pegunungan Kendeng yang menopang kebutuhan air bagi sekitar 153.402 petani Rembang. Hal ini ironis karena CAT Watuputih telah ditetapkan oleh Presiden melalui Keputusan Presiden RI Nomor 26/2011 sebagai salah satu CAT yang dilindungi. Berdasarkan konstitusi pasal 33 ayat 3 dan Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5/1960, bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya merupakan sumber-sumber agraria yang harus dilindungi oleh negara dan diperuntukkan untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Konstitusi dalam pasal 28 H juga menegaskan bahwa hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai sebuah hak asasi yang harus dipenuhi oleh pengurus Negara. Tetapi hal ini ternyata masih berupa amanat konstitusi dan Undang-undang yang tidak dilaksanakan.
Para petani Kendeng, perempuan dan laki-laki, masih terus berjuang mempertahankan lingkungan hidup, tanah, air, dan mata pencaharian. Mereka telah menempuh berbagai upaya menolak tambang dan pabrik semen di Pegunungan Kendeng. Mulai dari dialog, gugatan hukum di pengadilan, aksi long march, hingga aksi dipasung semen.
Pada rangkaian aksi saat ini, rakyat Indonesia harus berduka akibat meninggalnya Ibu Patmi, salah seorang Kartini Kendeng di tengah perjuangan panjang rakyat Kendeng. Hingga akhir nafasnya, beliau tetap teguh berjuang mempertahankan wilayah pegunungan Kendeng dari ekspansi industri pabrik semen PT Semen Indonesia yang akan mengancam sumber-sumber agraria dan lingkungan hidup masyarakat Rembang. Kematian Ibu Patmi menjadi bagian dari ketidaktegasan dan lambatnya Bapak Presiden dalam menyikapi Gubernur Ganjar Pranowo yang terus memaksakan kebijakan untuk tetap melanjutkan pembangunan pabrik semen milik PT Semen Indonesia di Rembang, dan secara nyata telah mengabaikan putusan pengadilan tertinggi, melanggar hukum, dan perintah Presiden.
Kematian bu Patmi dalam aksi pasun semen jilid II merupakan preseden buruk bagi kebijakan pembangunan rezim pemerintahan yang sedang berjalan saat ini. Dimana Negara selalu mengutamakan kepentingan investasi modal, namun disisi lain abai dalam melindungi hak-hak masyarakat terdampak. Bu Patmi gugur dalam perjuangannya mempertahankan pegunungan wilayah Kendeng agar tetap lestari dan terhindar dari pengrusakan pabrik semen.
Paska meninggalnya bu Patmi, seorang perwakilan sedulur sikep yaitu Gunarti bertemu Presiden Jokowi di Istana Negara demi mengadukan nasib petani Kendeng yang tidak kunjung mendapat keadilan hingga saat ini harus menelan pil pahit karena tidak ditanggapi oleh Presiden. Presiden mengatakan bahwa urusan daerah bukanlah urusan Presiden. Hal ini sungguh mengecewakan. Seharusnya Presiden membuka nurani bahwa keteguhan hati para petani Kendeng mengadukan nasib mereka ke Istana karena Ganjar Pranowo telah menyalahi wewenangnya sebagai kepada daerah dan mengabaikan nasib petani Kendeng. Presiden sesugguhnya memiliki kewenangan menyelesaikan persoalan ini, karena Gubernur Jawa Tengah telah melakukan pelanggaran hukum dengan menerbitkan izin lingkungan yang cacat hukum, substansi dan prosedur sebagaimana yang diatur dalam UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan PP No. 27/2012 tentang Izin Lingkungan.
Sikap yang ditunjukan oleh Jokowi tersebut sangat bertolak belakang dengan program Nawacitanya di mana pada poin kedua disebutkan bahwa akan “Membuat pemerintah tidak absen dengan membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis, dan terpercaya, dengan memberikan prioritas pada upaya memulihkan kepercayaan publik pada institusi-institusi demokrasi dengan melanjutkan konsolidasi demokrasi melalui reformasi sistem kepartaian, pemilu, dan lembaga perwakilan.”
Aksi yang dilakukan petani Kendeng saat ini adalah salah satu dari sekian banyak aksi yang telah mereka lakukan. Petani telah banyak menyelenggarakan aksi-aksi protes. Salah satunya pada tanggal 13 April 2016 sebanyak 9 petani perempuan Kendeng (9 Kartini Kendeng) melakukan aksi protes pengecoran kaki didepan istana negara Jakarta. Dari rangkaian aksi-aksi tersebut, akhirnya mendapatkan perhatian dari bapak Presiden. Sehingga pada tanggal 2 Agustus 2016, Bapak Presiden bertemu dengan para petani Kendeng dan telah menyepakati bahwa:
Perlu segera dibuat analisa daya dukung dan daya tampung pegunungan Kendeng melalui Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), yang dikoordinir oleh Kantor Staf Presiden (KSP);
Selama satu tahun proses KLHS semua izin yang berkaitan akan dihentikan. Artinya terhitung sejak dikeluarkan pernyataan tersebut, segala bentuk operasi di wilayah pabrik Semen Rembang harus dihentikan;
Kesepakatan itu juga diperkuat dengan jaminan dari KSP, dimana pada November 2016 lalu KSP bertemu para pihak di Provinsi Jawa Tengah. KSP menegaskan kembali bahwa selama proses pembuatan KLHS, semua izin harus dihentikan. Pemerintah juga menjamin proses dialog atau rembug yang sehat selama penyusunan KLHS berlangsung.
Akan tetapi pada tanggal 9 November 2016, Gubernur Jawa Tengah Bapak Ganjar Pranowo megeluarkan SK Izin lingkungan No. 660.1/30 tahun 2016 tentang Izin Lingkungan Kegiatan Penambangan Bahan Baku Semen, Pembangunan dan Pengoperasian Pabrik Semen. Gubernur beralasan bahwa izin baru yang dikeluarkan hanya berupa amandemen karena perusahaan telah berganti nama dari PT. Semen Gresik menjadi PT. Semen Indonesia. Selain itu juga termasuk perubahan luasan tambang dari yang sebelumnya seluas 520 hektar menjadi seluas 293 hektar.
Padahal sebelumnya Mahkamah Agung (MA) telah memenangkan Peninjauan Kembali (PK) gugatan warga Rembang dan para pihak pengguggat lainnya (termasuk Walhi) dengan nomor register 99 PK/TUN/2016 pada 5 Oktober 2016 yang lalu. Dalam amar putusan MA menyatakan bahwa:
Mengabulkan gugatan para penggugat untuk seluruhnya;
Menyatakan batal, Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor: 660.1/17 Tahun 2012, tanggal 7 Juni 2012, tentang Izin Lingkungan kegiatan penambangan oleh PT. Semen Gresik (Persero) Tbk. di Kabupaten Rembang Jateng;
Mewajibkan kepada tergugat untuk mencabut Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 660.1/17 Tahun 2012 tanggal 7 Juni 2012, tentang Izin Lingkungan oleh PT. Semen Gresik (Persero) Tbk. di Kabupaten Rembang Jawa Tengah.
Pembatalan izin berdasarkan putusan PK MA sebetulnya telah diatur dalam pasal 40 ayat (2) UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang menyatakan bahwa “Dalam hal izin lingkungan dicabut, izin usaha dan/atau kegiatan dibatalkan”. Artinya seluruh kegiatan yang dilakukan PT Semen Gresik harus dibatalkan. Tidak ada dasar hukum pengecualian apabila perusahaan telah berganti nama atau perubahan luasan. Dengan demikian, maka hukuman pembatalan izin tetap melekat. Berdasarkan itu, Gubernur Jawa Tengah secara sengaja telah melakukan perbuatan melawan hukum karena tidak mematuhi putusan MA.
Kesepakatan-kesepakatan yang ditetapkan bersama oleh semua pihak tersebut tidak dilaksanakan oleh Ganjar Pranowo. Ganjar Pranowo terus mengakali putusan MA dan seluruh kesepakatan tentang KLHS dengan melakukan berbagai macam cara.
Pada 16 Januari 2017 Ganjar Pranowo menerbitkan SK Nomor 660.1/4 Tahun 2017 yang mencabut SK Nomor 660.1/30 Tahun 2016. Pada hari itu juga, Ganjar Pranowo memerintahkan Addendum ANDAL, RKL, RPL kepada PT SI. Berdasarkan proses addendum yang melanggar hukum tersebut, pada 23 Februari 2017 Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo mengeluarkan izin lingkungan baru untuk PT Semen Indonesia.
Terbaru, tanggal 24 Maret lalu Menteri ESDM Ignasius Jonan mengirim surat kepada Menteri LHK soal tak terdapat indikasi sungai bawah tanah di CAT Watuputih. Kami sangat menyayangi pernyataan tersebut. Oleh karna itu kami perlu menanggapi, karna pernyataan tersebut sama sekali tidak sesuai dengan fakta yang ada di lapangan.
Ignatius Jonan sebagai Menteri ESDM seharusnya mengutamakan sikap kehati-hatian dalam membuat pernyataan terkait status kawasan CAT Watuputih, mengingat status CAT Watuputih adalah KAWASAN LINDUNG GEOLOGI berdasarkan fungsinya sebagai resapan air tanah sesuai dengan PERATURAN DAERAH KABUPATEN REMBANG NO.14 TAHUN 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Rembang 2011-2031 Pasal 19/a. Hal ini juga mengingat status CAT Watuputih telah ditetapkan oleh Presiden sebagai salah satu CEKUNGAN AIR TANAH (CAT) dengan luas 31 Km2 berdasarkan KEPUTUSAN PRESIDEN NO.26 TAHUN 2011.
Pengabaian Konflik Agraria
Bahwa kasus konflik agraria wilayah pegunungan Kendeng merupakan salah satu dari banyak kasus yang saat ini telah masuk ke Istana. Namun untuk menyelesaikan satu kasus ini saja pemerintah saat ini seperti tidak punya itikad baik dan justru terkesan menghindar dari tanggung jawab.
Saat ini, dukungan solidaritas untuk Kendeng telah berlangsung dan meluas di berbagai daerah di Indonesia. Terdapat lebih dari 50 kota di seluruh Indonesia yang menggelar aksi dan solidaritas mendukung perjuangan petani Kendeng. Dukungan solidaritas yang telah berlangsung di banyak daerah tersebut merupakan simbol mosi ketidakpercayaan rakyat Indonesia kepada pemerintahan saat ini yang tidak punya kemauan poliitik dalam menyelesaikan konflik-konflik agraria yang sedang berlangsung. Konflik Kendeng merupakan salah satu konflik dari ribuan konflik agraria mendera rakyat Indonesia. Kendeng menjadi simbol bagaimana tidak berpihaknya Negara kepada rakyat demi mengakomodir kepentingan investasi modal.
Presiden telah berkomitmen untuk melaksanakan Reforma Agraria sebagai jalan untuk mensejahterakan dan keadilan ekonomi bagi rakyat yang diterjemahkan melalui program redistirbusi tanah 9 juta hektar. Namun, dalam pengamatan kami selama tiga tahun ini, tidak sampai 5% persen kebijakan tersebut direalisasikan. Ironisnya, selama tiga tahun berjalan terhitung sedikitnya 4.526.434 juta hektar lahan rakyat yang telah dirampas untuk kepentingan pembangunan yang dilaksanakan oleh rezim pemerintahan saat ini.
Kendeng merupakan salah satu anomali dari kebijakan pemerintahan saat ini, Pembangunan pabrik semen di wilayah pegunungan karst Kendeng dikatakan oleh pemerintah untuk pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat (mendapat keuntungan dari operasi tambang dan pabrik), namun di sisi lain mengabaikan prinsip keadilan sosial, pemerataan, dan pemenuhan hak masyarakat atas tanah airnya. Langkah ini sungguh ironis, di saat Pemerintah Jokowi menjanjikan pelaksanaan Reforma Agraria seluas 9 juta hektar tanah untuk memenuhi hak petani atas tanah dan pengusahaan pertanian yang lebih produktif dan berkelanjutan. Sekaligus menjanjikan pula pencapaian ketahanan dan kedaulatan pangan nasional. Pada sisi lain sistem pembangunan ekonomi politik agraria (SDA) yang dijalankan justru kerapkali mengancam dan menggusur petani serta tanah garapan untuk kebijakan eksplorasi, eksploitasi dan monopoli perusahaan atas kekayaan agraria.
Hak-hak petani atas tanah juga telah dijamin oleh UU No. 19/2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (UU Perlintan) dalam bentuk kepastian hak atas tanah dan lahan pertaniannya. Hak agraria petani Rembang juga dilindungi UU No.41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, dimana aktivitas pembangunan lainnya harus menjamin perlindungan fungsi lahan pertanian yang ada.
Penerbitan izin untuk pembangunan pabrik semen oleh pemerintah Jawa Tengah di wilayah pegunungan Kendeng Rembang sangat jelas tidak memperhatikan dampak sosial, budaya, ekonomi dan ekologis yang lebih utuh dan luas. Para Sedulur Sikep menggantungkan hidupnya sebagai petani. Dalam keseharian warga Kendeng membutuhkan tanah, sekaligus air sebagai tiang penopang keberlangsungan hidup. Petani Kendeng dan warga Rembang, haruslah ditempatkan sebagai warga negara yang memiliki hak dasar sebagai pemilik, pengolah, sekaligus penjaga keberlanjutan sumber-sumber agraria.
Pemerintah Provinsi Jawa Tengah jelas telah merampas hak-hak agraria warga Rembang. Sejak awal kebijakan pembangunan pabrik semen di Rembang memang telah dipaksakan dan sarat kepentingan ekonomi semata. Sehingga berbagai cara dilakukan pemerintah daerah agar ekspansi tambang dan pembangunan pabrik semen di Rembang maupun di Jawa Tengah umumnya terus dilakukan. Di banyak tempat, kebijakan ini menimbulkan konflik agraria baru di lokasi-lokasi lainnya, yang menjadi area target perusahaan semen, yakni Rembang, Pati, Blora, Grobogan, Kebumen, dan Wonogiri..
Sehubungan dengan itu, kami Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA) menuntut kepada Bapak Presiden Joko Widodo untuk bertindak cepat dengan menindak keras Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. Kami juga meminta Bapak Presiden Joko Widodo untuk melakukan langkah-langkah berikut ini:
Memastikan hasil Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) yang dikoordinir dan dilakukan oleh Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutahan (KLHK), Kantor Staf Presiden (KSP), Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) berpihak kepada masa depan petani dan kelestarian wilayah pegunungan Kendeng.
Memerintahkan Gubernur Jawa Tengah Bapak Ganjar Pranowo sebagai pihak pemberi izin untuk mematuhi putusan PK MA dengan mencabut SK Gubernur Jawa Tengah No 660.1/6 Tahun 2017 tentang Izin Lingkungan Kegiatan Pembangunan dan Penambangan Pabrik Semen PT. Semen Indonesia (Persero) Tbk. di Kabupaten Rembang Provinsi Jawa Tengah;
Menjamin dan memastikan aparat pemerintah di daerah dalam hal ini Gubernur Jawa Tengah untuk mematuhi putusan Mahkamah Agung (MA) sekaligus memberikan sanksi.
Memerintahkan Menteri Dalam Negeri dan Gubernur Jawa Tengah untuk segera mencabut SK Gubernur No. 660.1/6 Tahun 2017 yang memberikan legitimasi hukum maupun politik terhadap operasi perusahaan semen di Rembang;
Memerintahkan Gubernur dan Bupati Rembang untuk menjamin prioritas pemenuhan dan penghormatan hak-hak dasar warga Rembang atas kekayaan agraria (bumi; tanah, air, udara dan seluruh kekayaan alam yang terkandung di dalamnya), sebagai sumber keberlangsungan dan keberlanjutan hidupnya, baik sebagai petani maupun warga sedulur Sikep;
Memastikan segala bentuk pembangunan selaras dan tidak mengingkari kebijakan reforma agraria, kedaulatan pangan dan perlindungan hak-hak petani yang memegang prinsip keadilan, kesejahteraan dan keberlanjutan;
Memerintahkan Kapolri untuk segera menghentikan tindakan represif kepada warga Rembang dan Pati yang mempertahankan hak-hak mereka.
Memastikan dan memerintahkan Gubernur dan Bupati untuk mengkaji ulang izin industri ekstraktif di Jawa Tengah, di Pulau Jawa dan secara Nasional.
Memastikan upaya pemulihan dampak sosial, ekonomi, budaya, dan psikologis yang muncul pada warga Rembang dan Pati, terutama perempuan dan anak-anak, akibat tindakan manipulatif dan represif perusahaan dan aparat Negara yang menciptakan terror, intimidasi dan konflik pada kehidupan mereka.
Melalui surat terbuka ini, kami juga menyerukan kepada seluruh elemen rakyat dan organisasi masyarakat sipil jaringan KNPA di seluruh Indonesia untuk mendukung dan bersolidaritas pada perjuangan rakyat Kendeng. Demikian surat bersama ini kami sampaikan untuk ditindaklanjuti.
Jakarta, 3 April 2017
Hormat Kami,
KOMITE NASIONAL PEMBARUAN AGRARIA :
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI)
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)
Sajogyo Institute (Sains)
Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS)
Solidaritas Perempuan (SP)
Bina Desa
Sawit Watch (SW)
Yayasan PUSAKA
Serikat Petani Indonesia (SPI)
Aliansi Petani Indonesia (API)
Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)
Indonesian Human Right Committee for Social Justice (IHCS)
Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA)
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)
Perkumpulan Pembaruan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologi (Huma)
Jaringan Advokasi Tambang (JATAM)
Rimbawan Muda Indonesia (RMI)
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM)
Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI)
Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI)
LBH Jakarta
Jaringan Kerja Tani (JAKATANI) Pandeglang
Front Perjuangan Rakyat Sukamulya (FPRS)
Serikat Tani Indramayu (STI)
Serikat Petani Majalengka (SPM)
Solidaritas Pemuda Peduli Desa untuk Demokrasi Banten
Pergerakan Petani Banten (P2B)
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Jawa Barat
Serikat Tani Independen (SEKTI) Jember
Payuguban Petani Aryo Blitar (PPAB)
Forum Komunikasi Petani Malang Selatan (Forkotmas)
Forum Perjuangan Rakyat (FPR)
Serikat Petani Lumajang (SPL)
Serikat Petani Tulungagung (SPT)
Serikat Rakyat Kediri Berdaulat (SRKB)
Serikat Petani Gunung Biru (SPGB) Batu
Perkumpulan Alha-Raka Jombang
LSDP (Lembaga Studi Desa untuk Petani) – SD INPERS Jember
Kelompok Kajian dan Pengembangan Masyarakat (KKPM) Malang
Yayasan Cakrawala Timur Surabaya
Sitas Desa Blitar
Kelompok Kajian dan Advokasi TANTULAR Mojokerto
Serikat Paguyuban Petani Qaryah Thayyibah (SPPQT) Salatiga
Forum Perjuangan Petani Batang (FPPB)
Serikat Tani Amanat Penderitaan Rakyat (STAN AMPERA) Banyumas
Organisasi Tani Jawa Tengah (ORTAJA)
Pengurus Pusat Serikat Tani Merdeka (PP. SeTAM) Yogyakarta
Forum Pejuang Petani Kendal (FPPK)
Lidah Tani Blora
Serikat Tani Independen Pemalang (STIP)
Omah Tani Batang
Serikat Tani Mandiri (SETAM) Cilacap
Himpunan Tani Masyarakat Banjarnegara (HITAMBARA)
Forum Peduli Kebenaran dan Keadilan Sambirejo (FPKKS)
LBH Semarang
Perkumpulan Lestari Mandiri (LESMAN) Boyolali
Yayasan Trukajaya Salatiga
LPH YAPHI Solo
Narahubung:
Dewi Kartika, (081394475484)
Nur Hidayati, (081316101154)
Arip Yogiawan, (081214194445)
Eko Cahyono, (082312016658)