Siaran Pers:Untuk Disiarkan Segera
Selasa, 14 Agustus 2012, Mahkamah Konstitusi kembali menggelar sidang uji materi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Adapun yang menjadi agenda siding adalah mendengarkan keterangan saksi/ahli dari pemohon serta dari pemerintah. Dalam sidang kali ini, ibu Sutinah, seorang perempuan korban penggusuran di wilayah Parangtritis, bersaksi di hadapan Mahkamah Konstitusi untuk menyampaikan pengalamannya ketika mengalami penggusuran dengan alasan penataan wilayah kumuh. Terhadap kasus penggusuran yang dialaminya, Ibu Sutinah telah melakukan berbagai upaya perlawanan bersama dengan Solidaritas Perempuan yang merupakan salah satu pemohon uji materi UU Pengadaan Tanah yang tergabung dalam Koalisi Rakyat Anti Perampasan Tanah (KARAM TANAH).
Ibu Sutinah tinggal dan menetap di Dusun Mancingan sejak tahun 2001, bersama dengan ratusan perempuan lainnya ia menggantungkan sumber kehidupannya dan keluarga dengan berdagang di sekitar pantai Parangtritis hingga tahun 2007 digusur dari dusun tersebut. Dalam kesaksiannya, Ibu Sutinah menyampaikan bahwa perencanaan maupun proses penggusuran yang dilakukan di wilayah Parangtritis dilakukan Pemerintah tanpa melibatkan warga. “Sekitar tahun 2006, Pemerintah Kabupaten Bantul mengumpulkan warga untuk memberitahukan bahwa akan ada penataan lapak-lapak yang dianggap kumuh. Tapi ketika penggusuran dilakukan sekitar tahun 2007, warga sama sekali tidak diberi tahu sebelumnya atau dimintakan persetujuannya. Pemerintah bersama aparat Satpol PP melakukan penggusuran paksa, tak hanya lapak-lapak di pesisir pantai tapi juga perumahan warga di wilayah dusun Mbolong – Desa Mancingan” Ujar Ibu Sutinah.
Penggusuran yang kerap dilakukan dengan menggunakan kekerasan oleh aparat bersenjata lengkap tersebut berlangsung secara bertahap sampai tahun 2010 dan telah menggusur lebih dari 250 KK. Penggusuran paksa atas tempat tinggal dan sumber mata pencaharian telah mengancam keberlangsungan hidup warga, terutama perempuan. “Akibat penggusuran paksa, perempuan menjadi sulit mata pencahariannya, banyak anak-anak yang putus sekolah, ekonomi makin sulit sehingga banyak kekerasan dalam rumah tangga dimana perempuan yang jadi korbannya” lanjut Ibu Sutinah dalam kesaksiannya. Sampai sekarang Ibu Sutinah dan puluhan warga lainnya belum juga mendapatkan hak-haknya terkait dengan rumah dan tempat usahanya sebagai penopang kehidupannya. Ia juga berharap dengan kesaksiannya ini, UU Pengaadan Tanah yang melegalkan penggusuran terhadap warga dengan alasan demi kepentingan umum dan tanpa memperhatikan hak-hak warga, dapat dibatalkan.
Praktik pengadaan tanah di Indonesia masih banyak menyisakan persoalan dan konflik hingga kini. “Pengesahaan UU Pengadaan Tanah, yang secara substansi tidak jauh berbeda dengan regulasi pengadaan tanah sebelumnya, hanya akan memudahkan negara melakukan perampasan tanah rakyat dengan alasan demi pembangunan dan kepentingan umum. Padahal masyarakat tak pernah dilibatkan dalam perencanaan pembangunan yang membutuhkan pengadaan tanah.” Wahidah Rustam, Ketua Solidaritas Perempuan menyampaikan keprihatinannya. Selain itu, situasi sosial-ekonomi masyarakat setelah pengadaan tanah tidak pernah diperhitungkan oleh Pemerintah, sehingga apabila ternyata situasinya memburuk, rakyat sendirilah yang harus memikirkan nasibnya sendiri.
“Apalagi bagi perempuan, yang dalam konstruksi sosial mayoritas, terbatas akses dan kontrolnya atas tanah baik secara komunal dan individu, sehingga biasanya tidak dilibatkan dalam proses persetujuan proyek. Padahal ketika keluarganya mengalami kesulitan ekonomi akibat penggusuran, perempuan lah yang kemudian harus bekerja lebih berat atau semakin bertambah bebannya demi memenuhi kebutuhan keluarga.” Lanjutnya. Ia juga menegaskan bahwa pemberlakuan UU Pengadaan Tanah hanya akan melanggengkan ketidakadilan gender dan memperburuk situasi pemiskinan terhadap perempuan, dengan semakin meningkatnya pelanggaran hak-hak perempuan hanya untuk kepentingan pemodal dan swasta. Oleh karenanya, Solidaritas Perempuan meminta Mahkamah Konstitusi untuk membatalkan UU Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
Contact Person:
Ade Herlina: 0813 100 88232 / adeherlina@solidaritasperempuan.org / @linaharis
Arieska: 0812 80564651 / arieska@solidaritasperempuan.org / @ariekurniawaty
www.solidaritasperempuan.org
soliper@centrin.net.id
@Soliper_SP