Oleh : Ega Melindo
JAKARTA. Gedung Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta menjadi saksi kemenangan perjuangan nelayan dan masyarakat pesisir di Muara Angke, perempuan dan laki-laki, dalam menolak reklamasi Teluk Jakarta. Pada Kamis, 31 Mei 2016, sejak pukul 09.00 pagi warga Muara Angke sudah bergerak bersama menuju PTUN Jakarta untuk menjemput Putusan Majelis Hakim terhadap gugatan izin reklamasi Pulau G.
Selama 9 bulan sejak mengajukan gugatan, nelayan dan pesisir di Muara Angke tanpa lelah berjuang terus mengawal persidangan dengan melakukan berbagai aksi. Secara swadaya mereka berbondong-bondong hadir pada sidang demi sidang, sejenak meninggalkan aktivitas ekonominya demi memperjuangkan sumber kehidupannya.
Hingga akhirnya perjuangan mereka pun membuahkan hasil. Majelis Hakim PTUN Jakarta membacakan putusan yang mengabulkan gugatan para nelayan dan membatalkan Surat Keputusan (SK) Gubernur DKI Jakarta tentang Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau G kepada PT Muara Wisesa Samudera. Selain itu, Hakim juga mengabulkan permohonan penundaan dan memerintahkan penangguhan pelaksanaan SK tersebut sampai putusan berkekuatan hukum tetap.
Dalam pertimbangan hukumnya, majelis hakim menyatakan bahwa obyek gugatan (izin pelaksanaan reklamasi Pulau G) melanggar hukum karena tidak menjadikan UU No. 27 Tahun 2007 dan perubahannya UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagai dasar hukum. Izin pelaksanaan reklamasi juga dinyatakan tidak sesuai dengan prosedur, karena tidak berdasarkan pada Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) sebagaimana diamanatkan Pasal 7 ayat (1) UU No. 27 Tahun 2007.
Terlebih, perencanaan di wilayah pesisir tersebut semestinya didahului dengan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) supaya pembangunan yang dilakukan sesuai dengan prinsip pembangunan berkelanjutan, serta tidak melebihi daya tampung dan daya dukung lingkungan hidup. Ketiadaan perencanaan ini, dapat mengakibatkab terjadinya konflik di wilayah pesisir. Hakim juga menyebutkan bahwa terbitnya izin pelaksanaan reklamasi Pulau G tidak partisipatif dan transparan sehingga tidak sejalan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan. Dalam proses penilaian AMDAL, pihak pengembang maupun pemerintah daerah tidak melibatkan masyarakat dan organisasi lingkungan hidup sebagai bagian dari pihak yang menilai AMDAL. Selain itu, proses penerbitan izin lingkungan dianggap tidak sesuai prosedur karena tidak diumumkan pada media yang mudah diakses oleh masyarakat.
Hakim juga menyatakan kerugian lingkungan hidup perlu diantisipasi sejak dini, sebagai asas kehati-hatian yang perlu diperhatikan. Sehingga potensi kerusakan yang sudah terlihat merupakan dasar yang kuat untuk menghentikan kegiatan reklamasi. Dalam pertimbangannya, hakim juga menyatakan proyek reklamasi mengakibatkan kerugian berupa hilangnya sumber penghidupan para nelayan. Hal ini sesungguhnya sejalan dengan alasan perjuangan nelayan dan perempuan pesisir Teluk Jakarta. “Bagi nelayan pesisir teluk Jakarta, ekosistem laut dengan segala yang ada didalamnya adalah sumber penghidupan dan masa depan kami. Maka andaikan reklamasi benar-benar terjadi, nelayan dan seluruh keluarganya akan mati,” ujar Ilyas Salah seorang nelayan Muara angke.
Jangan Rusak Pesisir Kami!
Reklamasi Memiskinkan Perempuan!
Kalimat penolakan ini yang sering diteriakkan perempuan pesisir Teluk Jakarta setiap kali mereka mendatangi pengadilan. Perempuan pesisir teluk jakarta juga merasakan dampak akibat proyek reklamasi di Teluk Jakarta. Hilangnya wilayah tangkap nelayan dan berkurangnya kerang hijau menjadikan perekonomian masyarakat pesisir semakin terhimpit akibat proyek reklamasi. Hal ini menjadikan perempuan sebagai pengelola keuangan rumah tangga harus berpikir dan berusaha keras untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. “Reklamasi bikin hasil tangkapan kerang sedikit, jadi (hasil tangkapan-red) yang kita dapat juga sedikit sekarang gara-gara reklamasi teluk jakarta ini. Alhamdulillah kita menang. Artinya reklamasi batal dan alam kita tetap lestari dan aman untuk generasi masa depan nanti,” tutur Tati salah seorang perempuan pengupas kerang di Muara angke.
Kemenangan ini adalah hasil dari perjuangan tak kenal lelah para nelayan dan perempuan pesisir dari Muara Angke, sekaligus adalah sejarah dalam penegakkan hukum lingkungan yang adil bagi rakyat di Indonesia. “Putusan ini merupakan preseden yang baik. Hakim cukup progresif dalam pertimbangannya dalam memutus perkara sehingga patut diapresiasi dan dicontoh oleh hakim-hakim lainnya yang menangani perkara lingkungan hidup” pungkas Puspa Dewy, Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan.