Terlanggarnya Hak Buruh Migran dalam Tes Kesehatan[1]
Oleh: Anugrah Ratri KW[2]
PPTKIS dan majikan merupakan pihak pertama yang mengetahui hasil tes kesehatan buruh migran.
Bertempat di Sekretariat Nasional Solidaritas Perempuan, Selasa 1 Oktober 2013 lalu, telah berlangsung focus group discussion (diskusi terfokus) dengan tema praktik kewajiban melakukan tes kesehatan bagi para buruh migran. FGD[3] diselenggarakan bersama 14 orang buruh migran perempuan (BMP) asal Karawang sebagai peserta, untuk menggali pengetahuan dan pengalaman mereka seputar tes kesehatan pada buruh migrant.
Keterbatasan ekonomi dan minimnya lapangan pekerjaan bagi perempuan di daerahnya mendorong para BMP peserta FGD untuk bekerja ke luar negeri sebagai Pekerja Rumah Tangga. Pengalaman lain menyatakan adanya keinginan untuk hidup mandiri dan bermigrasi dipicu oleh masalah keluarga, misalnya suami menikah lagi. Mereka pun menjelaskan bahwa pihak yang paling dominan berperan dalam proses keberangkatan adalah sponsor dan PPTIKS.
Proses sejak mendaftar hingga diberangkatkan rata-rata memakan waktu paling cepat 10 hari hingga 2 atau 3 bulan. Perbedaan waktu tersebut tergantung pada ada atau tidaknya majikan yang akan mempekerjakan. Khusus untuk BMP yang akan berangkat ke Arab Saudi, mereka tidak diijinkan pulang ke rumah selama masa menunggu keberangkatan. Hal ini dilakukan PPTIKS untuk mengantisipasi kemungkinan kehamilan pada periode waktu tersebut. Selama menunggu keberangkatan, BMP mendapatkan pelatihan dan kursus mengenai pekerjaan-pekerjaan yang harus dilakukan.
Salah satu proses yang dilalui oleh BMP ketika akan pergi ke luar negeri adalah tes kesehatan. Semua BMP diwajibkan untuk melakukan tes kesehatan sebelum berangkat ke negara tujuan. Terlebih lagi BMP dengan negara-negara tujuan di Timur Tengah, tes kesehatan merupakan hal yang wajib dilakukan. Jika tidak, sudah pasti mereka tidak bisa berangkat.
Tes kesehatan dilakukan secara bersama-sama di klinik swasta. Biasanya, PPTKIS membawa rombongan buruh migrant untuk melakukan tes kesehatan tersebut. Tes yang dilakukan antara lain terhadap urine, darah, mata, kulit, dan tekanan darah, berat dan tinggi badan. Namun, ketika ditanyakan penyakit-penyakit apa yang dites melalui medium-medium tersebut, peserta mengaku tidak diinformasikan secara detil.
Informasi mengenai tujuan dilakukannya tes, jenis penyakit apa saja yang diperiksa, serta fasilitas konseling sebelum dan sesudah tes sama sekali tidak BMP dapatkan. Padahal informasi-informasi di atas merupakan hak dasar buruh migran yang patut mereka ketahui dan difasilitasi oleh pihak yang melakukan tes kesehatan.
Terkadang rasa tidak nyaman mereka rasakan selama menjalani tes kesehatan karena harus melepaskan seluruh pakaian dan hanya mengenakan celana dalam saja. Tubuh mereka diperiksa satu persatu bahkan mereka diperintahkan untuk melakukan posisi menungging di dalam pemeriksaan.
Selain itu, BMP juga tidak mendapatkan hasil dari tes kesehatan yang dilakukan. Semua hasil tes kesehatan yang dilakukan oleh klinik diterima dan diketahui pertama kali oleh PPTIKS. Buruh migran diperlihatkan dan diberitahu hasil tes kesehatan mereka oleh PPTIKS. Bagi mereka yang lolos tes kesehatan dan tidak memiliki masalah, maka mereka dapat melanjutkan keberangkatan. Beberapa BMP juga mendapatkan status pending yang artinya mereka memiliki penyakit tidak terlalu berat dan dapat disembuhkan, sehingga status keberangkatannya hanya akan ditunda, dan diberikan obat seadanya.
Jika BMP dinyatakan unfit terdapat dua kemungkinan. Beberapa dari mereka yang tetap ingin melanjutkan keberangkatannya, maka PPTIKS bisa mencarikan negara tujuan lain yang mungkin bisa menerima mereka. Sebagai contoh, seorang peserta telah sebanyak 12 kali melakukan tes kesehatan untuk bekerja ke Arab Saudi. Namun, selama 2 kali pula dia dinyatakan unfit, sehingga tidak bisa berangkat. Akhirnya BMP tersebut bekerja di Negara lain, yaitu Brunei Darussalam.
Sementara, untuk kasus buruh migran dengan HIV positif, mereka tidak akan dapat berangkat sama sekali. Jika BMP memiliki penyakit tertentu yang dianggap berat, dia akan dipulangkan dan melakukan pengobatan sendiri, tanpa adanya mekanisme rujukan terhadap layanan kesehatan. Bahkan, seringkali mereka tidak mendapatkan informasi yang memadai mengenai penyakit yang diderita.
Tes kesehatan tidak hanya dialami BMP di Indonesia, tetapi juga di Negara tujuan. Tes kesehatan di negara tujuan sangatlah bergantung pada inisiatif majikan yang mempekerjakan mereka, karena tes kesehatan dibiayai oleh majikan. Terkait jarak waktu antara kedatangan dan tes kesehatan, para peserta FGD memiliki pengalaman yang berbeda. Di antara mereka ada yang menjalani tes setelah dua hari tiba di rumah majikan, ada pula yang hingga ia kembali ke Indonesia tidak pernah melakukannya. Hasil tes kesehatan lagi-lagi tidak langsung diberikan pada BMP, majikanlah yang pertama kali melihat hasilnya. Bahkan, BMP kerap kali tidak menerima hasil tes kesehatan mereka.
Ketika mengalami gangguan kesehatan, inisiatif untuk membawa BMP berobat dan melakukan perawatan pun sangat tergantung pada inisiatif majikan mereka. Beberapa dari mereka yang mengalami sakit karena menstruasi mereka hanya diberikan rempah-rempah yang tersedia di dapur majikan.
Kondisi Kerja dan Kekerasan
Gangguan kesehatan yang dirasakan BMP juga dipengaruhi kondisi kerja yang sangat tidak memadai. BMP rata-rata tidur tidak lebih dari 5 jam dalam sehari. Hak untuk rekreasi tidak mereka dapatkan selama bekerja. Beberapa majikan membawa mereka dalam liburan keluarga, tetapi BMP tetap dibebankan kewajiban untuk menjaga anak-anak majikannya dan melayani kebutuhan pada saat berlibur. Permasalahan lain yang kerap ditemui adalah pembayaran gaji yang terlambat atau bahkan tidak dibayarkan sama sekali pada BMP.
Kekerasan dari majikan pun kerap mereka alami selama bekerja, seperti kekerasan fisik, seksual, verbal, dan psikis. Sayangnya, BMP tidak mengetahui kemana harus melapor dan mengakses bantuan ketika menghadapi persoalan di negara tempat mereka bekerja. Seorang BMP pernah mengalami berbagai kekerasan, antara lain perkosaan, kecelakaan hingga kriminalisasi dan dipenjara. Namun, pada saat dia menghubungi KBRI dan meminta perlindungan, staf KBRI malah menyalahkan dirinya yang kabur dari rumah majikan dan menganggap apa yang menimpanya sekarang adalah konsekuensi dari perbuatannya sendiri.
Dari pengalaman-pengalaman para peserta kita dapat melihat bahwa pemerintah seolah absen di dalam proses migrasi, termasuk proses ters kesehatan Buruh Migran. Kesenjangan peran pemerintah dalam proses keberangkatan ini begitu jelas terlihat ketika semua pelatihan dan tes kesehatan dilakukan oleh pihak swasta, seperti klinik swasta dan PPTIKS. Selama ini, BMP hanya bertemu dengan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) melalui PAP sehari sebelum keberangkatan BMP ke negara tujuan.
Absennya peran pemerintah juga dibuktikan dengan beberapa kasus yang tidak didampingi oleh pemerintah Indonesia. Bahkan reaksi aparat pemerintah yang justru menyalahkan BMP menyebabkan BMP kehilangan hak-haknya, bahkan mengalami kriminalisasi dan dipenjara.
Penulis:
Anugrah Ratri KW, mahasiswa Kriminologi, Universitas Indonesias
Editor:
Dinda Nuurannisaa Yura, divisi migrasi trafficking, HIV dan AIDS Solidaritas Perempuan