Pernyataan Sikap Solidaritas Perempuan
Peringatan Hari Tani Nasional (HTN) 2024
Peringatan Hari Tani Nasional (HTN) pada tanggal 24 September 2024 menjadi penanda bahwa telah lebih dari enam dekade Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) lahir di Indonesia. Namun, Indonesia masih mengalami berbagai krisis agraria dan sumber daya alam yang sama sekali tidak menunjukan semangat dari keberadaan Undang-Undang ini. Krisis tersebut diperparah dengan penghancuran demokrasi melalui pembungkaman kebebasan rakyat, kriminalisasi, politik dinasti dan deregulasi yang mengakomodasi penghisapan besar-besaran terhadap sumber daya alam oleh investasi. Hal-hal tersebut memperpanjang daftar permasalahan struktural yang tak kunjung selesai. Akibatnya, petani kecil, buruh tani, nelayan dan masyarakat marjinal lainnya semakin dirugikan.
Ketimpangan struktur penguasaan sumber agraria juga terus membawa perempuan semakin merosot dalam jurang penindasan. Sistem kuasa patriarki yang mewujud dalam berbagai kepentingan investasi di berbagai sektor seperti Perkebunan Skala Besar, Food Estate, Proyek Strategis Nasional hingga Proyek Energi sebagai solusi palsu perubahan iklim di Indonesia menyebabkan meluasnya perampasan agraria, penggusuran, konflik horizontal yang diiringi dengan represifitas aparat, kriminalisasi dan kekerasan yang menyasar tubuh perempuan saat mereka memperjuangkan sumber agraria dan sumber daya alam.
Berdasarkan Catatan Akhir Tahun KPA, letusan konflik agraria di era Jokowi naik 100% dengan jumlah konflik sebanyak 2.939 pada luasan terdampak 6.309.261 ha dengan jumlah korban 1.759.308 orang jika dibandingkan pada era kepemimpinan sebelumnya. Di kepemim pinan SBY, jumlah konflik 1.520 dengan luasan 5.711.396 ha dengan jumlah korban sebanyak 977.103 orang. Lalu, di sepanjang tahun
2023 sendiri, telah terjadi 241 konflik agraria dengan luasan areal konflik 638.188 ha, korban terdampak
135.608 KK di 346 desa terdampak. Sehingga dari konflik-konflik yang terjadi, perempuan juga tidak luput dari kekerasan. Berdasarkan catatan Komnas Perempuan, pada tahun 2023 kekerasan terhadap perempuan pada kasus sumber daya alam ada 11 kasus yang dilaporkan sementara pada kasus agraria ada 5 kasus.
Solidaritas Perempuan juga terus mencatat berbagai kekerasan terhadap perempuan yang terjadi akibat perampasan sumber-sumber agraria di berbagai wilayah. Di Kabupaten Poso Provinsi Sulawesi Tengah misalnya, Badan Bank Tanah yang dibentuk sejak tahun 2021 t elah secara sepihak mengklaim lahan Eks HGU PT Sandabi Indah Lestari (SIL) seluas 7.740 Ha. Dalam luasan lahan yang diklaim tersebut ada tanah adat dan lahan pertanian produktif masyarakat. Klaim tanah sepihak ini memicu perlawanan dari masyarakat yang mem pertahankan sumber-sumber agrarianya. Alih -alih mendapatkan kembali haknya, masyarakat justru dikriminalisasi oleh aparat kepolisian tanpa ada perlindungan hukum. Selain itu, belum ada jalur penyelesaian yang ditempuh terhadap konflik ini, tanah tersebut s udah ada dalam
rencana penggunaan untuk kepentingan peternakan dan pertanian skala besar oleh investor. 1 Solidaritas
1https://ditjenpkh.pertanian.go.id/berita/1931 -kementan-bersama-dubes-ri-untuk-vietnam-siap-tarik- investor-sapi-ke-indonesia#
Perempuan melihat, kehadiran Bank Tanah di Kabupaten Poso justru menghilangkan sumber -sumber penghidupan perempuan yang selama ini menggantungkan hidup di tanah tersebut.
Di Kabupaten Ogan Ilir Sumatera Selatan, hingga hari ini perempuan di 22 desa masih terus menuntut dikembalikannya lahan mereka yang dirampas oleh PTPN VII Cinta Manis. Perjuangan ini telah memasuki generasi ketiga sejak 1980. Perjuangan yang sama juga dilakukan oleh perempuan dan masyarakat di Kabupaten Takalar Sulawesi Selatan. Meski seluruh HGUnya telah selesai, namun PTPN XIV terus melakukan aktivitas di atas tanah milik masyarakat. Masyarakat yang menolak aktivitas tersebut justru diperhadapkan oleh aparat dan karyawan PTPN yang menggunakan senjata tajam. Selama kurang lebih 40 tahun penguasaan lahan oleh PTPN banyak berdampak pada hidup perempuan. Perempuan yang kehilangan tanah kini telah beralih profesi sebagai buruh bahkan harus keluar daerah untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Hal yang sama tengah dirasakan oleh perempuan yang berhadapan dengan PT Sawit Jaya Abadi (SJA), anak Perusahaan Astra Agro Lestari di wilayah Kabupaten Poso Sulawesi Tengah. Sejak 2007 perusahaan tersebut telah mengolah lahan masyarakat untuk perkebunan sawit. Pengelolaan tersebut hanya bermodalkan izin arahan lokasi seluas 8.500 ha melalui SK Bupati Poso Nomor
188.45/3688/2008 pada tanggal 18 Juni 2008. Sebagaimana ketentuan Permen Agraria/Kepala BPN
No. 2 Tahun 1999 tentang izin lokasi, PT SJA melakukan penggusuran lahan yang telah dimiliki dan digarap oleh masyarakat. Selain itu PT SJA juga mencaplok lahan warga yang dijadikan wilayah transmigrasi “Trans Madoro” yang berada di Kecamatan Pamona Timur dengan modus tukar guling lahan. Lahan masyarakat transm igrasi yang ditukar guling kemudian ditanami sawit dan masyarakat dipaksa untuk berplasma.
Selain itu, skema perampasan lahan dan tanah masyarakat yang dikuasai oleh negara dan korporasi atas nama pembangunan untuk kepentingan umum seperti Proyek Strategis Nasional Food Estate, Bendungan, Pelabuhan, Proyek Energi Geothermal dan PLTA Poso Energy juga tersebar dengan subur di provinsi Kalimantan Tengah, Nusa Tenggara Barat, DI Yogyakarta, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tengah dan Lampung. Skema perampasan ruang agraria rakyat tersebut dilegitimasi melalui UU No. 2 tahun 2012 Tentan g Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk kepentingan umum. Undang Undang ini juga masuk dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang didesain untuk memperm udah pelepasan tanah -tanah masyarakat dengan dalih untuk kepentingan umum.
Dari situasi di atas terlihat bahwa tidak ada persetujuan perempuan dalam berbagai kebijakan pembangunan. Alih -alih dibangun untuk kepentingan perempuan, berbagai mega proyek tersebut justru melahirkan konflik horizontal dan menghilangkan sumber-sumber agraria perempuan yang melahirkan kemiskinan struktural. Kemiskinan struktural tersebut juga kemudian berujung pada feminisasi migrasi, dimana perempuan dipaksa keluar negeri untuk menjadi buruh migran. Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga, di negara lain perem puan yang dipaksa menjadi buruh migran malah kembali mengalami kekerasan dan tidak dilindungi oleh negara.
Pada Momentum HTN 2024 ini, Solidaritas perempuan menyerukan kepada seluruh anggota, perempuan petani, perempuan nelayan, perempuan miskin kota, kelompok muda, kelompok marginal dan gerakan rakyat sipil untuk melakukan aksi kolektif dan menuntut negara unt uk:
- Mewujudkan reforma agraria yang berkeadilan gender sebagai tanggung jawab konstitusional negara. Reforma agraria yang adil gender merupakan perwujudan dari memutus lapisan struktur kuasa atas ketimpangan pengelolaan sumber agraria yang menghilangkan kedaulatan terhadap akses dan kontrol atas ruang agraria.
- Memastikan penyelesaian konflik agraria yang berkeadilan, menghentikan segala bentuk kriminalisasi, represifitas dan pendekatan dengan cara kekerasan dalam penyelesaian konflik. Serta memastikan perlindungan hukum dan pemenuhan HAM bagi masyarakat khususn ya perempuan yang sedang memperjuangkan hak-haknya atas ruang agraria dan lingkungan.
- Mencabut berbagai kebijakan patriarkis seperti UU Cipta kerja, UU Pengadaan Tanah, Badan Bank Tanah, perizinan HGU dan Kebijakan Proyek Iklim yang memfasilitasi kepentingan investasi, yang telah menciptakan konflik dan kemiskinan struktural bagi perempuan petani, nelayan, masyarakat adat dan kelompok marginal lainnya.