Transisi yang adil di Jerman sebagai contoh bagi India dalam Menghadapi Penutupan Spontan Tambang Batu Bara.

Flavia Lopes and Shuchita Jha 

Penutupan tambang batu bara di India dan Jerman berdampak paling besar pada Perempuan. Namun, inisiatif transisi energi yang dipimpin oleh perempuan di Lusatia, Jerman, dapat menjadi contoh untuk menciptakan kesetaraan gender dalam transisi energi di India.

Di halaman depan rumahnya, Sunita Korku yang berusia 18 tahun bermain bersama anaknya yang berusia lima tahun. Sunita dinikahkan pada usia 12 tahun karena kesulitan ekonomi yang dihadapi ayahnya. Kini, ia harus berjuang memberi makan anaknya setelah suaminya kehilangan pekerjaan di tambang batu bara.

Sunita tinggal di Anuppur, wilayah pertambangan batu bara di India, yang kini tengah menghadapi perubahan besar akibat transisi energi. Lebih dari 10 tambang batu bara telah ditutup dalam sepuluh tahun terakhir, menyebabkan sekitar 5.000 pekerja, yang sebagian besar laki-laki, kehilangan pekerjaan. Dampaknya sangat besar bagi perempuan, terutama gadis-gadis muda seperti Sunita, karena mereka kehilangan pekerjaan informal, terpaksa putus sekolah, dan harus menanggung beban keluarga yang berjuang secara finansial.

Di sisi lain, ribuan kilometer jauhnya, di Jerman, situasi yang berbeda sedang berlangsung. Franziska Stoelzel, yang berasal dari Weiswasser di wilayah Lusatia yang memiliki tambang batu bara, aktif mengupayakan perubahan sosial dan transisi struktural di daerahnya.

Kisah hidup Stoelzel tak terpisahkan dari sejarah pertambangan batu bara di Lusatia. Neneknya harus bekerja keras di pabrik batu bara Weisswasser, berjuang menyeimbangkan pekerjaan, mengurus anak, dan pekerjaan rumah tangga—beban yang jauh lebih berat dibandingkan kakeknya, seorang penambang batu bara, yang lebih banyak menghabiskan waktu bersosialisasi setelah bekerja. Pengalaman masa kecilnya menyaksikan langsung ketidakadilan yang dialami para perempuan di komunitasnya.

Kini, dengan menurunnya industri batu bara dan dimulainya era transisi baru di Lusatia, Stoelzel melihat ini sebagai peluang untuk memperbaiki kehidupan para perempuan.

Jerman dan India mengambil jalan yang berbeda dalam upaya mereka mengakhiri penggunaan batu bara dan beralih ke energi terbarukan. Jerman telah menetapkan target untuk sepenuhnya meninggalkan batu bara pada tahun 2038, sementara India lebih ambisius dengan target 500 gigawatt energi non-fosil pada tahun 2030, sebuah langkah besar menuju energi yang lebih bersih dan berkelanjutan. Meskipun berbeda target waktu, kedua negara sama-sama menghadapi tantangan transisi energi, termasuk masalah kehilangan pekerjaan di sektor batu bara dan pentingnya transisi yang inklusif dan adil bagi semua gender.

Kedua negara tersebut memiliki sejarah kerja sama dalam inisiatif transisi yang adil. Pengalaman Jerman dalam menciptakan transisi energi yang adil dan inklusif menawarkan pelajaran berharga bagi India, serta negara-negara lain yang menghadapi tantangan serupa. Dengan belajar dari keahlian Jerman, India dapat melaksanakan transisi energinya dengan lebih efektif, memastikan bahwa semua orang mendapat manfaat dari perubahan menuju masa depan yang lebih ramah lingkungan.

Penutupan Tambang Batu Bara di India

Sektor industri batu bara di India merupakan salah satu sektor dengan jumlah tenaga kerja yang signifikan, mencapai sekitar 2,6 juta orang. Namun, terdapat ketimpangan gender yang mencolok dalam komposisi tenaga kerja, dimana perempuan hanya memegang 1,6% peran, sementara laki-laki mendominasi sebesar 98,4%. Pemerintah India telah mengidentifikasi lebih dari 299 lokasi pertambangan yang telah dihentikan operasinya, baik karena ditinggalkan maupun ditutup secara resmi. Akibatnya, sekitar 300 ribu orang kehilangan pekerjaan mereka, terutama di wilayah Jharkhand. Situasi ini berdampak besar pada kehidupan perempuan dalam keluarga yang bersangkutan. Jumlah individu yang kehilangan sumber pendapatan reguler di satu provinsi saja menggambarkan betapa kompleksnya tantangan yang dihadapi.

Berdasarkan Survei Kesehatan Keluarga Nasional ke-5, 32,2% perempuan di Jharkhand dan 41,6% di Benggala Barat dinikahkan sebelum mencapai usia legal 18 tahun. Kejahatan terhadap perempuan di wilayah pertambangan batu bara ini meningkat sejak perempuan pemilik lahan kehilangan propertinya akibat pertambangan, membuat mereka kehilangan tanah dan pekerjaan. Hal ini diungkapkan oleh Dr. Kuntala Lahiri-Dutta, Profesor Sumber Daya, Lingkungan dan Pembangunan di Crawford School of Public Policy, Australian National University, yang secara luas meneliti penutupan tambang dan keadilan gender di Benggala Barat dan Jharkhand.

“Di tambang-tambang ini, kita melihat contoh nyata feminisasi kemiskinan—pembangunan yang justru menciptakan kemiskinan berbasis gender. Sektor pertanian yang merosot, sumber daya yang menipis, dan nyaris tidak adanya lapangan kerja di wilayah yang bergantung pada satu industri ini telah sepenuhnya menjauhkan perempuan adivasi dan kasta rendah yang miskin dari sektor pertambangan,” demikian penjelasan Lahiri-Dutta dalam studinya.

India sedang berupaya mengatasi ketidakadilan gender dan mencoba merumuskan kerangka penutupan tambang batu bara yang berpusat pada masyarakat, dengan bantuan Bank Dunia. Namun, kemajuan dalam hal ini masih terbatas. Laporan Bank Dunia menunjukkan bahwa peningkatan pengangguran pada laki-laki berkorelasi dengan meningkatnya kekerasan dalam rumah tangga, kerawanan pangan, dan penurunan status adat di kalangan perempuan.

“Dampak penutupan tambang batu bara dan pembangkit listrik termal lebih besar dirasakan oleh perempuan karena peran dan relasi gender yang berlaku di komunitas pertambangan batu bara. Industri ini, yang secara tradisional hanya mempekerjakan sedikit perempuan secara langsung, membuat mereka sulit mengakses pekerjaan dan/atau program pengembangan yang mungkin tersedia bagi pekerja laki-laki yang kehilangan pekerjaan. Lebih lanjut, peran perempuan dalam ekonomi perawatan yang tidak terlihat dan tidak dibayar berisiko melanggengkan ketidakseimbangan gender yang sudah ada, sehingga perempuan kehilangan kesempatan dalam ekonomi energi bersih yang baru,” demikian pernyataan tersebut.

Penghentian batu bara di Jerman pada tahun 2038

Pada tahun 2018, Jerman membentuk Komisi Batu Bara (terdiri dari pejabat pemerintah, serikat pekerja, dan industri) untuk menangani transisi dari batu bara dan melindungi pekerja. Komitmen untuk mengakhiri penggunaan batu bara pada tahun 2038 kemudian diresmikan melalui Undang-Undang Keluar Batu Bara tahun 2020.

Walaupun Jerman telah menutup tambang batu bara keras terakhirnya pada tahun 2018, mereka masih menjadi salah satu produsen lignit atau batu bara coklat terbesar di dunia. Lignit ditambang di tiga wilayah utama: Lusatia, wilayah pertambangan Jerman Tengah, dan wilayah pertambangan Rhenish di North Rhine-Westphalia. Lignit menyumbang 22% dari konsumsi energi primer Jerman. Menurut DEBRIV, asosiasi industri lignit Jerman, sektor ini menyediakan sekitar 17.216 pekerjaan langsung, meskipun jumlah ini bisa berbeda jika mempertimbangkan pekerjaan tidak langsung dan pekerjaan terkait batu bara lainnya.

Untuk mendukung transisi struktural di wilayah penambangan lignit, pemerintah federal Jerman mengambil langkah dengan menerbitkan serangkaian undang-undang, termasuk Undang-Undang Investasi Wilayah Batu Bara tahun 2020. Undang-undang ini mengalokasikan dana hingga 14 miliar Euro untuk perubahan struktural, dengan fokus pada penciptaan lapangan kerja baru, digitalisasi transportasi, peningkatan investasi, dan pengembangan pariwisata. Selain itu, 26 miliar Euro dialokasikan untuk inisiatif-inisiatif yang berada di bawah kewenangan pemerintah, termasuk pendirian lembaga riset, promosi proyek transisi energi yang inovatif, dan pendanaan proyek infrastruktur utama.

Penggunaan dana ini berbeda-beda di tiap distrik. Contohnya, “strategi investasi dana perubahan struktural di Brandenburg lebih partisipatif dibandingkan di Saxony (yang merupakan bagian dari Lusatia). Jadi, pendekatannya lebih bottom-up di Brandenburg dan top-down di Saxony,” ujar Victoria Luh, peneliti di Research Institute for Sustainability (RIFS), Potsdam. “Sesuai dengan Undang-Undang Investasi Wilayah Batu Bara, dana tersebut digunakan untuk menciptakan lapangan kerja atau proyek yang menghasilkan nilai ekonomi. Sayangnya, perlindungan iklim kurang diprioritaskan dan tidak tercantum sebagai persyaratan dalam undang-undang tersebut.”

Investasi finansial besar-besaran telah dikucurkan untuk transisi struktural, namun penutupan tambang bukanlah hal baru bagi Jerman. Setelah reunifikasi, gelombang penutupan tambang batu bara yang besar dan tiba-tiba melanda negara ini, menyebabkan banyak orang kehilangan pekerjaan. Kajta Muller, seorang ahli etnologi lingkungan dan energi di Merseburg University of Applied Sciences, mencatat, “Dua pertiga dari mereka yang terdampak adalah perempuan yang bergantung pada pertambangan dan industri pendukungnya.”

“Kalau kita lihat secara hubungan sebab akibat, kita sudah mengalami perubahan sejak pergolakan politik tahun 1989. Keputusan politik untuk menghentikan penggunaan batu bara kembali berdampak besar pada wilayah kita. Perekonomian yang tadinya berbasis bahan bakar fosil, kini beralih ke sektor mobilitas, kesehatan, dan energi terbarukan, dan semua ini terjadi dalam waktu singkat. Tentu saja, kami juga merasakannya secara pribadi,” ujar Romy Hoppe, penduduk asli Lusatia yang mendirikan organisasinya untuk mendukung perempuan selama masa transisi struktural ini.

Akan tetapi, jika dibandingkan dengan situasi di tahu 1990an, transisi saat ini lebih terencana dan terkoordinasi, tambah Muller berdasarkan interaksinya dengan masyarakat di Lusatia, tempat ia melakukan studinya.

Ini terlihat jelas dalam kebijakan yang diambil oleh pemerintah pusat dan daerah, baik yang bersifat sentralistik maupun desentralistik. Masyarakat sipil dan pemerintah daerah, serta kelompok perempuan, memainkan peran penting dalam proses perubahan ini.

“Pengalaman Jerman membuktikan bahwa transisi batu bara yang adil bisa diwujudkan dengan melibatkan banyak pihak terkait dan mempertimbangkan transisi dari sudut pandang daerah,” ujar Dr. Pradip Swarnakar, Profesor di Institut Teknologi India, Kanpur, dan pendiri Pusat Penelitian Transisi yang Adil. “Caranya adalah dengan memanfaatkan dan mengembangkan sumber daya serta infrastruktur yang sudah ada, didukung reformasi hukum dan kelembagaan, serta rencana pembangunan berkelanjutan yang terpadu dan strategis.”

Perempuan mengambil inisiatif di Lusatia, Jerman

Tahun 2016, Gabler dan beberapa perempuan lain mendirikan sebuah inisiatif di Görlitz, Lusatia, untuk membangun komunitas pendukung bagi perempuan pekerja di sana. Inisiatif bernama FWieKraft – Frauen, Leben, Lausitz (Perempuan, Kehidupan, Lusatia) ini, menyediakan wadah bagi perempuan untuk berkarir sambil mengatasi tantangan hidup di wilayah tersebut. Di tahun pertamanya, tempat ini dimanfaatkan untuk menulis karya ilmiah dan menjalankan pekerjaan lepas seperti kursus bahasa, penerjemahan, dan pengembangan proyek. Sejak saat itu, FWieKraft berperan penting dalam menyuarakan aspirasi perempuan dalam masa transisi struktural di Lusatia.

Menurut Gabler, motivasi utama FWieKraft adalah “ketidakseimbangan gender di wilayah ini.” “Jumlah perempuan muda dan paruh baya jauh lebih sedikit daripada laki-laki. Terlebih lagi, perempuan sangat kurang terwakili di sektor-sektor penting dengan gaji tinggi (pertambangan, energi), serta di jajaran manajemen industri, perdagangan, administrasi, dan pendidikan publik. Sebaliknya, mereka terlalu banyak di industri bergaji rendah dan pekerjaan non-manajerial.”

FWieKraft memimpin pembentukan aliansi petugas Kesempatan yang Sama di seluruh Lusatia. Aliansi ini bekerja untuk mengadvokasi keadilan gender selama transisi dari pertambangan batu bara, dengan fokus pada pentingnya mempertimbangkan desentralisasi, mobilitas, dan aspek budaya dalam diskusi tentang penghentian batu bara dan pembangunan regional. Pada bulan Oktober tahun lalu, mereka bahkan melakukan perjalanan ke markas Komisi Eropa di Brussels untuk membahas kohesi sosial dan pembangunan ekonomi dari perspektif gender.

Gabler mengatakan bahwa para petugas ini menyumbangkan pengalaman daerah mereka untuk memperkaya kebijakan transisi. “Di mana kita melihat hal-hal berjalan lancar, dan di mana kita melihat ada masalah?” tanyanya. Intinya, kata Gabler, adalah perlunya memperlambat proses dan fokus pada transisi yang berkualitas, termasuk memastikan kesetaraan kesempatan bagi perempuan untuk berpartisipasi.

Di wilayah Lusatia lainnya, Romy Hoppe ikut mendirikan Jaringan Perempuan Lausitz. “Tujuan jaringan kami adalah mewujudkan kesetaraan profesional bagi perempuan,” kata Hoppe. “Untuk itu, kami membahas berbagai isu, membangun jaringan antar perempuan, dan mendorong pertukaran pengetahuan. Kami ingin menyuarakan pentingnya kesetaraan profesional dan kebutuhan dunia kerja, serta menyampaikan isu-isu ini kepada lembaga dan pelaku sosial.”

Peluang-Peluang Transisi

Marko Schmidt adalah seorang pengorganisir masyarakat di Revierwende atau Transisi Distrik, sebuah proyek yang digagas oleh Konfederasi Serikat Pekerja Jerman (DGB) untuk membela hak-hak pekerja di industri batu bara.

“Penghentian batu bara tidak hanya berdampak pada lingkungan, tapi juga demografi Lusatia. Karena populasi yang menua, banyak orang bisa pensiun lebih awal. Ini juga membuka peluang bagi kaum muda untuk berkarir di sektor energi terbarukan,” kata Schmidt. “LEAG, perusahaan batu bara, juga berinvestasi di energi terbarukan, membangun kincir angin, pembangkit listrik tenaga surya, fasilitas produksi baterai, dan lainnya di wilayah ini.”

Schmidt juga menyebutkan perkiraan 20.000 lebih lapangan kerja baru di wilayah tersebut, di sektor-sektor seperti administrasi, perhotelan, transportasi, medis dan keperawatan, serta industri. “Artinya, wilayah ini harus terbuka terhadap migrasi.”

Berbagai kelompok masyarakat sipil berperan dalam memfasilitasi inklusi perempuan dalam masa transisi.

Stoelzel, yang bekerja sama dengan Universitas PBB, Flores, mengadakan lokakarya dan forum bagi masyarakat, termasuk perempuan, untuk membahas “wacana keberlanjutan di wilayah ini” dan peran para pemangku kepentingan dalam transisi struktural. “Diskusi-diskusi ini juga mencerminkan kebutuhan lokal,” ujarnya.

Diskusi-diskusi tersebut memunculkan perspektif penting, ujarnya. “Fokus utamanya adalah merekrut lebih banyak tenaga kerja terampil dan menciptakan pekerjaan yang cocok untuk perempuan. Selain itu, pertanian perlu ditata ulang.” Tujuan Stoelzel adalah memasukkan perspektif feminis dalam diskusi-diskusi tersebut. Saskia Borsius, yang juga berasal dari wilayah tersebut, bekerja sama dengan pemerintah kota untuk menyusun proposal dan konsep tentang transisi yang adil dan inklusif.

“Menuntut pertimbangan perspektif gender saja tidak cukup; yang diperlukan adalah kemauan politik dan struktur yang memungkinkan perempuan untuk benar-benar bertindak dan berpartisipasi lebih aktif,” kata Gabler. “Perubahan struktural di Lusatia juga merupakan proses pemberdayaan politik bagi perempuan melalui swa-organisasi.”

Swarnakar juga menambahkan bahwa keberhasilan Jerman memberikan pelajaran berharga tentang perencanaan sejak dini, tata kelola yang tepat, dan pelaksanaan reformasi struktural. Hal ini menegaskan kembali peran penting pemerintah dalam menjamin keamanan dan kesejahteraan sosial, yang relevan di India.

“Kebijakan tenaga kerja dan sosial dapat memainkan peran penting dalam mendukung pertumbuhan industri-industri baru. Memperluas jangkauan kebijakan ini dapat memfasilitasi diversifikasi ekonomi yang lancar dan pengembangan opsi mata pencaharian alternatif bagi masyarakat dan tenaga kerja regional. Infrastruktur pendidikan yang kuat sangat penting untuk memberikan pendidikan dan pelatihan yang dibutuhkan generasi muda untuk beralih ke pekerjaan baru. Selain itu, penguatan identitas budaya diperlukan agar masyarakat dapat beradaptasi dengan perubahan di wilayah mereka,” tambahnya, menekankan poin-poin penting yang dapat dipelajari India dari transisi Jerman.

 

Artikel asli dapat dibaca di:
https://medium.com/notwithoutus/how-indias-abrupt-coal-mine-closure-can-take-a-leaf-from-germany-s-just-transition-ae8698a9ab31

Translate »