Tudang Sipulung Raya “Memperjuangkan Kedaulatan Perempuan Pesisir Atas Sumber Produksi Pangan”

Siaran Pers untuk disiarkan segera
Solidaritas Perempuan Anging Mammiri
 
Makassar, 06 November 2018. Laut merupakan sumber kehidupan yang dimanfaatkan oleh masyarakat dan terus dijaga bersama-sama karena merupakan kunci untuk mencapai kesejahteraan ekonomi, kedaulatan pangan dan solusi untuk mengatasi dampak perubahan iklim. Masyarakat pesisir, khususnya perempuan, selain sebagai penerima manfaat juga memiliki peran penting dalam menjaga keberlanjutan ekosistem laut. Namun, sejak aktivitas reklamasi untuk Proyek Pembangunan tanggul laut pada tahun 2015 dan pembangunan pelabuhan Makassar New Port (MNP) pada awal tahun 2017 di Kelurahan Tallo dan Buloa, aktivitas nelayan mulai terganggu. Berbagai dampak dirasakan, seperti berkurangnya hasil laut karena rusaknya ekosistem sehingga nelayan perlu menjangkau area yang lebih jauh dan berimplikasi pada penambahan biaya produksi, hal ini juga akan diperparah dengan adanya proyek Kota tanpa Kumuh (KotaKu) yang akan meminggirkan, memindahkan dan bahkan menggusur masyarakat. Sementara bagi perempuan, dampak dari situasi sulit yang dialami jauh lebih berat dan berlapis. Di satu sisi, perempuan berperan dalam produksi perikanan namun di sisi lain perempuan juga memiliki beban gender yang dilekatkan di mana perempuan perlu memastikan keberlanjutan kehidupan keluarga. Dalam situasi sulit tersebut, perempuan kerap mencari berbagai alternatif seperti berutang, beralih profesi dengan keterbatasan keterampilan dan/atau memangkas pengeluaran sehingga berdampak pada penurunan kualitas hidup diri dan keluarganya.

“Setidaknya, ada 135 perempuan pesisir/nelayan di kawasan pesisir Cambaya, Buloa, dan Tallo kehilangan akses dan kontrol terhadap sumber pangannya. Selain itu, masyarakat terancam digusur dari tempat tinggal, di sekitar proyek Makassar New Port. Di kelurahan Tallo khususnya di RW 04 ada 520 Kepala Keluarga (KK), Kelurahan Buloa sebanyak 200 KK, dan Kelurahan Cambaya sebanyak 385 KK yang akan tergusur,” ungkap Musdalifah Jamal, Ketua Badan Eksekutif Komunitas Solidaritas Perempuan Anging Mammiri.  

Negara telah secara sewenang-wenang melakukan pelanggaran hak masyarakat nelayan/pesisir bahkan sejak proses perencanaan MNP dibangun. Pelanggaran hak atas informasi terkait proyek, terkecualikan dalam proses konsultasi proyek, hingga tidak pernah diminta pendapatnya mengenai proyek tersebut. Padahal proyek MNP dibangun di atas kawasan pesisir yang sejak turun temurun dimanfaatkan dan dikelola oleh masyarakat, termasuk di dalamnya perempuan, yang sehari-hari mencari kerang dan kanjappang. Di sisi lain, Negara juga lemah dalam melihat situasi khusus perempuan yang juga menjadi pelaku utama dan memiliki peran yang signifikan di pesisir, sehingga tidak ada upaya dari Negara untuk mengakomodir kepentingan perempuan. “Tempat kami mencari tude/kerang dan kanjappang di patok tengah malam oleh orang tidak dikenal. Pada saat kami turun mencari tude, orang proyek bilang, disini mau dibangun tanggul, tidak bisa lagi mencari tude di lokasi ini” ujar seorang perempuan patude (pencari kerang) dari Kelurahan Tallo.

Kondisi yang sama dirasakan oleh masyarakat nelayan, baik perempuan maupun kaki-laki, di Galesong Takalar, di mana wilayah laut yang selama ini menjadi sumber produksi pangan telah dijadikan zona tambang pasir laut untuk kebutuhan material reklamasi Centre Point of Indonesia (CPI). Hal ini semakin menambah beban perempuan karena jam kerjanya semakin bertambah. “Sejak adanya tambang pasir laut di Takalar, suami saya ke laut jam 3 subuh, padahal sebelumnya berangkat sekitar jam 5. Saya juga terpaksa bangun dini hari untuk mempersiapkan bekal suami dan membantu suami mendorong perahu ke laut. hasil tangkapan suami dilaut. Itupun hasilnya tidak pasti. Kadang dapat, kadang juga tidak. Mau tidak mau, pengeluaran untuk kebutuhan keluarga harus dikurangi” ungkap salah satu perempuan pesisir dari Galesong Takalar dalam acara Tudang Sipulung Raya Perempuan Pesisir Sulawesi Selatan yang diselenggarakan oleh Solidaritas Perempuan Anging Mammiri 5-6 November 2018.

Sementara perempuan di Pulau Lae-Lae, tempat tinggalnya terancam hilang/tenggelam akibat abrasi yang menjadi dampak dari pembangunan CPI, di mana jarak tempat tinggal warga Pulau Lae-lae dengan kawasan CPI hanya berkisar ±100 Meter. Selain itu, ancaman penggusuran juga dihadapi masyarakat apabila aktivitas pembangunan kawasan CPI diperluas. Sementara pada lokasi penggusuran yang disediakan oleh pemerintah, yakni di Kampung Nelayan Untia, Kepastian terhadap akses dan kontrol masyarakat, khususnya perempuan, terhadap sumber-sumber kehidupannya tidak terjamin. Salah satu contohnya mengenai ketersediaan air bersih.

Dari pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa pembangunan di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil yang berpihak pada investasi telah secara nyata melahirkan masalah baru bagi masyarakat, khususnya perempuan. Tidak diakuinya perempuan pesisir/nelayan berdampak signifikan bagi kehidupan perempuan padahal perempuan pesisir/nelayan memiliki peran penting di dalam produksi, distribusi, dan konsumsi pangan laut. Hal tersebut sangat berkorelasi dengan luputnya negara dalam melaksanakan tanggung jawabnya untuk memenuhi dan melindungi perempuan pesisir/nelayan.

Dapat terlihat dari UU No. 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, pembudi daya ikan dan Petambak Garam sebagai regulasi penting yang harus dijadikan pijakan hukum bagi perlindungan dan pemberdayaan produsen pangan laut di Indonesia. Sayangnya, hanya memasukan perempuan sebagai bagian dari keluarga nelayan. Artinya perempuan hanya dilihat sebagai peran pendukung, bukan peran utama. Padahal telah jelas aturan mengenai pengarusutamaan gender melalui UU No. 7 Tahun 1984 tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan dan Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan. Hal ini berimplikasi sampai ke tingkat pemerintah daerah yang juga belum menjadikan regulasi tersebut sebagai satu regulasi penting dalam pembangunan di wilayah pesisir.  

Misalnya saja, pada Rancangan Peraturan Daerah Sulawesi Selatan tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K) yang saat ini memasuki tahap pembahasan di Pansus DPRD Provinsi Sulawesi Selatan. Rancangan Perda ini sama sekali tidak berpijak pada regulasi yang lebih tinggi, baik dalam hal perlindungan nelayan maupun pelibatan perempuan dalam kerangka pengarusutamaan gender pada keseluruhan prosesnya. Padahal pada dokumen rancangan RZWP3K dimana rencana zonasi dibagi dalam 4 (empat) kawasan, yakni Kawasan Pemanfaatan Umum, Kawasan Konservasi, Kawasan Alur dan Kawasan Strategis Nasional Tertentu (KSNT) dan setiap kawasan masih terbagi dalam beberapa zona dan sub-zona sesuai dengan rencana alokasi ruang yang ditetapkan, berada pada ruang hidup masyarakat dan zona tangkap nelayan. Jadi pelibatan nelayan, baik perempuan maupun laki-laki, adalah mutlak. Pun halnya pada proyek pembangunan Makassar New Port di kawasan pesisir Kota Makassar yang ditetapkan sebagai kawasan terpadu pusat jasa dan perdagangan melalui Peraturan Daerah No. 9 Tahun 20019 tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah Provinsi Sulawesi Selatan dan Perda No.4 Tahun 2015 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Makassar.

Berdasarkan situasi di atas, Solidaritas Perempuan bersama perempuan pesisir dari Kelurahan Buloa, Kelurahan Tallo, Kelurahan Cambaya, Kecamatan Galesong (Kabupaten Takalar) dan Pulau Lae-lae, dalam Tudang Sipulung yang diselenggarakan pada 5-6 November 2018, mendiskusikan secara serius mengenai berbagai persoalan yang terjadi serta mendiskusikan komitmen seriu dalam memperjuangkan kedaulatan perempuan pesisir atas sumber produksi pangan. Kami menuntut pemerintah, untuk secara serius menjalankan kewajibannya dalam menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak perempuan nelayan dan perempuan pesisir, salah satunya dengan menghentikan proyek-proyek yang menghancurkan sumber kehiudpan perempuan, di antaranya proyek MNP, CPI, dan Tambang Pasir, serta mengeluarkan proyek-proyek tersebut dari Ranperda RZWP3K. Kami juga mendorong pemerintah untuk menetapkan wilayah pesisir Cambayya, Tallo, dan Buloa sebagai wilayah kelola perempuan, serta mewujudkan kebijakan perlindungan nelayan dan masyarakat pesisir, yang memuat pengakuan dan jaminan hak-hak perempuan.

 

Kontak Person :
Suryani (Koordinator Program)
Solidaritas Perempuan Anging Mammiri (085 255 955 291)

Translate »