Usulan Solidaritas Perempuan “Prinsip Perlindungan Perempuan dalam Perundingan, Proyek dan Pembiayaan Ikim”

USULAN SOLIDARITAS PEREMPUAN “PRINSIP PERLINDUNGAN PEREMPUANDALAM PERUNDINGAN, PROYEK DAN PEMBIAYAAN IKLIM”

Thursday, 24 November 2011 14:51

Usulan ini telah disampaikan kepada Delegasi RI dari Dewan Nasional Perubahan Iklim dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak untuk COP 17 di Durban

Pendahuluan

United Nation Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), sebagai konvensi yang mengatur mengenai perubahan iklim, telah hampir mencapai 20 tahun usianya sejak dibentuk pada tahun 1992 di Rio. Protocol Kyoto yang dibentuk pada tahun 1997 di Kyoto sebagai komitmen penurunan emisi telah hampir usai di tahun 2012. Namun, hingga kini, penanganan isu perubahan iklim maupun mekanisme solusi yang ditawarkan tidak menunjukkan adanya pencapaian tujuan yang signifikan. Perubahan Iklim yang tadinya hanya merupakan dampak yang timbul karena terjadinya percepatan pemanasan global akibat industrialisasi dan eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan, sekarang berkembang menjadi penyebab permasalahan-permasalahan baru melalui proyek-proyek iklim yang ditawarkan sebagai solusi dari perubahan iklim tersebut. Mekanisme pembiayaan yang diusulkan pun tidak mengedepankan keadilan, namun justru berpotensi menjadi upaya pembelokal isu perubahan iklim menjadi perluasan proyek utang baru, yang diperkuat dengan keterlibatan lembaga keuangan internasional dalam pembiayaan iklim.

Perempuan sebagai individu dan kelompok memiliki kebutuhan khusus akibat peran gendernya dan kerentanan yang berbeda akibat kontruksi gender yang berlaku di masyarakat. Perubahan iklim yang begitu cepat terjadi, sangat mempengaruhi kehidupan perempuan, khususnya perempuan petani, perempuan nelayan, perempuan adat, dan perempuan miskin kota. Hal ini mengakibatkan perempuan berusaha keras untuk melakukan berbagai upaya menghadapi perubahan iklim. Tidak dipungkiri bahwa tanah, air, dan udara adalah hal yang sangat melekat dalam kehidupan keseharian perempuan. Peran gender yang masih melekat pada perempuan, mengakibatkan beban perempuan semakin bertambah.

Perubahan iklim, telah mengakibatkan sumber penghasilan perempuan petani dan perempuan nelayan semakin berkurang, akibat gagal panen dan tanam, serta cuaca ekstrim yang semakin sering terjadi. Perempuan miskin kota semakin kesulitan dalam mengakses air bersih, sedangkan perempuan adat, semakin sulit mengakses tanaman untuk bahan makanan sehari-hari ataupun menemukan tumbuhan tradisional untuk obat-obatan. Berkurang atau bahkan hilangnya sumber-sumber kehidupan atau sumber pencaharian perempuan dan keluarga, meningkatkan beban perempuan untuk mencari alternatif sumber penghidupan dan tambahan penghasilan keluarga demi memenuhi kebutuhan makanan dan air bagi keluarga, khususnya anak-anaknya. Oleh karenanya, perubahan iklim menimbulkan dampak yang berbeda terhadap perempuan. Namun, sampai saat ini situasi, pengalaman dan pengetahuan perempuan belum menjadi bahan pertimbangan dalam merumuskan dan memutuskan berbagai kebijakan iklim. Perempuan belum dilihat sebagai subyek perundingan dan pengambilan keputusan, akibatnya hasil-hasil perundingan belum menyentuh kepentingan perempuan.

Mekanisme Perundingan Iklim yang inklusif, sensitif dan responsif gender

Berbagai perundingan Internasional, telah dilakukan untuk mendiskusikan mekanisme solusi perubahan iklim. Namun, sangat sedikit diskusi tentang upaya- upaya dalam menghadapi perubahan iklim dan sampai saat ini belum dikembangkan upaya-upaya untuk mengakomodir kepentingan perempuan dalam pertemuan tersebut, bahkan sebaliknya. Selama ini negosiasi – negosiasi yang dilakukan belum melibatkan perempuan sepenuhnya, sehingga kebijakan dan program yang diusulkan tidak mengakomodir kebutuhan dan kepentingan perempuan.

Negosiasi-negosiasi yang diciptakan sangat berorientasi pasar, tanpa melihat adanya kebutuhan dan perlu tindakan yang cepat untuk mengatasi dampak perubahan iklim, bagi perempuan nelayan, petani, adat dan miskin kota. Padahal perempuan merupakan pemangku kepentingan sekaligus kelompok yang mengalami dampak langsung dari keputusan yang dihasilkan di dalam perundingan perubahan iklim. Pengalaman dan pengetahuan perempuan seharusnya menjadi dasar dan pertimbangan dalam pengambilan keputusan untuk mengatasi perubahan iklim. Partisipasi dan keterlibatan perempuan secara penuh menjadi hal yang penting demi terbukanya ruang bagi perempuan untuk menyampaikan pandangan, pengetahuan, dan pengalamannya. Oleh karenanya, dalam proses perundingan perlu diatur sebuah mekanisme perlindungan bagi perempuan yang inklusif, sensitif dan responsif gender:

· Perundingan Inklusif gender: Perundingan perubahan iklim memasukkan perempuan sebagai pihak yang keterwakilannya harus dipastikan dan dijamin perlindungannya, antara lain dengan menerapkan prinsip keseimbangan gender. Pandangan, pengetahuan dan pengalaman perempuan dimasukkan sebagai bahan perundingan dan dasar pengambilan keputusan.

· Perundingan Sensitif gender: Proses Perundingan dan pengambilan keputusan didasarkan pada kesadaran atas adanya kepentingan dan kebutuhan khusus perempuan, dengan mempertimbangkan situasi sosial, politik, ekonomi dan budaya perempuan dalam konstruksi gender yang patriarkhi, dengan memperhatikan pandangan, pengetahuan dan pengalaman perempuan.

· Perundingan Responsif gender: Proses Perundingan dan pengambilan keputusan menempatkan perempuan sebagai subyek perundingan dan pengambilan keputusan dan bukan sebagai obyek penerima keputusan. Dalam perundingan diambil langkah-langkah khusus dalam memastikan pandangan, pengetahuan dan pengalaman perempuan menjadi dasar pengambilan keputusan melalui keterlibatan dan partisipasi penuh dari perempuan.

Prinsip Perlindungan Perempuan dalam Proyek Iklim

Proyek-proyek iklim yang mulanya ditawarkan sebagai solusi dari perubahan iklim dinilai justru berpotensi membuat masyarakat, khususnya masyarakat adat menjadi semakin terbatas akses dan kontrolnya terhadap keberlanjutan sumber-sumber kehidupannya. Tidak sedikit kebijakan dan program-program iklim yang mengabaikan bahkan justru mengorbankan hak-hak masyarakat, khususnya perempuan. Misalnya, dalam hal pengambilalihan lahan untuk proyek persiapan REDD dan CDM oleh negara ataupun pengelola proyek, yang terkadang melibatkan aparat keamanan/militer, yang kemudian berdampak pada kehidupan sosial, ekonomi, budaya dan lingkungan perempuan yang timbul akibat proyek tersebut.

Proyek-proyek iklim yang dilakukan pada wilayah dengan potensi sumberdaya alam, mengancam kehidupan berbagai komunitas, termasuk petani, nelayan, miskin kota, dan adat. Beberapa proyek di sektor kehutanan yang mengarah pada REDD dan CDM mulai menimbulkan permasalahan bagi masyarakat lokal dan masyarakat adat, termasuk perempuan. Proyek – proyek persiapan REDD yang mulai dilaksanakan di beberapa daerah, mulai menimbulkan konflik, bahkan tidak sedikit yang berakhir pada kekerasan, baik fisik maupun psikis. Keterlibatan aparat keamanan/militer dalam proyek iklim, juga menjadikan salah satu kerentanan atas kekerasan yang terjadi. Penggusuran, kerusakan lingkungan, serta pelanggaran hak-hak sosial, ekonomi, dan budaya, khususnya bagi perempuan, kerap terjadi pada proyek-proyek mitigasi. Hal ini dikarenakan selama ini belum adanya sebuah mekanisme aturan perlindungan, yang menjamin dan melindungi hak- hak perempuan.

Dalam komunitas masyarakat, perempuan memiliki kerentanan berbeda akibat konstruksi gender yang berlaku di masyarakat, yang menciptakan peran gender bagi perempuan. Hidup di dalam lingkungan dan sistem patriarkhi mengakibatkan perempuan sering dianggap sebagai “makhluk nomor dua”. Pembatasan ruang dan gerak perempuan ‘hanya’ pada ranah-ranah domestik menjadikan perempuan jarang, bahkan sering tidak dilibatkan dalam ranah-ranah publik. Selama ini, ruang-ruang publik masih didominasi oleh laki-laki, terutama di wilayah pedesaan dan pesisir.

Pembatasan akses dan kontrol perempuan dalam ruang-ruang pengambilan keputusan juga berdampak pada terbatasnya akses dan kontrol perempuan terhadap pengelolaan tanah, air dan sumber daya alam lainnya. Akibatnya pengetahuan dan pengalaman perempuan tidak pernah tersampaikan dan menjadi pertimbangan dalam pengambilan keputusan yang akan berdampak pada kehidupan perempuan. Sehingga, perempuan yang seharusnya menjadi subyek hak hanya menjadi obyek dari hak, menempatkan perempuan hanya sebagai penerima keputusan. Penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak perempuan tidak didasarkan pada kebutuhan dan kepentingan perempuan.

Dengan adanya situasi tersebut, potensi dampak yang ditimbulkan proyek-proyek iklim ini dapat semakin meningkatkan ketidakadilan dan pelanggaran hak asasi perempuan, apabila tidak ada mekanisme aturan perlindungan bagi perempuan, dalam proses perencanaan, persetujuan/penetapan, pelaksanaan, hingga monitoring dan evaluasi proyek iklim. Beberapa prinsip perlindungan yang penting dan wajib untuk diperhatikan oleh berbagai pihak yang terlibat adalah prinsip keterbukaan informasi, konsultasi dan partisipasi, serta persetujuan dan pengajuan keluhan/keberatan.

Keterbukaan Informasi: Informasi merupakan hak yang wajib diberikan secara jelas, benar dan lengkap, dengan format dan kemasan yang sesuai untuk perempuan, dan dengan bahasa yang dimengerti oleh perempuan terkena dampak. Akses atas informasi yang terjangkau atau mudah diakses, dan mudah dipahami oleh masyarakat, khususnya perempuan, dan ditujukan untuk menjamin peningkatan kualitas pelibatan perempuan dalam proses pengambilan keputusan. Informasi dipastikan tersampaikan dan dipahami oleh perempuan, sebagai individu pemangku kepentingan, dalam suasana yang bebas dari tekanan dan kekerasan.

Konsultasi dan Partisipasi: Konsultasi ditujukan untuk memaksimalkan diseminasi informasi, menjamin transparansi, sebagai ruang komunikasi antar pemangku kepentingan dan mengintegrasikan semua pandangan dari para pemangku kepentingan, termasuk perempuan terkena dampak. Konsultasi memastikan keterlibatan dan partisipasi penuh dari perempuan, sebagai pemangku kepentingan, dalam suasana yang bebas dari tekanan dan kekerasan, demi menjamin pandangan, pengalaman dan pengetahuan perempuan tersampaikan dan dijadikan dasar dalam pengambilan keputusan.

Persetujuan: Persetujuan perempuan diberikan secara bebas dan sadar. Bebas dari paksaan, intimidasi, perbuatan curang, kekerasan, ancaman kekerasan, atau tekanan lainnya. Sadar dalam arti mengerti dan memahami penuh persetujuannya, berdasarkan informasi yang jelas, benar dan lengkap. Setiap persetujuan yang diberikan tidak secara bebas dan sadar, atau di bawah pengaruh orang yang memiliki ‘pengaruh’ atas perempuan, seperti suami, orang tua atau keluarga laki-laki, maka dapat dibatalkan. Persetujuan diberikan melalui proses yang menggunakan prinsip-prinsip free prior informed consent (FPIC) dengan pendekatan-pendekatan yang inklusif, sensitif dan responsif gender, khususnya bagi perempuan adat. Setiap penolakan atau keberatan perempuan selaku pemangku kepentingan dijadikan bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan.

Pengajuan Keluhan/Keberatan: Pengajuan keluhan/keberatan terjamin hak, kebebasan, dan keamanannya, melalui proses yang transparan, aman dan dapat dipertanggungjawabkan, dengan menyediakan ruang aman bagi perempuan, pendamping perempuan bagi perempuan yang mengajukan keluhan, dan diterima oleh pihak yang independen, sensitif dan responsif gender.

Pembiayaan Iklim berbasis keadilan iklim dan keadilan gender

Pembiayaan iklim dibutuhkan oleh masyarakat di negara berkembang untuk membuat mereka mampu dalam menghadapi dan mengatasi dampak dari perubahan iklim, serta dalam upaya pemenuhan hak negara berkembang atas atas pembangunan yang berkelanjutan, adil dan setara. Pembiayaan iklim menjadi kewajiban dari negara maju sebagai bentuk pertanggungjawaban historis dalam memperbaiki dampak dari perubahan iklim.

Pembiayaan iklim yang bersumber dari pasar karbon terbukti hanya menjadikan negara berkembang, yang masih memiliki potensi sumber daya alam untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, sebagai ladang bagi negara maju untuk “bertanggung jawab” atas pemanasan global yang disebabkan lebih banyak oleh mereka, melalui mekanisme perdagangan karbon. Mekanisme perdagangan karbon yang jelas-jelas berorientasi pasar dan pencarian keuntungan justru semakin meningkatkan pengabaian hak-hak masyarakat dan pemiskinan masyarakat, khususnya perempuan di negara-negara berkembang.

Pembiayaan iklim yang ditujukan untuk upaya pengurangan resiko dan upaya penyesuaian diri akibat dampak dari pemanasan global dan perubahan iklim menjadi kewajiban dari negara maju sebagai bentuk pertanggungjawaban historis dalam memperbaiki dampak dari perubahan iklim. Akibat pembangunan dan perkembangan industrinya, negara maju telah mendapatkan peningkatan signifikan dalam peradaban, perkembangan teknologi, dan kekuatan ekonomi, dan oleh karenanya berkewajiban untuk memperbaiki dampak dari aktivitas mereka selama beratus-ratus tahun. Pembiayaan iklim tidak seharusnya disalurkan dalam bentuk utang atau equity.

Pengelolaan dana iklim yang melibatkan lembaga keuangan internasional hanya akan menjadikan isu perubahan iklim menjadi perluasan proyek utang baru di negara-negara berkembang. Hal ini terbukti dengan semakin gencarnya lembaga-lembaga keuangan internasional, seperti World Bank, ADB, IFC dan JBIC memasarkan rencana proyek utang dengan mengatasnamakan perubahan iklim. Berdasarkan pengalaman dan pengetahuan, terkait kebijakan dan proyek-proyek dari lembaga keuangan internasional ini, jelas-jelas menunjukkan bahwa perilakunya dalam mendorong peran swasta melalui intervensi kebijakan yang berdampak pada peminggiran masyarakat, khususnya perempuan, dan perilaku mereka yang terus mendanai perusahaan-perusahaan swasta yang mempunyai sejarah kekerasan dan pelanggaran HAM, dan/atau mempromosikan proyek bahan bakar fosil, tidak seharusnya dipercaya untuk mengelola dana iklim yang idealnya adalah untuk kepentingan dan kesejahteraan masyarakat di negara-negara berkembang. Dalam hal ini, peran World Bank sebagai Trustee of the Climate Fund, harus segera dihentikan dan berakhir. World Bank tidak seharusnya dipercaya berada di dalam struktur dan operasional dana Iklim.

Pembiayaan iklim berbasis keadilan iklim:

· Pembiayaan iklim bersumber dari negara-negara maju (Annex 1 Parties) sebagai bentuk pertanggungjawaban historis untuk memperbaiki dampak dari perubahan iklim.

· Pembiayaan iklim diberikan tidak dalam bentuk utang maupun equity, serta tidak melibatkan lembaga keuangan internasional ataupun sektor swasta.

· Pembiayaan iklim diberikan untuk negara berkembang yang memiliki kerentanan atas dampak perubahan iklim dan potensi pengurangan emisi dengan ditujukan untuk membuat mereka mampu untuk menghadapi dan mengatasi dampak dari perubahan iklim, serta dalam upaya pemenuhan hak negara berkembang atas pembangunan yang berkelanjutan, adil dan setara.

· Pembiayaan iklim diberikan porsi yang lebih besar bagi program adaptasi di negara berkembang, dengan alokasi khusus bagi perempuan.

Pembiayaan iklim berbasis keadilan gender:

· Pelibatan dan partisipasi penuh perempuan dalam setiap proses perundingan dan pengambilan keputusan atas sumber pendanaan, penyaluran dan pengelolaan dana iklim untuk memastikan keterwakilan, pandangan, pengetahuan, dan pengalaman perempuan menjadi dasar pengambilan keputusan, demi memastikan perlindungan hak dan penerimaan manfaat penuh bagi perempuan dari setiap kebijakan dan proyek iklim.

· Pembiayaan iklim memperhatikan alokasi khusus bagi perlindungan perempuan atas kerentanan yang dimilikinya akibat peran gendernya dalam aspek sosial, politik, ekonomi, budaya dan lingkungan di ranah publik dan domestik.

Keseluruhan usulan ini ditujukan sebagai bahan perundingan dan desakan untuk diajukan oleh Indonesia dalam proses perundingan perubahan iklim, demi kepentingan dan perlindungan perempuan, khususnya perempuan di negara-negara berkembang yang rentan terhadap dampak dari perubahan iklim.

Rekomendasi bagi Indonesia khusus pada Conference of Parties(COP) ke-17 di Durban:

1. Indonesia, sebagai salah satu negara berkembang yang rentan terhadap dampak perubahan iklim, memiliki posisi tegas dalam mendesak Annex 1 Parties untuk memenuhi komitmen mereka dan bertanggung jawab sesuai tanggung jawab historis, kekuatan ekonomi, serta menetapkan target spesifik yang mengikat dan menyusun langkah-langkah konkret jangka pendek dan menengah dalam mengurangi emisi mereka secara drastis, melalui pengurangan aktivitas industri dan daya konsumtif mereka.

2. Indonesia mendesak Annex 1 Parties untuk melaksanakan komitmen mereka dalam penyediaan sumber pembiayaan, transfer teknologi dan pengembangan kapasitas, sebagai bentuk reparasi dan pertanggungjawaban mereka atas dampak yang dialami oleh negara berkembang akibat perubahan iklim. Pembiayaan tidak berorientasi pada mekanisme pasar dan tidak menjadikan jeratan utang baru bagi negara berkembang.

3. Posisi dan desakan Indonesia berdasarkan pada prinsip-prinsip perlindungan berbasis keadilan iklim dan keadilan jender.

Jakarta, 22 November 2011

Sekretariat Nasional Solidaritas Perempuan
Solidaritas Perempuan Bungoeng Jeumpa – Aceh
Solidaritas Perempuan Palembang – Sumatera Selatan
Solidaritas Perempuan Jabotabek – DKI Jakarta dan sekitarnya
Solidaritas Perempuan Kinasih – Yogyakarta
Solidaritas Perempuan Kahyangan Api Bojonegoro – Jawa Timur
Solidaritas Perempuan Kendari – Sulawesi Tenggara
Solidaritas Perempuan Palu – Sulawesi Tengah
Solidaritas Perempuan Anging Mammiri Makassar – Sulawesi Selatan
Solidaritas Perempuan Mataram – Nusa Tenggara Barat
Solidaritas Perempuan Sumbawa – Nusa Tenggara Barat

Kontak Person:

  • Risma Umar, Ketua Solidaritas Perempuan ( rismaumar@solidaritasperempuan.org)
  • Wardarina, Koordinator Program Solidaritas Perempuan ( wardarina@solidaritasperempuan.org)
  • Puspa Dewy, Kepala Program Perempuan dan Konflik Sumber Daya Alam ( pdewy@solidaritasperempuan.org)
Translate »