UU Perampasan Tanah Bertentangan dengan UUD 1945 dan Semakin Meluaskan Konflik Agraria

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum

Jakarta, 17 April 2012

Sejengkal Tanah tumpah darah kami…….!!

Adalah tantangan yang tidak ringan tentunya bagi Pemerintah dalam mengelola dan memanfaatkan sumberdaya agraria melalui program pembangunan pertanian, perkebunan, dan sebagainya, untuk mengangkat kesejahteraan rakyat tani, nelayan, termasuk masyarakat adat, dari jurang pemiskinan, kelaparan dan penindasan akibat konflik agraria. BPS (2012) mengumumkan bahwa per September 2011 masih ada 29.89 juta penduduk berada dalam kondisi miskin dengan komposisi penduduk miskin pedesaan sebanyak 18.94 juta jiwa dan 10.95 juta penduduk miskin perkotaan. Jumlah penduduk yang rentan miskin sebanyak 27.82 juta jiwa.

Kondisi penduduk yang miskin, kemudian berdampak pada kelaparan. Laporan FAO (2011) menyebutkan bahwa kelaparan penduduk dunia tahun 2010 mencapai sekitar 925 juta jiwa dan kelaparan penduduk Indonesia mencapai 29.9 juta jiwa, yang sebahagian besar dialami oleh perempuan dan anak – anak. Sementara persoalan konflik agraria sebagai ekses dari praktek-praktek penggusuran tanah rakyat atas nama pembangunan untuk kepentingan umum seperti pembangunan pertanian, perkebunan, pertambangan, perumahan, jalan tol, kantor pemerintahan, cagar alam, bendungan, reklamasi dan pengembangan wisata, telah menimbulkan korban jiwa petani dan juga kriminalisasi petani, nelayan, miskin kota dan masyarakat adat. Tidak hanya itu, dampak penggusuran tersebut juga mempengaruhi keseluruhan kehidupan perempuan. Badan Pertanahan Nasional (2011) mencatat 2.791 kasus pertanahan pada tahun 2011 – ditambah dengan dua kasus pertanahan yang menimbulkan korban jiwa di Mesuji dan Bima pada akhir tahun 2011. Ancaman pemiskinan, kelaparan dan konflik agraria berpeluang semakin meluas dan mendalam, bila pemerintah melaksanakan UU No. 2/2012 tentang Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan demi Kepentingan Umum.

Oleh karena itu, tim Advokasi Anti Perampasan Tanah Rakyat yang terdiri dari organisasi petani, nelayan, masyarakat adat, perempuan, dan miskin kota, telah menghasilkan beberapa tuntutan ke Pemerintah yang dikatagorikan dalam tiga aspek berikut ini[1] :

1. Aspek Hak Asasi Petani atas Tanah, Pangan dan Perlindungan Petani

2. Aspek Kebijakan Tentang Pemasaran Hasil Pertanian

3. Aspek Kebijakan tentang Penguatan Organisasi dan Petani

Kemudian terkait UU No. 2/2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, bahwa kami berkesimpulan:

1. Bahwa UU No. 2/2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, tidak sinkron antara judul dengan isi batang tubuh undang-undang a quo sehingga bertentangan dengan Pasal 1 (3) Undang-Undang Dasar 1945;

2. Bahwa UU No. 2/2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, saling bertentangan, yang mengakibatkan ketidakpastian hukum dan bertentangan dengan Pasal 28D (1) Undang-Undang Dasar 1945;

3. Bahwa UU No. 2/2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, tidak dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat Bertentangan Dengan Pasal 33 (3) Undang-Undang Dasar 1945;

4. Bahwa UU No. 2/2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, tidak menjamin perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia Bertentangan Dengan Pasal 28A; Pasal 28G (1); Pasal 28H (1) dan (4) Undang-Undang Dasar 1945;

5. Bahwa UU No. 2/2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, tidak menjamin persamaan hak di hadapan hukum sehingga bertentangan dengan Pasal 27 (1) Undang-Undang Dasar 1945;

6. Bahwa UU No. 2/2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, sangat jelas berpotensi merugikan hak-hak konstitusional PARA PEMOHON Judicial Review atas UU tersebut.

Bahwa karena Pasal 2 huruf (g), Pasal 9 ayat (1), Pasal 10, Pasal 14, Pasal 21 ayat (1), Pasal 23 ayat (1), Pasal 40 dan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 22 bertentangan dengan Pasal 1 (3), Pasal 28D (1), Pasal 28A, Pasal 33 ayat (3), Pasal 28G (1), Pasal 28H (4), Pasal 27 (1) dan Pasal 28H (1) Undang-Undang Dasar 1945, maka dapat dimohonkan untuk dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;

oleh karena itu kami Tim Advokasi Anti Perampasan Tanah Rakyat, mendesak agar Mahkamah Konstitusi

1. Menerima dan mengabulkan seluruh permohonan pengujian ini;

2. Menyatakan Pasal 2 huruf (g), Pasal 9 ayat (1), Pasal 10, Pasal 14, Pasal 21 ayat (1), Pasal 23 ayat (1), Pasal 40 dan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 22 bertentangan dengan Pasal 1 (3), Pasal 28D (1), Pasal 28A, Pasal 33 (3), Pasal 28G (1), Pasal 28H (4), Pasal 27 (1) dan Pasal 28H (1) Undang-Undang Dasar 1945;

3. Menyatakan ketentuan Pasal 2 huruf (g), Pasal 9 ayat (1), Pasal 10, Pasal 14, Pasal 21 ayat (1), Pasal 23 ayat (1), Pasal 40 dan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 22 tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat dengan segala akibat hukumnya;

4. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.

Demikianlah pernyatan pers kami.

Narasumber:

Henry Saragih (0811655668) – Serikat Petani Indonesia (SPI),

Fadil Qirom (081542287780) – Aliansi Petani Indonesia (API),

Gunawan (081584745469)-IHCS

Puspa Dewy (085260241597) – Solidaritas Perempuan

Tim Advokasi Anti Perampasan Tanah Rakyat:

Serikat Petani Indonesia (SPI), Indonesian Human Rights Committee For Social Justice (IHCS), Yayasan Bina Desa Sadajiwa (Bina Desa), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Aliansi Petani Indonesia (API), Perkumpulan Sawit Watch, Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KruHA), Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), dan Solidaritas Perempuan

Translate »