Siaran Pers untuk disiarkan segera
Jakarta, 28 Mei 2024. Dengan mendapatkan dukungan lebih dari 100 organisasi masyarakat sipil dan individu, 3 organisasi masyarakat sipil yaitu LBH WCC Bali, Aksi! for gender, social and ecological justice, dan Perserikatan Solidaritas Perempuan, melontarkan surat kepada World Water Council sebagai penyelenggara World Water Forum ke 10 yang memicu pelanggaran hak kebebasan menyampaikan pendapat dan berkumpul masyarakat yang terkena dampak serta para pembela hak asasi manusia pada saat WWF ke-10 berlangsung tanggal 18 hingga 25 Mei 2024 di Bali, Indonesia.
Demi menjamin kesuksesan perhelatan World Water Forum (WWF) ke-10 dari tanggal 18-25 Mei 2024 di Bali, Indonesia, kembali menjadi alasan pemerintah Indonesia untuk membungkam suara kritis rakyat yang memperjuangkan kedaulatan atas air, termasuk perlindungan dan pemenuhan hak atas air, dalam hal ini adalah People’s Water Forum (PWF). Di saat WWF berlangsung dengan pesta makan malam yang mewah, penuh dengan tarian dan nyanyian, menghasilkan kesepakatan investasi besar-besar masyarakat korban kasus perampasan sumber daya air dan pejuang hak atas air mengalami intimidasi, serangan dan kekerasan negara.
Penyerangan dan pembubaran kegiatan People’s Water Forum (PWF)
WWF hanya menjadi forum legitimasi korporasi, lembaga keuangan internasional, dan pemerintah untuk menjadikan air sebagai komoditas dagang melalui berbagai proyek investasi. Agenda WWF jelas bukan untuk kepentingan pemenuhan hak rakyat atas air melainkan merampas dan memonopoli air. Artinya, WWF tidak dapat dianggap sebagai forum yang mewakili suara dan kepentingan hak rakyat atas air. Karenanya, masyarakat sipil dan komunitas korban pelanggaran hak atas air di Indonesia dan berbagai negara berkembang serta didukung oleh aktivis negara industri lainnya, menggagas People’s Water Forum (PWF) sebagai forum rakyat yang merupakan alternatif bagi komunitas korban hak atas air untuk menyuarakan dan menuntut pemenuhan haknya oleh negara. Masyarakat sipil dan komunitas korban berhak untuk berkumpul bersama dan mengekspresikan persoalan yang mereka hadapi akibat privatisasi dan monopoli sumberdaya air, dan pengrusakan sumber air masyarakat. Selain itu, perempuan semakin sulit mengakses dan menikmati air bersih yang sehat.
Pemerintah seharusnya menghormati dan melindungi forum rakyat alternatif sebagai pemenuhan hak berkumpul dan menyatakan pendapat dalam negara yang demokratis. Namun, jauh hari sejak proses persiapan hingga puncak acara PWF, panitia penyelenggara dan peserta terus dihantui oleh serangan keamanan. Mulai dari peretasan ponsel, intimidasi, pelecehan, hingga serangan fisik dialami oleh peserta PWF.
Namun, pemerintah justru mengabaikan prinsip-prinsip dasar demokrasi melalui cara memicu konflik horizontal antar masyarakat untuk memberikan sentimen dan kesan bahwa warga Bali tidak menyukai adanya forum rakyat tersebut, sehingga ada ormas yang menggerebek, melarang dan menghentikan kegiatan PWF secara intimidatif dan kekerasan. Kemudian turun Satuan Polisi Pamong Praja (satpol PP), polisi, dan intel yang melarang siapa saja untuk keluar dari hotel tempat acara PWF maupun masuk untuk mengikuti acara PWF. Termasuk yang dilarang masuk adalah mantan hakim mahkamah konstitusi Bali dan Pelapor Khusus PBB untuk Hak atas Air dan Sanitasi. Peserta PWF yang berada di hotel tempat acara PWF menjadi terpenjara di dalamnya. Pemerintah menjadi aktor pelanggaran hak kebebasan sipil dengan membungkam, meneror dan melakukan kekerasan terhadap warga negaranya dan membubarkan PWF demi ‘mengamankan’ agenda investasi dan utang baru yang didesain dan disepakati pada forum WWF.
Usaha membangun sentimen konflik horizontal tidak berhasil, karena warga Bali justru mempertanyakan ormas yang melakukan tindak kekerasan tersebut. Dilansir, antara lain, dari pernyataan sikap Bali sedang tidak baik-baik saja. Sudah saatnya melawan untuk merawat kehidupan! pada 21 Mei 2024 lalu, Akademisi Muda Bali (AMUBA) & Aliansi Masyarakat Sipil Bali mengutuk keras pembungkaman, intimidasi, kekerasan, rasisme, seksisme, dan pembubaran yang dilakukan oleh pihak mana pun atas pelaksanaan People’s Water Forum 2024. Mereka mengajak kaum terdidik di Bali untuk bangkit, bersikap tegas dan mengambil langkah di depan dalam membangun kesadaran kritis masyarakat Bali guna melawan segala bentuk pembungkaman dan peminggiran hak masyarakat atas sumber kehidupan, termasuk air. Mereka menyerukan masyarakat Bali untuk berani bersuara dan melawan pembodohan yang telah menyejarah serta berjuang untuk merebut hak dan mempertahankan ruang hidup dari upaya eksploitasi dan pencaplokan dari pihak manapun. Dalam pernyataan sikapnya, Akademisi Muda Bali (AMUBA) dan Aliansi Masyarakat Sipil Bali juga mendorong masyarakat Bali untuk mengaktifkan kembali banjar dan forum-forum lokal sebagai medium pabligbagan tentang permasalahan air dan tanah, hak asasi manusia, dan pencaplokan ruang hidup di Bali.
Kekerasan Terhadap Perempuan Pejuang Hak Atas Air
Perempuan yang datang ke Bali untuk menghadiri PWF berasal berbagai komunitas di Indonesia. Mereka adalah para perempuan pembela HAM yang memperjuangkan haknya dan hak komunitas mereka atas air. Proyek energi geothermal, pertambangan, PLTA, food estate dan pembangunan ekstraktif lainnya, telah mencemari dan merusak sumber-sumber air mereka. Monopoli dan privatisasi sumberdaya air oleh korporasi, menyebabkan banyak perempuan tidak dapat menikmati hak atas air yang sehat dan bersih.
Tindakan pengeroyokan, seret-menyeret, pengepungan dan pembubaran paksa PWF oleh ormas Patriot Garuda Nusantara (PGN), Satuan Polisi Pamong Praja (satpol PP), polisi dan preman, merupakan tindakan menciptakan ketakutan dan kekerasan terhadap perempuan komunitas, yaitu melarang mobilitas peserta untuk keluar dan masuk hotel. Tindakan ini merupakan kekerasan struktural melalui intimidasi psikologis yang luar biasa untuk menekan suara masyarakat sipil. Yang diamankan bukan preman yang membuat kerusuhan, melainkan peserta forum yang kemudian menjadi terpenjara di dalam hotel.
Para perempuan yang terpenjara di dalam hotel tersebut karenanya berada dalam kondisi stress, tertekan, trauma, marah, kecewa, putus asa, lelah dan merasa direndahkan martabatnya sebagai perempuan dan manusia. “Saya jauh-jauh datang dari Kampung ke Bali untuk memperjuangkan kondisi air di lereng Gunung Slamet yang semakin hari semakin memprihatinkan. Saya ke Bali hanya untuk menyampaikan persoalan kami, namun tiba-tiba ada serangan di depan mata saya, saya jadi takut.” (Perempuan Lereng Gunung Slamet)
“Kejadian kemarin itu sangat kasar, membuat saya kaget, geram hingga gemetar karena marah. Kenapa saya katakan demikian karena mereka tidak mau mengerti apa yang kita perjuangkan yang mana berkali kali kawan- kawan jelaskan kepada mereka apa yg sedang dirasakan oleh rakyat sekarang”. (Perempuan korban Privatisasi Air Jakarta).
Sementara itu para peserta PWF yang berada di luar karena dilarang masuk, mengalami pelecehan seksual verbal. Keluar ucapan-ucapan melecehkan dengan gaya menggoyangkan tubuh bagian bawah di depan sejumlah aktivis perempuan, seperti “Berapa uang maharmu?”; “Berapa biayamu per malam” (sambil memperlihatkan barang-barang seperti jam tangan, topi dan sepatu yang menurutnya barang mewah); “Tinggi, cakep, pintar, berani, idaman mamaku banget, pasti jago di ranjang”; “Saya mau telepon mamaku, mau kasih lihat perempuan mana yang dipilih”; “Sekitar 6 orang aktivis Solidaritas Perempuan hampir diserempet oleh satu orang yang mengendarai motor, sambil melihat spion dan tersenyum”.
Kegagalan World Water Council, sebagai penyelenggara World Water Forum ke 10 dalam menjamin penghargaan dan pemenuhan hak-hak asasi manusia di tempat penyelenggaraan
Kejadian penyerangan ke penyelenggaraan PWF dan pelarangan keluar dan masuk hotel merupakan pelanggaran hak-hak sipil dan politik, termasuk hak kebebasan berkumpul dan berpendapat, yang merupakan pondasi utama dalam demokrasi dan perlindungan hak asasi manusia. Kebebasan berkumpul dan berpendapat memungkinkan warga negara untuk berpartisipasi dalam proses politik, mengungkapkan pandangan mereka, serta membentuk dan menyuarakan aspirasi kolektif.
Pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi adalah sebagai berikut:
Pertama, Hak Kebebasan Berkumpul. Hak kebebasan berkumpul adalah hak yang diakui secara internasional, termasuk dalam Pasal 20 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) dan Pasal 21 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR). Hak ini mencakup kebebasan untuk berkumpul secara damai tanpa ancaman atau gangguan dari pihak berwenang atau pihak ketiga. Larangan masuk dan keluar hotel yang berkegiatan forum rakyat jelas merupakan pelanggaran terhadap hak ini, karena menghalangi orang untuk berkumpul secara damai dan berpartisipasi dalam diskusi atau kegiatan kolektif yang sah.
Kedua, Hak Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi. Hak kebebasan berpendapat dan berekspresi dijamin oleh Pasal 19 DUHAM dan Pasal 19 ICCPR. Hak ini mencakup kebebasan untuk mencari, menerima, dan menyebarkan informasi dan ide dalam segala bentuk.
Dengan menghalangi akses ke forum rakyat di hotel, pihak berwenang atau pihak yang memberlakukan larangan ini juga secara tidak langsung melanggar hak untuk berekspresi dan berbagi pandangan serta informasi. Forum semacam itu biasanya merupakan tempat penting untuk menyuarakan dan mendiskusikan ide-ide.
Ketiga, Hak atas Perlindungan dari Kekerasan. Hak atas Perlindungan dari Kekerasan dijamin dalam Pasal 20 DUHAM, tindakan intimidasi psikologis maupun pelecehan verbal melanggar hak atas perlindungan dari kekerasan dan perlakuan yang tidak manusiawi.
Keempat, Hak atas Mobilitas. Hak atas mobilitas termasuk hak untuk bebas bergerak dan memilih tempat tinggal di dalam wilayah suatu negara, yang diatur dalam Pasal 13 DUHAM. Larangan masuk dan keluar hotel membatasi kebebasan individu untuk bergerak dan mengakses tempat yang mereka inginkan, yang merupakan bagian dari hak dasar mobilitas.
Kelima, Hak untuk Berpartisipasi dalam Urusan Publik. Hak untuk berpartisipasi dalam urusan publik dijamin oleh Pasal 21 DUHAM dan Pasal 25 ICCPR. Ini mencakup hak untuk berpartisipasi dalam proses politik, baik secara langsung maupun melalui wakil yang dipilih secara bebas. Forum rakyat sering kali berfungsi sebagai wadah untuk diskusi politik dan partisipasi publik. Menghalangi akses ke forum semacam itu berarti membatasi kemampuan individu untuk terlibat dalam urusan publik dan politik.
Sementara itu kata-kata atau perlakuan pelecehan seksual yang dialami oleh para aktivis perempuan di luar tempat acara PWF oleh para penghadang tersebut, sudah termasuk tindak pidana kekerasan seksual secara verbal dan sangat merendahkan atau melecehkan perempuan
Menurut UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) no. 12/2022, pelecehan seksual nonfisik adalah perbuatan seksual secara nonfisik yang ditujukan terhadap tubuh, keinginan seksual, dan/atau organ reproduksi dengan maksud merendahkan harkat dan martabat berdasarkan seksualitas dan/atau kesusilaannya. Perbuatan seksual nonfisik’ adalah pernyataan, gerak tubuh, atau aktivitas yang tidak patut dan mengarah pada seksualitas dengan tujuan merendahkan atau mempermalukan.
Adapun mengucapkan kata-kata bernuansa seksual termasuk dalam kategori pernyataan yang tidak patut dan mengarah pada seksualitas termasuk perbuatan seksual nonfisik. Menurut Pasal 5 UU TPKS, pelecehan verbal dan pelecehan nonfisik lainnya dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 bulan dan/atau pidana denda paling banyak Rp10 juta.
Selanjutnya, tindakan pelecehan seksual verbal yang ditujukan kepada para aktivis perempuan, tentu mencederai mandat Rekomendasi Umum No. 35 Konvensi Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi dan Kekerasan Terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination Against Women/ CEDAW (2017) tentang Kekerasan Berbasis Gender terhadap Perempuan, pemutakhiran Rekomendasi Umum No. 19 (1992). Disebutkan bahwa negara wajib membangun sistem hukum yang memberi ruang dan perlindungan kepada korban kekerasan berbasis gender. Pada dasarnya, segala bentuk kekerasan mulai dari fisik hingga intimidasi, pelecehan, dan penghinaan atau bahkan melarang mereka berpartisipasi dalam lingkungan sosial, dikategorikan sebagai kekerasan terhadap perempuan. Deklarasi Universal Majelis Umum PBB tentang perempuan menyatakan bahwa segala bentuk kekerasan terhadap perempuan akan menghambat peluang mereka untuk mencapai kesetaraan hukum, sosial, politik dan ekonomi dalam masyarakat.
Kami mengecam keras pembungkaman hak-hak demokrasi rakyat.
Kejadian penyerangan terhadap penyelenggaraan PWF dan pengurungan para aktivis PWF di hotel tempat PWF di Bali merupakan kegagalan WWF 2024 untuk menjamin kebebasan berkumpul dan menyatakan pendapat bagi masyarakat korban dan aktivis pejuang air yang bersikap kritis terhadap agenda dan kepentingan WWF.
Para perempuan pejuang hak atas air menuntut kepada World Water Council sebagai penyelenggara World Water Forum (WWF) bersama-sama dengan pemerintah tempat penyelenggaraan WWF memastikan dan menjamin agar rakyat di negara di mana berlangsung WWF, tetap bebas berpendapat dan berkumpul untuk menyuarakan keprihatinan dan persoalan mereka menghadapi krisis air; dan tidak mendapatkan intimidasi, kekerasan dan pembubaran Forum rakyat seperti yang terjadi di Bali, Indonesia saat berlangsung WWF ke 10 tanggal 18-25 Mei 2024.
Kontak Person:
Aksi! for gender, social and ecological justice: Renie Aryandani (082292282338)
Solidaritas Perempuan: Andriyeni (+62 812-6790-950)
LBH – Women Crisis Center Bali: Ni Nengah Budawati (+62 881-0387-76371)
Link video: https://www.instagram.com/reel/C7PH4NSy5IP/?igsh=dGlyYTB2MnQwcTUy