Siaran Pers JBM
Setiap tahunnya, ratusan ribu warga negara Indonesia bermigrasi ke luar negeri menjadi buruh migran. Mayoritas dari mereka adalah perempuan yang bekerja di sektor domestik menjadi Pekerja Rumah Tangga (PRT). Data BNP2TKI menunjukkan dalam enam tahun terakhir jumlah buruh migran Indonesia sebanyak 2,5jt dan sebanyak 58% adalah perempuan. Namun diperkirakan jumlah buruh migran Indonesia jauh melebihi angka resmi yang dirilis pemerintah yakni bisa mencapai hingga 7juta.
Kasus terbanyak yang dialami buruh migran menurut data BNP2TKI selama 6 tahun (2011-2016) adalah gaji tidak dibayar (4.157), TKI ingin dipulangkan (4.089), putus komunikasi/hilang kontak (3.206) dan perjanjian tidak sesuai perjanjian kerja (1.988).Menurut pemantauan dari berbagai media selama empat bulan terakhir, adalah dipulangkan melalui Amnesti khususnya di Arab Saudi, berada dalam situasi trafficking dan tidak berdokumen.
Masih tingginya kasus yang dialami buruh migran, disebabkan karena payung hukum yakni UU 39/2004 memberikan celah meningkatnya kasus bagi buruh migran. Tahun 2010 hingga sekarang, sudah hampir 7 tahun revisi UU 39/2004 belum disahkan. DPR dan pemerintah dari hasil pantauan terakhir tim kerja Jaringan Buruh Migran, pada tanggal 03 Oktober 2017, Timsin dan Timus telah selesai menyelesaikan sinkronisasi pasal-pasal RUU Perlindungan Pekerja Migran Indonesia. Meski telah mensinkronisasi seluruh pasal-pasal, masih ada pasal yang dibahas ditingkat Panja RUU PPMI.
Jaringan Buruh Migran yang terdiri dari 28 organisasi terdiri dari serikat buruh migran, serikat buruh dan organsiasi yang peduli terhadap isu buruh migran, yang bergerak dalam pengawalan revisi UU 39/2004 sejak tahun 2010, melihat bahwa RUU PPMI masih memiliki celah kelemahan yang berpotensi tidak memberikan perlindungan seutuhnya bagi buruh migran. Dilihat dari pasal-pasal RUU yang terdiri dari 87 pasal (517 DIM) masih terdapat pasal-pasal yang perlu di kaji ulang terutama dalam hal : perlindungan bagi pekerja mandiri dan perspektif gender, Jaminan Sosial melalui BPJS, Pengawasan dan Sanksi, Kontratual, mekanisme penempatan dan kewajiban PPTKIS, serta kewajiban pemerintah dalam memberikan perlindungan di luar negeri yang didalamnya termasuk juga perlindungan sesuai dengan instrumen HAM (KILO 189 dan KILO 181).
Boby Alwy, SBMI menyoroti pada bagian kontraktual yang mana dari hasil analisis penanganan kasus di SBMI, buruh migran sulit mendapat hak atas keadilan karena buruh migran menandatangani dua perjanjian kerja. Meski Kemnaker telah membuat Permen mengenai standarisasi perjanjian kerja dan penempatan, pada prakteknya tidak berlaku karena yang dipakai adalah perjanjian yang di tandatangani di luar negeri. Dan justru perjanjian kerja tersebut menguntungkan pelaku kejahatan karena klausulnya lebih rendah dalam memberikan hak-hak bagi buruh migran. Boby Alwy merekomendasikan agar dalam RUU, perlu ada klausul dalam kontraktual memuat mekanisme penyelesaian baik di negara tujuan maupun di negara asal buruh migran. Selain itu isi kontratual, harus dipastikan dimengerti dan dipahami buruh migran sebelum buruh migran menandatanganinya. Boby juga menegaskan mengenai empat mekanisme penempatan : G to G, Swasta, Perusahaan dan Mandiri harus dilindungi dan disiapkan layanannya dengan prinsip-prinsip keterbukaan, kesederhanaan, kejelasan, dapat diakses, keamanan dan bebas pungli.
Savitri Wisnuwardani, JBM menekankan pada perlunya penambahan coverege BPJS Ketenagakerjaan yang mana dalam RUU hanya mencover 6 coverege dari 13 coverege yang dulu didapat buruh migran pada Konsorsium TKI. Selain itu BPJS Kesehatan juga harus dimasukkan dalam jaminan sosial bagi buruh migran tidak hanya BPJS Ketenagakerjaan. Sebabnya tidak sedikit masalah yang dialami buruh migran di negara tujuan berhubungan dengan kesehatan. Buruh migran juga banyak yang tidak mendapatkan asuransi di negara tujuan. Rekomendasi dalam RUU adalah BPJS bekerjasama dengan pemerintah di negara tujuan melalui perjanjian bilateral agar buruh migran dapat dimasukkan dalam sistem jaminan sosial di negara tujuan. Selain itu, mengenai kelembagaan, JBM merekomendasikan agar layanan didekatkan kepada buruh migran sehingga layanan terpadu yang ada harus berada di wilayah yang dekat dengan buruh migran yakni ditingkat kabupaten saja.
Eny Rofiatul, LBH Jakarta melihat bahwa pengawasan ketenagakerjaan tidak hanya dilakukan ditingkat Provinsi tetapi juga ditingkat daerah, meskipun telah ada kebijakan yang memandatkan tugas pengawasan adalah tugas Provinsi namun jangkauan Provinsi untuk mengawasi kabupaten yang sangat luas secara geografis tidak dapat dilakukan secara maksimal. LBH mengusulkan perlu adanya korwil pengawasan ditingkat kabupaten yang berada di LTSP/LTSA dan terkoordinasi dengan Provinsi. Untuk pasal Sanksi, Eny juga mengatakan perlu ada skala batasan dalam pemberian sanksi dan kepada siapa sanksi diberikan seperti misalnya bila melihat UU No 21/2007 tentang Trafficking. Jangan sampai buruh migran yang sudah menjadi korban trafficking, masih mendapatkan sanksi pidana maupun administrasi. Selain itu perlu dipertimbangkan adanya Quasi Peradilan untuk penanganan kasus buruh migran agar kasus-kasus buruh migran dapat diselesaikan secara cepat dan sederhana.
Risca Dwi, Solidaritas Perempuan menegaskan bahwa wajah migrasi adalah wajah perempuan yang mayoritas mengisi sektor pekerjaan domestik atau Pekerja Rumah Tangga (PRT). Oleh karenanya, kebijakan yang disusun harus memiliki perspektif non diskriminatif dan sensitif gender. Pengakuan PRT adalah pekerjaan menjadi keharusan. Selain itu, perempuan buruh migran juga berhak memilih model penempatannya, baik secara mandiri (direct hiring) ataupun melalui PPTKIS. Pilihan-pilihan layanan harus diberikan tanpa mengurangi layanan dasar yang harus ditempuh oleh perempuan buruh migran misalnya pendataan, pengurusan dokumen, tes kesehatan, perjanjian kontraktual dan pendidikan/pelatihan bahkan hingga penyelesaian permasalahan yang ada. Perlindungan terhadap seluruh buruh migran dan anggota keluarganya harus inklusif dan komprehensif dan menjadi kewajiban negara untuk menjamin dan memenuhi perlindungan tersebut tanpa diskriminasi sebagaimana diamanatkan dalam Konvensi Migran 1990. Oleh sebab itu, tidak seharusnya buruh migran mandiri harus menanggung resikonya sendiri. Selain itu, agar perlindungan bagi buruh migran dapat benar-benar diimplementasikan, maka peraturan turunannya tidak boleh lebih dari 1 tahun.
Wike, Human Right Working Group (HRWG) mengingatkan bahwa Indonesia telah meratifikasi Konvensi PBB 1990. Selain itu Indonesia juga sudah menerima rekomendasi mekanisme Universal Periodic Review (UPR) PBB dan berkomitmen dalam acara ILO yang ke 100 akan meratifikasi Konvensi ILO 189 tentang Kerja Layak bagi PRT. Agar makna perlindungan benar-benar terwujud maka perlindungan tidak hanya dari hulu tetapi juga dari hilir termasuk ketika bekerja diluar negeri. Oleh karenanya dalam RUU, tugas atase ketenagakerjaan dan KBRI/KJRI dalam memverifikasi agency dan job order menjadi penting sebagai bentuk perlindungan preventif. Termasuk klausul perjanjian bilateral/MoU harus memuat prinsip-prinsip HAM yang mana pemenuhan hak bagi buruh migran harus ada dan penegakan hukum bagi para pelanggar perlu di sebutkan.
Jakarta, 09 Oktober 2017
JARINGAN BURUH MIGRAN (JBM)
SBMI, KSPI, KSBSI, KSPSI, Aspek Indonesia, FSPSI Reformasi, ASETUC, IMWU Belanda, KOTKIHO, BMI SA, Serantau Malaysia, UNIMIG, HRWG, JALA PRT, LBH Jakarta, LBH Apik Jakarta, ADBMI Lombok, LBH FAS, Migrant Institute, PBHI Jakarta, Solidaritas Perempuan, INFEST Yogyakarta, TURC, Seruni Banyumas, PBH-BM, Migrant Aid, Institute for Ecosoc Rights
Narahubung:
Savitri Wisnuwardhani : 082124714978 / Boby Alwy : 085283006797 / Eny Rofiatul : 085711457214/ Wike : 081298163375/ Risca Dwi : 081219436262